Investasi Startup Healthtech Imun Sentimen Krisis Data Kesehatan

Di tengah rentetan isu peretasan data kesehatan di Indonesia tahun ini, para pemodal ventura dan angel investor—terutama yang sudah berpengalaman mendanai startup level unikorn—masih memiliki sejumput kepercayaan terhadap keamanan digital yang dikelola perusahaan rintisan dari vertikal healthtech.

Janlika Putri & Wike D. Herlinda

6 Sep 2021 - 13.03
A-
A+
Investasi Startup Healthtech Imun Sentimen Krisis Data Kesehatan

Ilustrasi aplikasi teknologi kesehatan atau healthtech./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Rentetan kasus kebocoran data sektor kesehatan di Indonesia dinilai tidak akan secara signifikan memengaruhi minat pendanaan ke perusahaan rintisan atau startup dari vertikal healthtech.

Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Wihardja mengatakan minat investor ke rintisan di segmen teknologi kesehatan atau healthtech lebih tergantung pada sinkronisasi antara regulasi sektor kesehatan dan perkembangan teknologi.

“Perkembangan telemedicine, electronic medical record, serta data sharing dan keamanan data sangatlah diperhatikan oleh investor,” ujarnya, Minggu (5/9/2021) malam.

Menurutnya, kasus kebocoran data di sektor kesehatan tidak akan secara langsung memengaruhi minat pemodal lokal dan asing untuk masuk ke segmen healthtech.

Terbukti, kebocoran data kesehatan bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia, tetapi sektor healthtech tetap dilirik oleh segelintir investor.

"Tidak ada pengaruh bagi para investor. Kasus kebocoran data dari e-HAC juga overblown, tidak dibahas secara menyeluruh," ujarnya. 

Realisai pendanaan ke vertikal healthtech, mengutip data Statista, mencapai US$21,6 miliar secara global pada tahun lalu. Tidak diketahui berapa kucuran dana yang spesifik mengalir ke startup kesehatan di Indonesia.

Namun, dari sisi popularitas platform, aplikasi teknologi kesehatan yang menjadi primadona di dalam negeri per Mei 2021 a.l. Halodoc dengan pangsa pasar 71%, Alodokter 56%, KlikDokter 30%, Good Doctor 13%, dan YesDok 12%.

Sekadar catatan, sepanjang tahun ini Indonesia beberapa kali diberondong isu kebocoran data kesehatan warga negaranya. Mei 2021, publik digemparkan dengan kabar peretasan 279 juta data pribadi peserta BPJS Kesehatan.

Dalam Raid Forum, sebuah akun bernama Kotz mengeklaim telah mengantongi ratusan juga data pengiur BPJS Kesehatan, di mana sebanyak 20 juta di antaranya memiliki foto personal. Data tersebut dibanderol seharga 0,15 bitcoin.

Pada akhir Juli 2021, kebocoran data lainnya terjadi. Kali ini, data sensitif 2 juta nasbah asuransi kesehatan BRI Life diduga menjadi target.

Akun Twitter @HRock mengunggah dugaan penjualan jutaan data nasbah BRI Life dengan harga US$7.000. Data kesehatan yang diperdagangkan secara ilegal mencakup nomor rekening, rekam medis, akta kelahiran, nomor wajib, dan lain-lain.

Terbaru, pada September 2021, vpnMentor menyebut terdapat 1,3 juta data pengguna aplikasi e-HAC yang dikelola Kementerian Kesehatan.

Data sensitif yang bocor meliputi nama pengguna, alamat rumah, nomor ID, hotel tempat menginap, rumah sakit, bahkan tempat melakukan tes Covid-19.

Rentetan isu peretasan data tersebut belum termasuk kasus-kasus di luar pembobolan data warga negara Indonesia di luar sektor kesehatan yang terjadi pada tahun ini.

Seorang pengguna eHAC di Kota Bekasi, Jawa Barat, memperlihatkan aplikasi lama yang sudah tidak berfungsi, Selasa (31/8/2021)./ANTARA-Andi Firdaus

KOLAM BERBEDA

Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Bidang Industri Aplikasi Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) M. Tesar Sandikapura juga meyakini kebocoran data kesehatan tidak akan mencederai daya tarik healthtech di mata pemodal ventura maupun angel investor.

Sebab, data-data yang selama ini bocor merupakan aset yang dikelola pemerintah maupun instansi milik negara. Sebaliknya, data-data medis yang dikelola swasta melalui aplikasi healthtech merupakan ‘kolam’ yang berbeda.

“[Pamor] startup Indonesia justru makin cerah di mata investor, terutama untuk startup kesehatan atau healthech. Kemudian menyusul edutech, tekfin, dan delivery,” ujarnya.

Menurut Tesar, para investor—terutama yang sudah berpengalaman mendanai startup level unikorn—memiliki kepercayaan lebih tinggi terhadap keamanan digital yang dikelola perusahaan rintisan berbasis teknologi aplikasi.

“Maka dari itu, para investor tidak akan berani memilih suatu startup yang keamanannya belum memadai. Investor yang sudah investasi di startup paham betul dengan teknologi. Mereka akan memanfaatkan teknologi untuk mencari tahu tingkat keamanan data dari para startup,” jelasnya.

Di samping itu, Tesar menjelaskan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang disiapkan startup—termasuk dari vertikal healthtech—untuk memperkuat keamanan sibernya tidaklah sedikit.

Dengan kata lain, para startup berlomba-lomba untuk sedemikan rupa mengucurkan anggaran pengamanan data demi menarik kepercayaan investor. Alhasail, lanjutnya, investor juga akan tetap fokus ke pendanaan ke para perintis tanpa terpengaruh isu kebocoran data di indonesia.

“Masalah kasus kebocoran data dari pemerintah ini tidak berpengaruh pada dunia startup. Ini lebih kepada [peringatan terhadap] kinerja pemerintah yang belum cakap dalam mengatur data rakyatnya,” tutup Tesar.

PROSPEK

Kendati tengah naik daun, sektor healthtech dinilai sebagian kalangan belum cukup banyak dilirik investor dibandingkan dengan vertikal-vertikal yang sudah matang seperti dagang-el, tekfin, atau ride hailing.

Asosiasi Healthtech Indonesia menilai alasan minimnya perusahaan rintisan berbasis kesehatan yang mengumumkan penggalangan dana segar pada tahun ini adalah karena regulasi yang belum cukup mendukung pengembangan ekosistem healthtech.

Ketua Asosiasi Healthtech Indonesia Gregorius Bimantoro sebelumnya mengatakan belum adanya regulasi kesehatan yang selaras dengan perkembangan teknologi menjadi tantangan bagi startup kesehatan Indonesia untuk meraih pendanaan.

“Sebenarnya, kepastian investasi ini terkait dengan aturan. Secara umum, [bisnis] healthtech di Indonesia bertumbuh, tetapi memang belum ada landasan [payung hukum] yang cukup kuat, dan ini yang menjadi concern,” ujarnya.

Gregorius menyebutkan regulasi layanan kesehatan yang existing memang sudah cukup cakap untuk mengakomodasi kebutuhan konvensional, tetapi masih membutuhkan waktu untuk disinkronkan dengan perkembangan teknologi.

“[Aturan] layanan kesehatan kan sebagian besar pidana dan saat memindahkan [aturan] ini ke teknologi membutuhkan bridging dan membutuhkan regulatory sandbox. Makanya, kami asosiasi sudah berusaha mendorong ini sejak 2018 hingga saat ini, tetapi memang Covid-19 ini menjadi kendala karena fokus [pemerintah] beralih ke pelayanan masyarakat dahulu,” ujarnya

Lebih lanjut, dia berpendapat kebiasaan masyarakat membuat startup kesehatan di Indonesia lebih berfokus pada layanan perawatan diri (consumer healthcare) ketika sakit.

“[Layanan] kesehatan itu ada preventif, kuratif, dan lainnya. Untuk Indonesia, kebanyakan healthtech support dikurasi yang mengartikan bahwa orang pakai aplikasi saat sakit saja. Masyarakat pun hanya berobat kala sakit, masih jarang yang sadar untuk pencegahan.”

Menurut Gregorius, beberapa pelaku healthtech membuat aplikasi yang bersifat promotif dan preventif secara terpisah. Hal ini juga ditujukan untuk memenuhi kebiasaan masyarakat yang menilai bahwa kedua hal tersebut merupakan bagian dari gaya hidup.

“Di Indonesia yoga dan fitness belum masuk di healthtech, masuknya di lifestyle. Saat ini banyak [pelaku startup] yang mulai membuat [aplikasi] dan masuk ke pasar ini,” katanya.

Dia menambahkan pemain healthtech lainnya di Asia justru kebanjiran pendanaan selama pandemi Covid-19 dan berbanding terbalik dengan di Indonesia.

Namun, dia optimistis ke depannya startup bidang kesehatan akan makin erat dengan kebutuhan masyarakat sehingga berkorelasi dengan minat pendanaan.

Berdasarkan laporan dari CB Insights, pendanaan pada perusahaan rintisan berbasis kesehatan di tingkat global mengalami pertumbuhan yang signifikan pada kuartal III/2020.

Adapun, pendanaan perawatan kesehatan di 3 wilayah utama Amerika Utara, Asia, dan Eropa meningkat dari kuartal ke kuartal. Kesehatan digital yang berbasis di Asia mengalami peningkatan pendanaan hampir tiga kali lipat.

Pendanaan telehealth atau telemedicine mencapai rekor baru senilai US$2,8 miliar pada kuartal III/2020 dengan peningkatan 73% dari kuartal sebelumnya di 162 kesepakatan. (Akbar Evandio)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.