Ironi Rumah Sakit RI Tak Siap Benahi Standar Rawat Inap

Hanya 3 persen rumah sakit di Indonesia dari 3.000 sampel yang disurvei Dewan Jaminan Sosial Nasional memiliki infrastruktur yang memadai untuk menerapkan Kelas Rawat Inap Standar.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

25 Jan 2022 - 20.30
A-
A+
Ironi Rumah Sakit RI Tak Siap Benahi Standar Rawat Inap

Ilustrasi - Tenaga medis dengan alat dan pakaian pelindung bersiap memindahkan pasien positif Covid-19 dari ruang ICU menuju ruang operasi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020)./Antara

Bisnis, JAKARTA —­ Para pengelola rumah sakit swasta di Indonesia mengkhawatirkan penerapan mandatori kelas rawat inap standar atau KRIS bakal berdampak negatif terhadap potensi pendapatan fasilitas layanan kesehatan ke depannya. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi mengatakan, kendati akan dilakukan secara bertahap mulai 2022, implementasi KRIS bakal memangkas kapasitas tempat tidur yang terpasang di rumah sakit swasta. 

Konsekuensinya, potensi pendapatan rumah sakit bakal ikut seret. 

“Begitu KRIS ini ditetapkan, pasti tempat tidurnya berkurang. [Dalam kewajiban KRIS] ini kan diatur jaraknya berapa luasnya. Ini tidak mudah bagi kami di rumah sakit swasta, makanya kami minta regulasinya dibahas bersama-sama,” kata Ichsan saat dihubungi, Selasa (25/1/2022). 

(BACA JUGA: Kenaikan Tarif INA CBGs bak Duri dalam Daging BPJS Kesehatan)

Selain itu, Ichsan menuturkan, rencana renovasi bangunan rumah sakit yang sudah terlanjur berdiri jauh dari kriteria KRIS bakal menghabiskan investasi yang relatif besar. Tidak hanya itu, syarat perluasan rumah sakit akan sulit dilakukan ketika terkendala lahan. 

“Kan tidak mudah membangun dan menyiapkan lahan seperti itu, apalagi rumah sakit itu sudah berbatas tembok atau apa itu kan tidak semuda itu di lapangan,” tuturnya. 

Alih-alih, dia menambahkan, kebijakan KRIS dinilai tidak dibarengi dengan komitmen pemerintah untuk menaikkan tarif Indonesia Case Based Groups atau INA CBGs (INA CBGs) yang tidak pernah mengalami penyesuaian selama 8 tahun terakhir. 

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebelumnya mengusulkan skema urun biaya bagi peserta BPJS Kesehatan kelas I & II untuk meningkatkan standar layanan jaminan kesehatan nasional atau JKN. 

Usulan itu disampaikan karena tarif INA-CBGs yang tidak kunjung disesuaikan selama delapan tahun terakhir. 

Tarif INA CBGs adalah rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi hingga iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan kepada rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan. 

Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto mengatakan langkah itu mesti diambil untuk meningkatkan standar pelayanan pasien pada program JKN ke depan. Slamet mengatakan usulan itu sudah disepakati oleh Kemenkes. 

“Ini adalah pilihan yang pahit apakah akan menaikkan premi bagi peserta atau urun biaya, tapi kami sepakat dengan teman-teman Kementerian Kesehatan untuk urun biaya sajalah di luar kelas 3, saya tidak tahu kalau dari kacamata peserta,” kata Slamet.

RSUD Kota Bogor yang menjadi rumah sakit rujukan Covid-19./Antara/HO-Pemkot Bogor

WAKTU PANJANG

Adapun, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Iene Muliati mengatakan rumah sakit daerah dan swasta membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk bisa mengimplementasikan KRIS yang dijadwalkan efektif selama 2022—2024.

Penyebabnya, RS harus terlebih dahulu melakukan renovasi pada sisi infrastruktur sesuai dengan standar yang ditetapkan Kemenkes. 

“Rumah sakit swasta menyampaikan mereka membutuhkan waktu 6 bulan untuk mempersiapkan diri kalau ada perubahan ini,” kata Iene. 

Ihwal rumah sakit milik pemerintah daerah, Iene menambahkan, mereka membutuhkan waktu 3—6 bulan sejak adanya alokasi dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD untuk menyesuaikan infrastruktur sesuai dengan standar KRIS. 

“Mereka butuh waktu untuk penganggaran di APBD dahulu dan menyesuaikan regulasi yang ada di daerah. Oleh karena itu, di peta jalan pada tahun ini ada harmonisasi regulasi,” kata dia. 

Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) sepakat hanya sebagian kecil rumah sakit yang siap untuk menerapkan program KRIS secara bertahap pada tahun ini. 

Alasannya, sebagian besar rumah sakit terkendala ihwal kondisi bangunan rumah sakit yang terpaut jauh dari parameter yang ditetapkan DJSN. 

Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persi Daniel Wibowo mengatakan hanya 3 persen rumah sakit dari 3.000 sampel yang disurvei DJSN memiliki infrastruktur yang memadai untuk menerapkan KRIS. 

Sementara itu, sebanyak 81 persen sampel rumah sakit yang disurvei masih memerlukan penyesuaian infrastruktur untuk dapat menerapkan KRIS. Sisanya, 16  persen rumah sakit dinilai tidak layak untuk ikut menerapkan KRIS.

“Karena rumah sakit tua karena  kondisinya tidak mungkin menerapkan kelas standar, jadi tidak mungkin dilaksanakan sekaligus,” kata Daniel. 

Selain itu, jelasnya, rumah sakit memerlukan investasi yang relatif besar untuk melakukan renovasi  bangunannya untuk sesuai dengan kriteria KRIS. Hanya saja, kebutuhan investasi untuk rumah sakit daerah cenderung sulit diperoleh karena bergantung pada kondisi anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD. 

“Investasi rumah sakit daerah pasti perlu penganggaran dari APBD dahulu, tergantung dari kemampuan daerahnya,” kata dia. 

Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

KAS BPJS

Di sisi lain, pemerintah memastikan implementasi kelas rawat inap standar (KRIS) pada 2022 dimaksudkan untuk menjaga arus kas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tetap positif, di samping memberikan layanan kesehatan yang layak kepada pengiur.

“Intinya kami tidak mau BPJS Kesehatan defisit. Kami harus pastikan [neraca keuangan] BPJS tetap positif, tetapi mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (25/1). 

Ihwal penyeimbangan arus kas BPJS Kesehatan itu, Kemenkes masih mengkaji sederet potensi pembiayaan yang dapat dioptimalkan penggunaannya. 

Misalnya, pos beban pembiayaan kesehatan bagi BPJS Kesehatan untuk kontrol rawat jalan yang mencapai Rp8,12 triliun dengan utilisasi 40,9 juta orang pada 2020. 

“Apakah memang semuanya harus dilakukan di rumah sakit? Sebagian semestinya bisa dilakukan di FKTP [fasilitas kesehatan tingkat pertama] karena fungsi dari Puskesmas sebenarnya adalah untuk skrining serta tindakan promotif dan preventif,” tuturnya. 

Dengan demikian, lanjutnya, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan bisa dialokasikan lebih optimal pada peserta yang membutuhkan. Artinya, pembiayaan BPJS Kesehatan dapat tersalurkan pada layanan kesehatan primer. 

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan tengah menambah layanan promotif dan preventif dalam kerangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk 2022—2024. Layanan itu bakal berisikan 14 skrining penyakit katastropik yang dominan di tengah masyarakat. 

Adapun, total biaya dampak layanan promotif dan preventif itu mencapai Rp5,36 triliun selama 2022—2024. Kemenkes mencatat rerata biaya tahunan untuk program tersebut sekitar Rp1,87 triliun. 

“Sudah kami bicarakan dengan Kementerian Keuangan, nanti kebijakannya lebih banyak ke promotif preventif untuk membuat rakyat kita hidup lebih sehat bukan menyembuhkan yang sakit,” kata dia. 

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti berencana memangkas sistem rujukan berjenjang seiring dengan rencana implementasi KRIS secara bertahap pada tahun ini. 

“Rujukan berjenjang itu harus kami perbaiki, jangan sampai terlalu banyak. Itu bisa kami kurangi sehingga pasien lebih enak [terlayani lebih baik],” kata Ghufron. 

Dia menegaskan kepentingan peserta BPJS Kesehatan tidak dapat dikurangi setelah KRIS diimplementasikan. Menurutnya, pelayanan kepada pengiur selama ini terbatas akibat minimnya fasilitas kesehatan di rumah sakit. 

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar meminta pemerintah untuk menunda implementasi program kelas rawat inap standar atau KRIS hingga 2025. 

Timboel beralasan rumah sakit saat ini masih berfokus untuk menangani pasien Covid-19 yang belakangan kembali mengalami kenaikan kasus. 

“Uji coba KRIS sampai 31 Desember 2022 akan sulit dipenuhi oleh rumah sakit swasta, sulit untuk memenuhi persyaratan KRIS tersebut,” kata Timboel. 

Menurutnya, penundaan implementasi program KRIS itu dapat membantu upaya pelayanan kesehatan rumah sakit kepada pasien Covid-19 di tengah masyarakat. 

“Tentunya pemerintah harus bijak juga menentukan batas masa uji coba ini, saya usul agar ditunda masa uji coba ini sampai 2025,” tuturnya. 

Di sisi lain, dia menambahkan, penetapan KRIS itu juga mesti disertai dengan kenaikan tarif INA CBGs kepada faskes. 

Kementerian Kesehatan, kata dia, selama ini tidak membuka ruang perundingan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah untuk menyepakati besaran INA CBGs dan kapitasi tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.