Ironi Tambang Nikel Nasional di Tengah Gegap Gempita Penghiliran

Kendati Indonesia telah mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel dengan harapan bisa menjual produk yang bernilai tambah, tanpa adanya peningkatan di industri pemurnian dan pengolahan, tentu harapan itu hanya sebatas mimpi belaka.

Rayful Mudassir & Ibeth Nurbaiti

7 Des 2021 - 18.04
A-
A+
Ironi Tambang Nikel Nasional di Tengah Gegap Gempita Penghiliran

Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk., di Kolaka, Sulawesi Tenggara. JIBI/Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Nikel Indonesia berpotensi menjadi salah satu komoditas masa depan di tengah upaya dunia menekan emisi karbon dari bahan bakar fosil. Hal ini turut ditopang oleh kondisi Indonesia sebagai pemasok terbesar dunia untuk nikel.

Keberadaan nikel juga makin prospektif seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik. Permintaan komoditas itu akan meningkat, apalagi sejumlah negara mulai mengembangkan kendaraan berbahan bakar listrik, seperti China dan Eropa.

Begitu juga dengan Indonesia yang sudah mendeklarasikan diri menjadi pemain kendaraan listrik masa depan, menyusul diresmikannya pabrik baterai mobil listrik pertama di Karawang, Jawa Barat.

Namun, masih banyak hal yang harus diperbaiki agar industri ini benar-benar bisa membawa Indonesia sebagai negara yang turut diperhitungkan di kancah global.

Kendati Indonesia telah mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel dengan harapan bisa menjual produk yang bernilai tambah, tanpa adanya peningkatan di industri pemurnian dan pengolahan, tentu harapan itu hanya sebatas mimpi belaka.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal pernah mengungkapkan bahwa industri pengolahan nikel di dalam negeri masih terbatas, sehingga produk nikel seperti pig iron dan feronikel langsung diekspor ke China. Negara itu kemudian mengolahnya menjadi produk jadi seperti baterai.

“Ini kan yang kita harus berhati-hati. Jangan seolah dengan ada smelter sudah hilirisasi, padahal belum. Karena masih awal sekali. Jadi harus didorong lebih hilir lagi sampai dalam bentuk baterai,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Dia juga mengingatkan bahwa harga jual nikel terhadap smelter masih rendah. Kondisi ini dilematis bagi penambang. Di satu sisi nikel di sini tidak dapat diekspor, tetapi di sisi lain penambang terpaksa menjualnya ke smelter dengan harga rendah.

Belum lagi, kata Faisal, selama ini harga jual nikel dikontrol langsung oleh pengusaha besar sehingga harga jual komoditas ini hanya sepertiga dari harga internasional.

“Otomatis kalau memang harganya dibeli murah, royalti yang dibayar ke pemerintah jadi sedikit. Belum pajak yang jadi lebih sedikit. Apalagi begitu sampai ke smelter diolahnya cuma sampai nikel pig iron dan feronikel yang belum terlalu banyak pengolahannya,” tuturnya.

Terkait dengan harga jual, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mengakui membeli nikel tidak sesuai dengan regulasi. 

Ketua AP3I Prihadi Santoso mengatakan bahwa Peraturan Menteri ESDM No 11/2020 baru berlaku selama satu tahun. Regulasi ini mengatur tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batu bara.

“Regulasi itu baru terlaksana satu tahun tapi belum bisa terlaksana, bukan belum sempurna, mandek kok,” katanya kepada Bisnis.

Lebih lanjut, AP3I mendorong industri pengolahan untuk mengikuti peraturan yang ada. Selain itu, pemerintah juga diminta memberikan prioritas agar perusahaan smelter mau menerapkan kebijakan tersebut.

Permasalahan harga ini, menurutnya, harus menjadi perhatian eksekutif. Saat ini terdapat 308 penambang nikel tingkat menengah dan kecil, yang sangat erat dengan pengusaha lokal.

Harga mineral acuan nikel pada November untuk kadar 1,7% untuk free on board (FoB) dihargai US$40,59 per wet metrik ton, kemudian kadar 1,8% mencapai US$45,37 per wet metrik ton.

Selanjutnya, kadar 1,9% dihargai US$50,41 per wet metrik ton dan kadar 2% untuk FoB ditetapkan seharga US$55,72 per wet metrik ton.

Sementara itu, harga nikel di lapangan ditentukan dengan skema CIF atau cost in insurance and freight, sedangkan dalam aturan pemerintah menetapkan harga berdasarkan FoB yang merupakan nilai beli di atas kapal tongkang.

Artinya, biaya asuransi dan angkutan ditanggung pembeli. Sementara itu, CIF membebankan biaya angkutan dan asuransi kepada penjual.  

Menurut Prihadi, penentuan CIF maupun FoB biasanya dilakukan oleh smelter besar. Padahal skema ini belum diregulasi oleh pemerintah. Asosiasi juga menduga jasa surveyor bekerja kurang profesional dalam menentukan kadar nikel sehingga menguntungkan smelter. 

“Peraturan Permen 2020 belum bisa dilaksanakan secara penuh. Menurut saya, pemerintah harus berbuat lebih, cenderung kepada bagaimana menatakan sumber daya mineral ini menjadi motor penggerak ekonomi,” tuturnya. 

Selain itu, dia meminta pemerintah untuk berkoordinasi dengan DPR dalam menetapkan peraturan menteri. Prihadi turut mendorong agar eksekutif mau membentuk dewan geologi nasional untuk mengontrol sumber daya perut bumi baik dari sisi produksi maupun cadangannya.

Di sisi lain, serapan produksi nikel olahan untuk pasar domestik masih cukup rendah mengingat minimnya industri penyerap dan belum masifnya penerapan teknologi di dalam negeri.

Menurut Prihadi, serapan domestik untuk produk pemurnian hasil tambang masih di bawah 5% dari total produksi. Sementara itu, sekitar 95% produk hasil olahan di smelter masih diekspor ke sejumlah negara tradisional terutama China. “Masih kecil [serapan pasar domestik], kurang dari 5 persen. Kecil,” katanya.

Prihadi menjelaskan bahwa sejumlah hal menjadi kendala utama rendahnya serapan hasil olahan nikel di dalam negeri. Kondisi ini juga ditopang oleh minimnya penerapan teknologi, edukasi dan sumber daya manusia di Tanah Air.

“[Untuk] membangun [meningkatkan serapan olahan nikel] ini diperlukan kebijakan pemerintah. Seperti setop ekspor tapi juga ada yang berpihak ke industri manufacturing di Indonesia,” terangnya.

Senada, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa selama ini transaksi penjualan bijih nikel ke smelter masih belum mengikuti harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan meski telah diregulasi. 

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan tata kelola nikel domestik harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena berkaitan dengan perdagangan nikel hingga pendapatan negara. 

Mengacu pada Permen ESDM No 11/2020 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mineral dan IUPK operasi produksi mineral logam yang memproduksi bijih nikel, wajib mengacu pada harga patokan mineral logam dalam melakukan penjualan bijin nikel.

APNI menyinggung smelter yang belum membeli nikel ore dari pemegang izin usaha pertambangan sesuai dengan reulasi yang ditetapkan berdasarkan FoB, tetapi malah membeli dengan sitem CIF.

“Dalam pelaksanaanya, para penambang banyak menanggung ongkos kirim. Artinya, dengan invoice yang diajukan menjadi tidak sesuai peraturan,” katanya. 

BEBAN KEWAJIBAN

APNI juga menyoroti besarnya beban kewajiban yang harus ditanggung penambang agar terus dapat berproduksi.

Dia menjabarkan bahwa selama ini penambang nikel diwajibkan untuk menyetor sejumlah royalti kepada pemerintah. Selain itu, mereka juga harus membayar penerimanan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini berbanding terbalik dengan industri smelter.

“Kami bayar banyak kewajiban kepada negara. [Lalu] Kewajiban apa yang diberikan [negara] untuk industri hilir?” kata Meidy saat webinar, Senin (6/12/2021).

Dia menuturkan bahwa selama ini kalangan industri hilir menerima sejumlah keringanan termasuk fasilitas bebas bea masuk dan bea keluarkan. Seharusnya, kata dia, pemerintah turut memberikan keringanan serupa bagi penambang nikel.

Selain kewajiban PNBP dan royalti, penambang nikel masih harus merogoh kocek untuk menanggung biaya pengiriman di atas kapal tongkang hingga menanggung biaya lainnya bila terjadi selisih kadar nikel dari tambang ke smelter.

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo memperkirakan tahun ini ekspor nikel bisa mencapai US$20 miliar. Nilai yang diproyeksikan itu melompat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 4 tahun lalu yaitu US$1,1 miliar.

"Dari kira-kira Rp15 triliun, melompat menjadi Rp280 triliun rupiah. Itu yang namanya nilai tambah di situ," kata Jokowi pada acara Rapat Koordinasi Nasional dan Anugerah Layanan Investasi 2021 di Jakarta, Rabu (24/11/2021).

Dengan mengandalkan barang jadi, maka pendapatan negara dinilai bisa memiliki nilai tambah, mulai dari sisi pendapatan royalti, PNBP, bea luar, berbagai jenis pajak, dan daerah bisa mendapatkan efek peredaran uang yang besar.

Hal itu sebelumnya dimulai dari berhenti mengeskpor bahan mentah nikel, lalu ke depannya dilanjutkan dengan berhenti mengeskspor bauksit, tembaga, dan bahan mentah timah.

"Jadi ekonomi kita yang awalnya berbasis bahan mentah dari sumber daya alam kita. Ini satu per satu memang harus ada transisinya. Satu per satu akan kita setop. Masuk ke barang setengah jadi, dan masuk ke barang jadi," tutur Jokowi.

Di sisi lain, Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman menilai penghiliran produk turunan nikel perlu digenjot untuk memberi nilai tambah lebih bagi industri maupun negara. 

Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk., di Kolaka, Sulawesi Tenggara. JIBI/Bisnis/Nurul Hidayat

Nikel mengalami kenaikan harga cukup drastis sepanjang 2021. Bahkan rerata harga komoditas ini mencapai US$19.800 per ton pada November.

Namun, pemerintah mewajiban industri lebih dulu mengolah produk tersebut sebelum diekspor. Larangan ekspor bijih nikel dunia bahkan mendapat respons negatif dari Eropa dengan melayangkan gugatan untuk pemerintah RI kepada World Trade Organization (WTO). 

“Saya sepakat kalau nikel sampai di hilir sampai ke baja, karena memang selama ini hilirisasi masih separuh-separuh. Artinya semakin banyak persentase nikel yang diolah akan semakin bagus,” katanya kepada Bisnis, Kamis (18/11/2021). 

Kendati demikian langkah itu memerlukan teknologi termasuk ketersediaan pabrik olahan nikel menjadi besi baja, apalagi, Indonesia belum memiliki pabrik tersebut kecuali produk murni baja. 

Dia juga mengharapkan pemerintah mempercepat atau mendukung proyek smelter agar hilirisasi nikel berjalan optimal. Ferdy juga mendorong PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. untuk terlibat dalam rencana ini. 

Hingga kini terdapat 328 pemilik izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi nikel. Pemegang IUP itu tersebar di sejumlah wilayah timur Indonesia. APNI mencatat sebanyak 44 IUP tersebar di Maluku Utara, 123 IUP di Sulawesi Tengah, 133 IUP di Sulawesi Tenggara, dan 5 IUP di Sulawesi Selatan.

Hingga kini setidaknya terdapat 25 smelter yang telah beroperasi di Indonesia dari target setidaknya terdapat 98 smelter hingga 2025. Saat ini 41 perusahaan masih dalam masa konstruksi dan 32 lainnya dalam perencanaan.

APNI menghitung total kapasitas produksi smelter existing di dalam negeri mencapai 12,7 juta ton dengan produk awal mencapai 7,0 juta ton dan produk lanjutan mencapai 5,7 juta ton.

Asosiasi juga merekam produksi nikel olahan hingga menjelang akhir tahun ini mencapai 2 juta ton. Jumlah ini terbagi atas produk nickel pig iron 664.746 ton, ferro nickel 1,30 juta ton serta nickel matte 72.785 ton. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun ini.

Mineral One Data Indonesia (MODI) memerinci dari kisaran produksi tersebut, sekitar 73,7% atau 73.563 ton nickel pig iron telah terjual. Kemudian 62,09% produksi ferro nickel atau 949.887 ton terjual serta nickel matte telah terjual 63.389 ton dari produksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.