Jalan Buntu Sengkarut Pasar Daging Nasional

Untuk kali pertama dalam sejarah bisnis penggemukan sapi di Indonesia, harga jual sapi jenis Brahman Cross asal Australia lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi lokal.

13 Mei 2021 - 01.50
A-
A+
Jalan Buntu Sengkarut Pasar Daging Nasional

Konsumen memilih makanan dan bahan makanan di salah satu supermarket di Jakarta, Kamis (7/5/2020). BISNIS.COM

Bisnis, JAKARTA — Anomali harga sapi bakalan Australia yang terus berlanjut bakal kian memukul industri penggemukan (feedlot) sepanjang tahun ini. Pengusaha sektor tersebut pun berisiko kehilangan pangsa lantaran daging murah asal India dan Brasil mulai membanjiri pasar.

Presiden Direktur PT Juang Jaya Abadi Alam—perusahaan penggemukan sapi bakalan eks impor anggota Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong (Gapuspindo)—Dicky Adiwoso mengatakan bisnis feedlot tengah menghadapi tekanan berat akibat ketergantungan yang tinggi pada pasokan sapi bakalan dari Australia selama 30 tahun terakhir.

Kapasitas kandang yang terisi dia sebut hanya mencapai 50% dari rata-rata 200.000 ekor dalam satu kali siklus penggemukan.

“Beberapa feedlot pada 2020 dan mendekati 2021 sudah menutup operasi mereka. [Perusahaan] yang masih berjalan pun sudah menurun kapasitasnya mendekati 50%. Jadi semua feedlot sedang berusaha bertahan untuk survive menghadapi masa sulit,” kata Dicky saat dihubungi Bisnis.

Laporan Status Industri Sapi Indonesia-Australia 2020 yang diterbitkan oleh Indonesia-Australia Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) menunjukkan keanggotaan Gapuspindi telah menurun dari 26 pada 2019 menjadi 24 anggota pada akhir 2020.

Sementara itu, 4 perusahaan telah menyatakan rencana untuk berhenti beroperasi secara permanen karena iklim bisnis yang tidak kondusif

Dicky mengatakan, untuk kali pertama dalam sejarah bisnis penggemukan sapi di Indonesia, harga jual sapi jenis Brahman Cross asal Australia lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi lokal.

Harga jual sapi hidup eks-impor dia sebut telah mencapai Rp48.000 sampai Rp50.000 per kilogram (kg), sementara sapi lokal masih di angka Rp46.000 sampai Rp47.000 per kg.

Dengan segala keterbatasan bisnis penggemukan dalam memenuhi kebutuhan konsumen, Dicky mengatakan pasar yang selama ini diisi oleh daging sapi bakalan eks impor bisa digeser oleh daging impor murah dari India atau Brasil.

Sebagaimana diketahui, tahun ini pemerintah menugasi BUMN untuk mengimpor 80.000 ton daging kerbau India dan 20.000 ton daging sapi asal Brasil. Dari rata-rata kebutuhan daging sapi impor sebesar 400.000 yang setiap tahunnya, 45% diisi oleh daging hasil usaha penggemukan.

“[Daging sapi murah] ini sudah masuk ke pasar-pasar yang biasa diisi daging sapi dari feedlot. Ini akan menjadi sebuah tantangan kami pada masa mendatang. Kami banyak kehilangan konsumen. [Pelanggan] yang biasa beli sapi kami kini sudah mulai menjual daging-daging alternatif yang didatangkan pemerintah, yakni daging kerbau India,” lanjutnya.

Dicky menyebutkan pelaku usaha kini tengah mengupayakan impor sapi bakalan dari negara alternatif seperti Meksiko.

Laporan Indonesia-Australia RMCP menyebutkan bahwa pelaku usaha dan pemerintah sedang mengupayakan impor 200.000 sampai 300.000 ekor sapi bakalan dari Meksiko pada 2021.

Brasil pun dikabarkan juga secara aktif mendorong peningkatan akses ke pasar Indonesia dengan menawarkan harga sapi bakalan dengan plafon harga tetap dari kawasan bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Harga sapi bakalan dari kedua negara ini tercatat 10%—15% lebih murah dibandingkan dengan sapi Australia saat tiba di Indonesia.

“Kami mengupayakan alternatif, naik dari Meksiko maupun pembicaraan dengan Brasil. Meski tantangannya masih banyak, tetap kita harus melakukan hal tersebut untuk membuat kesinambungan usaha kita pada saat sulit,” kata dia.

Sementara itu, Australia Co-chair Indonesia-Australia Red Meat & Cattle Partnership (RMCP) Chris Tinning memprediksi harga sapi bakalan asal Australia mulai turun pada semester II/2021 menyusul mulai membaiknya tingkat pertumbuhan populasi hewan ternak tersebut.

Chris menyebutkan para peternak di Australia tengah melakukan repopulasi ternak dengan dukungan cuaca dan lingkungan yang lebih baik. Hal ini dia sebut meningkatkan kompetisi antarpeternak, pemasok, eksportir, dan agen lain dalam mendapatkan sapi.

“Hal ini mendorong kenaikan harga ekspor sapi bakalan,” kata Chris.

Dia tidak memungkiri kenaikan harga sapi bakalan telah menimbulkan tatangan bagi industri daging sapi di Indonesia. Namun, dia mengharapkan harga bisa mulai turun pada paruh kedua tahun ini.

“Kami memperkirakan harga akan berubah pada semester kedua tahun ini, seiring repopulasi dan kembali stabilnya jumlah kawanan ternak,” kata dia.

Laporan RMCP tentang situasi industri sapi Indonesia-Australia menyebutkan peningkatan kembali jumlah populasi ternak di Australia kemungkinan akan membutuhkan waktu lebih lama, dengan estimasi pertumbuhan populasi hanya sebesar 2% pada akhir 2021.

Karena itu, pasokan sapi diperkirakan akan makin ketat pada 2021 karena produsen harus mempertahankan stoknya untuk pembiakan. Pembeli, seperti para pengolah, eksportir, dan re-stocker, harus mengantisipasi persaingan dalam memperebutkan populasi ternak yang masih terbatas.

Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan./Bisnis-Endang Muchtar

DAYA BELI

Sementara itu, Deputi Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyebutkan penurunan daya beli pada 2020 menyebabkan permintaan daging sapi dari sektor hotel, restoran, dan kafe terkoreksi. Hal ini dia sebut turut membantu stabilisasi harga di tengah pasokan yang ketat.

Dia menyebutkan pemerintah telah menempuh sejumlah langkah untuk menjaga pasokan daging sapi, mulai dari memobilisasi sapi lokal dari sentra produksi ke daerah dengan konsumsi tinggi sampai mempercepat realisasi impor daging sapi/kerbau dari pemasok alternatif.

“Untuk jangka pendek stabilisasi pasokan kami melakukan mobilisasi sapi, mempercepat realisasi impor BUMN, dan menyelesaikan protokol kesehatan hewan sehingga mengakomodasi impor sapi bakalan dari negara alternatif,” kata Musdhalifah.

Bagaimanapun, berkurangnya pasokan sapi bakalan dari Australia dipandang bisa berpengaruh pada naiknya impor daging sapi/kerbau dengan harga lebih murah dari negara alternatif.

Meski demikian, tingginya harga impor sapi bakalan bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi sapi lokal.

“Jika pasokan sapi bakalan berkurang, kemungkinan besar impor dagingnya bertambah untuk memenuhi kebutuhan,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.

Meski demikian, dia mengatakan pula bahwa populasi sapi di Tanah Air sejatinya besar dengan konsentrasi di sejumlah wilayah produksi. Namun, dia mencatat masih banyak peternak yang menghadapi kendala dalam pengembangan hewan ternak tersebut.

“Dalam banyak kasus banyak peternak yang terkendala permodalan untuk mengembangkan sapi bakalan lokal. Ada pula tekanan skala usaha yang masih kecil. Terlebih ada biaya pakan tambahan yang harus dikeluarkan,” kata dia.

Senada, ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebutkan berkurangnya pasokan sapi bakalan bakal membuka jalan bagi masuknya daging sapi alternatif seperti kerbau asal India. Dia bahkan memperkirakan impor jeroan akan meningkat.

“Solusi impor sebaiknya dipertimbangkan matang, toh inflasi yang menggambarkan sisi permintaan masih terkendali jelang Lebaran,” tutur Bhima.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya menyebutkan kondisi harga sapi di Tanah Air yang sempat bergejolak dipicu oleh harga yang tinggi dari Australia sebagai pemasok utama sapi bakalan maupun daging sapi beku untuk Indonesia. Harga sapi hidup terpantau bergerak dari harga normal AU$2,8 per kilogram (kg) menjadi AU$4,8 per kg sejak 2020.

Meski demikian, Lutfi menyebutkan harga sapi saat ini cenderung stabil jika dibandingkan dengan harga ekspor Australia. Data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan menunjukkan harga daging sapi paha belakang berada di kisaran Rp124.000 per kg.

“Ekspektasi saya malah kalau harga sapi hidup mencapai AU$5 per kilogram, maka harga sapi hari ini bisa sedikit lebih tinggi dari kondisi di pasar,” kata dia pekan lalu.

Dia menduga harga pasaran sapi yang masih terkendali dipicu oleh masuknya daging sapi lokal yang cenderung lebih murah. Di sisi lain, melemahnya permintaan akibat turunnya aktivitas hotel, restoran, dan kafe selaku konsumen utama daging juga turut memicu pergerakan harga. (Iim F. Timorria)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.