Jeratan Pinjol Gagalkan Generasi Muda Punya Rumah

Masyarakat yang memiliki pinjaman online dan kolektabilitasnya tinggi akan sulit mendapatkan kredit perbankan termasuk kredit pemilikan rumah (KPR).

Yanita Petriella

26 Mar 2024 - 00.11
A-
A+
Jeratan Pinjol Gagalkan Generasi Muda Punya Rumah

Ilustrasi investasi properti

Bisnis, JAKARTA – Jeratan pinjaman online (pinjol) rupanya membuat masyarakat khususnya generasi muda semakin sulit memiliki rumah. 

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto mengatakan masyarakat yang memiliki pinjaman online dan kolektabilitasnya tinggi akan sulit mendapatkan kredit perbankan termasuk kredit pemilikan rumah (KPR). 

Dia menuturkan sebanyak 30% hingga 40% KPR subsidi dan non subsidi ditolak karena skor kredit calon nasabah buruk akibat terjerat pinjaman online.  

“Jadi jika ada catatan pinjol ini jelek akan berdampak pada sistem layanan informasi keuangan (SLIK) dan ini sulit untuk mengakses KPR,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (25/3/2024). 

Menurutnya, kebanyakan calon pencari rumah yang ditolak KPR baik subsidi maupun non subsidi ini merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan bekerja di sektor informal atau non fixed income. 

Joko berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki solusi atas permasalahan kredit bermasalah pinjol yang tercatat di dalam SLIK. Salah satu solusinya, lanjutnya, dapat dilakukan pemutihan sehingga dalam beberapa tahun catatan hitam hutang pinjol dapat terhapus jika telah lunas. 

OJK diminta untuk mengambil langkah tegas dalam mengatasi maraknya pinjol dan semakin banyaknya orang yang tidak bisa membeli rumah dengan KPR karena pinjol.

Pasalnya, saat konsumen terjerat Pinjol lalu dilakukan pelunasan belum tentu catatan SLIK sudah terhapus. 

“SLIK ini enggak ada pemutihan, ketika kualitas orang kena kredit macet ini seolah tidak dapat terhapus dari SLIK. Kami berharap juga ada kemudahan dari perbankan dalam mengakses KPR,” tuturnya.

Di sisi lain, REI mendorong OJK untuk membatasi bunga pinjol maksimal dua kali suku bunga konvensional. Saat ini, sudah banyak korban dari tingginya bunga pinjaman online yang bahkan mencapai 116% per tahun. Hal ini tentunya dianggap sangat mencekik dan memberatkan bagi masyarakat.

“Kami mendesak OJK untuk mengatur batasan bunga pinjol, setidaknya maksimal hanya dua kali suku bunga konvensional,” ucapnya.

Selain itu, REI juga berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat berperan aktif dalam memberikan edukasi dan fatwa terkait hukum pinjol. Fatwa MUI diharapkan dapat menjadi panduan bagi masyarakat dalam menggunakan pinjol dengan bijak dan sesuai dengan syariat Islam.

Hal ini dikarenakan dampak buruk pinjol tidak hanya terbatas pada gagalnya masyarakat dalam mendapatkan KPR tetapi juga dapat memicu berbagai masalah sosial lainnya seperti stres, depresi, kasus bunuh diri dan pembunuhan. Kasus-kasus seperti ini yang dianggap berpotensi menjadi penyakit masyarakat, sehingga harus ditindak tegas.

Oleh karena itu, OJK dan MUI harus bergerak cepat dan bertindak tegas dalam mengatasi permasalahan pinjol ini.

“Kita tidak mau berbicara sempit soal pinjol, ini penyakit masyarakat. Ada mahasiswa yang bunuh diri bahkan jadi pembunuh. Ini kan sudaah mencelakakan orang lain, kemudian ini akan jadi penyakit masyarakat. Nah, ini OJK harus bertindak, MUI harus bertindak,” kata Joko. 

Ketua DPD REI DKI Jakarta Arvin F. Iskandar menambahkan tak sedikit masyarakat yang kini terlilit pinjol ini sulit mendapatkan persetujuan KPR. Namun demikian, pihaknya tak menampik persyaratan pengajuan KPR lebih ketat dibandingkan sebelumnya. 

“Banyak pengajuan KPR masyarakat ditolak. Kalau dulu, pengajuan KPR banyak ditolak karena credit card, sekarang pengajuan KPR banyak ditolak karena calon debitur terlilit utang pinjol,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum III DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Deddy Indrasetiawan berpendapat masyarakat saat ini semakin kesulitan mengakses pembiayaan KPR dengan dimasukannya tunggakan pinjol ke dalam skor kredit di SLIK OJK. Saat ini KPR yang disediakan oleh perbankan masih menjadi sumber utama pembiayaan kepemilikan rumah dengan porsi mencapai sekitar 80%. 

Namun, dengan kehadiran pinjol sejumlah masyarakat justru menjadi kesulitan untuk mengakses KPR. Pasalnya, masyarakat dapat dengan mudah menggunakan pinjol dan tidak jarang justru merusak skor kreditnya akibat kelalaian pembayaran utang. 

Selain itu, juga terdapat praktik kejahatan yang menggunakan data individu untuk mengakses pinjol sehingga skor kredit korban menjadi rusak. 

“Kemudian juga apakah orang yang pernah berdosa, misalnya dia pernah melakukan kesalahan nilainya Rp1 juta hingga Rp2 juta apakah dia tidak punya hak untuk beli rumah secara KPR,” kata Deddy. 

OJK diharapkan dapat menyesuaikan kembali ketentuan mengenai dimasukannya history pinjol ke dalam skor kredit dengan menghapus history pinjol di bawah Rp2 juta.

Sekretaris Jendral Apersi Daniel Djumali menuturkan banyak calon konsumen yang hilang harapannya tidak bisa akad KPR karena terganjal pinjaman online dengan bunga yang tinggi. 

Dia memperkirakan lebih dari 30% hingga 50% kegagalan akad KPR diakibatkan oleh pinjol. 

“Mayoritas gagal karena pinjol, cukup besar pengaruhnya, padahal mereka pinjam kurang dari Rp5 juta,” terangnya.

Baca Juga: Mengukur Realitas Janji Program Prabowo–Gibran Bangun 3 Juta Rumah Setiap Tahun


Bank Hati-Hati

Sementara itu, Direktur Consumer Banking PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Haryanto T. Budiman mengatakan salah satu penyebab ditolaknya KPR yakni masyarakat yang memiliki kredit macet di platform pinjol

Pasalnya, bank di seluruh negara termasuk Indonesia akan melakukan evaluasi terhadap nasabah untuk melihat karakter dari para calon debitur.

“Kalau misalnya kurang baik, misalnya punya pinjol bukan dari 1 tempat, tapi 3 – 4 tempat semuanya macet, berisiko enggak menurut Anda kalau kita berikan pinjaman? itu kan berarti berisiko,” ucapnya.

Menurutnya, bila sudah bermasalah dengan pinjol, maka catatan kredit macet akan masuk di SLIK yang bisa menghambat masyarakat atau nasabah untuk mengajukan kredit di perbankan.

“Pinjol itu kalau udah bener bermasalah, itu menjadi red flag. Dan ini wajar kalau kami memberikan red flag karena sebagai bank yang harus diterapkan prinsip kehati-hatian,” tuturnya.

Pihaknya pun mengimbau bagi milenial berhati-hati agar tidak tergiur meminjam dari pinjol bila digunakan untuk kebutuhan konsumtif.

“Hati-hati dengan pinjol, karena pinjol itu jangan sembarangan digunakan untuk kegiatan konsumtif dan jangan anggap kalau ada pinjaman tidak dibayar. Kalau tidak dibayar masuk SLIK, dan itu akan memengaruhi,” tutur Haryanto. 

Chief Economist PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Winang Budoyo mengatakan sekitar 30% pengajuan KPR subsidi ditolak karena nasabah masih memiliki status kredit macet pada pinjol

“Paling tidak 30% aplikasi KPR subsidi terpaksa kami tolak karena nasabah memiliki tunggakan pinjol,” ujarnya.

Padahal, jumlah tunggakan nasabah terkadang bukan nominal yang besar yakni hanya berkisar sebesar Rp100.000 hingga Rp200.000. Namun demikian, perbankan tetap menolak pengajuan KPR nasabah.

“Menyedihkannya, hanya dengan menunggak Rp100.000, nasabah jadi tidak bisa ikut KPR. Itu kenyataan yang harus kita hadapi,” katanya.

Dia menyayangkan kondisi tersebut di tengah kebutuhan perumahan atau backlog di Indonesia masih cukup tinggi, yakni sekitar 12,7 juta hunian. 

Baca Juga: Tren Sewa Rumah di Jabodetabek Meningkat di Tengah Tingginya Harga Properti



Terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengingatkan anak muda untuk bijak menggunakan kemudahan akses keuangan digital. Kemudahaan ini sayangnya tidak diimbangi dengan pemahaman tentang literasi keuangan digital. Akibatnya, sebagian dari anak muda ini menggunakan pinjol secara ilegal karena lebih mudah persyaratannya. 

Selain itu, banyak anak muda yang tergiur kemudahan produk keuangan buy now pay later (BNPL) atau pay layer. Utang yang menumpuk karena penggunaan BNPL juga akan berefek terhadap SLIK setiap debitur. Kantor yang menggunakan SLIK sebagai salah satu syarat mencari kandidat akan membuat generasi muda kesulitan untuk mencari kerja karena memiliki skor buruk di SLIK. 

Selain itu, banyak generasi muda yang terjerat pinjol dan BNPL ini sulit mengakses KPR karena memiliki utang yang menumpuk yang hanya kisaran Rp300.000 hingga Rp500.000. 

Lalu terdapat pula konsumen dari produk keuangan seperti BNPL yang mempunyai kredit bulanan hingga memiliki cicilan sebesar 95% dari penghasilan per bulan. Artinya, apabila debitur tersebut memiliki penghasilan Rp10 juta, maka Rp9,5 juta dipakai untuk membayar utang. 

Melihat fakta-fakta terkait permasalahan keuangan, pihaknya menggiatkan literasi keuangan untuk anak-anak muda. OJK juga mendorong seluruh penyelenggara keuangan mengedepankan consumer well-being, bukan hanya fokus meningkatkan penjualan produk keuangan semata. 

“Sekarang kan banyak produk keuangan itu digital. Nah, kalau yang berbahaya itu anak-anak muda itu mereka mengakses produk keuangan yang ilegal, yang itu sangat mudah ditemui secara online. Kalaupun mereka mengakses yang legal, itu kadang-kadang mereka belum bijaksana dalam penggunaannya,” tutur Friderica. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Nindya Aldila
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.