Bisnis, JAKARTA — Polemik penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT) kian menjadi pelik tatkala penerimaan negara terus tergerus akibat kebijakan yang sejatinya menjadi tenaga ekstra bagi sektor manufaktur nasional untuk meningkatkan utilitas produksinya.
Ditambah lagi, rendahnya realisasi serapan gas harga khusus yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu) bagi sebagian sektor industri tersebut juga masih menjadi persoalan yang belum jua terpecahkan.
Di satu sisi, alokasi gas harga khusus yang tidak terserap itu disebut-sebut karena belum optimalnya serapan dari industri penerima manfaat kebijakan tersebut, tetapi di sisi lain suplai dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN juga dinilai masih belum merata.
Pada saat bersamaan, potensi penerimaan bagian negara yang hilang dari kebijakan HGBT tersebut juga kian besar. Sepanjang 2023, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat terjadi penurunan penerimaan negara mencapai lebih dari US$1 miliar atau minimal sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS).