Bisnis, JAKARTA – Sektor properti residensial tengah bersiap menghadapi badai usai pandemi Covid-19. Setelah hampir 2 tahun sektor properti residensial khususnya rumah tapak berkibar dan tahan menghadapi pandemi. Kali ini, para pengembang rumah tapak harus berupaya keras untuk bisa survive keluar dari pusaran awal gelap.
Setelah usai pemberian stimulus Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) pada September kemarin, saat ini tak ada lagi insentif yang mendorong kinerja penjualan sektor properti residensial. Pasalnya, perpanjangan kebijakan pelonggaran rasio loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit pemilikan rumah serta pembiayaan properti hingga 31 Desember 2023 ini tak signifikan dampaknya. Hal ini karena down payment (DP) 0 persen ini akan memberatkan besaran cicilan per bulannya. Selain itu, tak semua konsumen bisa mendapatkan DP 0 persen ini karena melakukan screening yang ketat.
Kembali naiknya BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 50 basis poin atau 0,50 persen menjadi 4,75 persen pada Kamis (20/10) kemarin menambah beban berat sektor properti. Kenaikan BI7DRR ini tak hanya berdampak pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) konsumen saja. Namun bagi pengembang, naiknya BI rate juga akan berdampak pada besaran kredit konstruksi yang dipinjam developer untuk membiayai suatu proyek.
Di sisi lain, naiknya harga Bahan Bakar Bangunan (BBM) sejak awal September kemarin turut berimbas bahan bangunan yang kenaikannya mencapai 20 persen hingga 30 persen. Alhasil, biaya produksi rumah pun meningkat. Ditambah lagi, inflasi Indonesia mulai merangkak naik yang saat ini sebesar 5,95 persen yang berdampak pada biaya material bangunan dan daya beli masyarakat.