Keamanan Pasokan dan Tarif Listrik Jadi Isu Penting Energi Hijau

Dalam rencana penyediaan tenaga listrik 10 tahun ke depan, untuk pertama kalinya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mendapatkan porsi paling besar yakni 51,6%, sedangkan porsi energi fosil 48,4%.

Muhammad Ridwan & Rayful Mudassir

6 Okt 2021 - 10.44
A-
A+
Keamanan Pasokan dan Tarif Listrik Jadi Isu Penting Energi Hijau

Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) gas metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/1/2019). Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah membuka kesempatan bagi pemodal asing berinvestasi di PLTSa untuk mendukung upaya mengelola energi terbarukan yang ditargetkan di 12 kota yakni DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Bisnis, JAKARTA — Keamanan pasokan dan tarif listrik hingga 2030 menjadi isu penting yang harus segera dicarikan solusinya, sejalan dengan upaya pemerintah menggenjot pengembangan energi baru terbarukan.

Dewan Energi Nasional menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2021—2030 seharusnya bisa memberikan jaminan pasokan dan harga listrik yang terjangkau bagi masyarakat untuk bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dalam rencana penyediaan tenaga listrik 10 tahun ke depan, untuk pertama kalinya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mendapatkan porsi paling besar yakni 51,6%, sedangkan porsi energi fosil 48,4%. 

Adapun, kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 MW, sedangkan total tambahan kapasitas pembangkit energi fosil adalah 19.652 MW. Secara keseluruhan, pemerintah membidik penambahan kapasitas listrik hingga 40.575 MW pada 2030.

"Perkiraan saya PLTP ini biaya eksplorasinya dan biaya listrik mungkin lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Ini mungkin tentunya bisa mempengaruhi BPP dan tarif biaya jual,” ujar Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Selain itu, imbuhnya, rencana bauran energi hijau itu semestinya juga harus selesai hingga 2030. “Ini konsekuensinya sulit diselesaikan. Bayangkan dalam 9 tahun sampai 2030 harus diselesaikan dari jumlah yang sudah ada saat ini," ujarnya.

Menurut dia, PLN harus benar-benar melakukan pengujian terkait dengan rencana penambahan kapasitas dari pembangkit EBT tersebut apakah dapat diselesaikan tepat waktu sampai dengan 2030.

Di sisi lain, apabila target itu meleset, maka opsi penggantinya adalah dengan pengembangan pembangkit energi fosil meski terdapat dampak lain yang disebabkan RUPTL tersebut yakni adalah tidak tersedia akses pendanaan.

Herman mengungkapkan bahwa asumsi-asumsi dalam RUPTL harus sesuai dengan visi DEN yaitu mewujudkan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan penerimaan.

"Kalau asumsi-asumsi ini benar-benar terjadi, menurut saya angka ini oke saja masih layak, cuma kita sama-sama perlu bertanya bagaimana dampak terhadap biaya pokok dari RUPTL ini. Nah idealnya dampak itu harus minimum, memang yang aman itu menggunakan batu bara, dan ini kan dikurangi," ungkapnya.

Untuk diketahui, RUPTL 2021–2030 memproyeksikan kebutuhan subsidi listrik dan kompensasi untuk PLN  melonjak menjadi Rp187 triliun pada 2030 dari Rp72 triliun di 2021.

Besaran subsidi tersebut tertuang dalam salinan RUPTL PLN 2021–2030 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021.

Diterangkan, rata-rata subsidi dan kompensasi pada 2021–2024 sebesar Rp91 triliun per tahun. Namun, dengan capaian target EBT 23% pada 2025, subsidi dan kompensasi akan meningkat pada 2030.

“Akan meningkat menjadi rata-rata Rp186 triliun per tahun pada 2025–2030,” dikutip dari salinan RUPTL, Selasa (5/10/2021).

Hitungan tersebut didasarkan pada proyeksi meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) pada 2025 untuk mencapai target 23% bauran EBT.

RUPTL juga memproyeksikan rerata BPP pada 2021–2024 sebesar Rp1.445 per kWh. Angka ini kemudian meningkat menjadi Rp1.637 per kWh pada 2025–2030.

Untuk perhitungan subsidi, tarif listrik diasumsikan tetap tanpa pemberlakuan automatic tariff adjustment (ATA) yang berdampak pada pembayaran kompensasi dan subsidi.

Kondisi ini dihadapi PLN sejak 1 Mei 2017 setelah diterbitkan surat 2577/26/MEM.L/2017 pada 27 Maret 2017 Perihal Persetujuan Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (Tariff Adjustment) Periode April–Juni 2017.

Mengacu pada ketentuan ini, maka berlaku dua kelompok tarif, yaitu tarif bersubsidi sesuai dengan permen ESDM, dan golongan ATA yang menggunakan angka penyesuaian tarif terakhir.

Kebijakan tarif yang sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah adalah apabila BPP lebih tinggi dari pada tarif jual tenaga listrik, sehingga selisih tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk subsidi.

Metode perhitungan subsidi dan tarif jual tenaga listrik menggunakan cost plus margin. Cost yang dimaksud adalah allowable costs, sedangkan margin usaha pada 2021–2030 diasumsikan 7% atas allowable costs. Dengan adanya non-allowable cost, maka penerimaan margin bersihnya jauh di bawah 7%.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai RUPTL PLN 2021—2030 dalam perspektif target bauran energi dapat dikatakan baik. Namun, pemerintah dinilai perlu berhati-hati agar jangan sampai hal tersebut menimbulkan krisis energi seperti yang dialami sejumlah negara karena menggantungkan pasokan energi pada EBT.

"Untuk pasokan dari EBT umumnya belum stabil seperti fosil, sebagai gambaran untuk PLTS produksinya hanya siang, jika mengandalkan hanya PLTS tentu risikonya besar, karena ada industri yg pasokan listriknya tidak boleh putus," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Komaidi menilai, memaksakan transisi yang cepat pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam hal pasokan energi primernya. Sifat intermittensi pada EBT masih memiliki risiko yang besar untuk diandalkan dalam memasok kebutuhan energi masyarakat.

Pengunjung beraktivitas di dekat turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1). Pembangunan PLTB terbesar se-Asia Tenggara tersebut telah mencapai 90%. Sebanyak 30 turbin dengan kapasitas 75 MW tersebut diproyeksikan mampu melistriki 70.000 pelanggan di Sulsel dengan daya listrik rata-rata 900 VA.  JIBI/Bisnis/Abdullah Azzam

Namun demikian, pemerintah telah mempertimbangkan secara matang terkait dengan peningkatan permintaan, pembangkitan, transmisi maupun distribusi listrik.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan bahwa dalam penyusunan RUPTL PLN 2021—2030, pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan diskusi dengan lembaga nasional maupun internasional untuk mengatasi berbagai macam tantangan ke depan.

Beberapa di antaranya adalah International Energy Agency, National Renewable Energy Laboratory, hingga Asean Centre Energy dari Asean.

“Diskusi ini juga dilakukan dengan perguruan tinggi nasional, khususnya mengenai dampak masuknya pembangkit intermiten terhadap sistem kelistrikan di Indonesia,” katanya, Selasa (5/10/2021).

RUPTL PLN kali ini juga merencanakan pembangunan transmisi untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik.

Dalam prosesnya, pemerintah berupaya menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, serta membawa energi listrik dari daerah oversupply kepada wilayah yang defisit energi.

Selain itu, pemerintah juga merencanakan penyaluran listrik ke kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), lokasi industri smelter, hingga peningkatan sumber daya EBT ke pusat beban. “Mengingat pada umumnya potensi EBT terletak jauh dari pusat beban listrik,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.