Kecepatan Akses Internet: Gengsi RI di SKKL Trans-Pasifik

Dibangunnya proyek SKKL internasional terpanjang di Tanah Air senilai Rp12,6 triliun oleh Moratelindo menjadi pertaruhan Indonesia sebagai hub konektivitas dunia pada 2025, serta upaya mengoptimasi kecepatan akses internet melalui infrastruktur kabel serat optik bawah laut sepanjang 22.000 km.

Leo Dwi Jatmiko

8 Nov 2021 - 12.48
A-
A+
Kecepatan Akses Internet: Gengsi RI di SKKL Trans-Pasifik

Proyek SKKL Bifrost, yang dibangun oleh Telkom dan Facebook serta Keppel Telecomunications & Transportation Limited. /dok. Telin & Facebook

Bisnis, JAKARTA — Indonesia ditaksir menghabiskan biaya Rp12,6 triliun atau sekitar US$800 juta guna mengeksekusi pembangunan proyek serat optik Trans-Pasifik terpanjang di Tanah Air yang terhubung hingga ke Singapura, Australia, dan Amerika Serikat.

Proyek sistem komunikasi kabel laut (SKKL) internasional tersebut akan didorong lebih dalam sehingga dapat menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia. 

Menanggapi proyek tersebut, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) Galumbang Menak mengatakan investasi yang digelontorkan untuk membangun SKKL Trans-Pasifik cukup besar karena panjangnya mencapai 22.000 kilometer.

Menurut Galumbang, biaya pembangunan SKKL per kilometernya kurang lebih mencapai US$40.000 atau sekitar Rp572 juta. Dengan kata lain, jika panjang SKKL mencapai 22.000 kilometer, biaya yang dihabiskan sekitar US$880 juta atau Rp12,6 triliun. 

“Jadi sekitar US$800 juta,” kata Galumbang kepada Bisnis, akhir pekan. 

Rencananya, sebut Galumbang, SKKL tersebut akan mendarat di Batam. Setelah itu, Moratelindo bakal menyambungkannya ke Sulawesi atau ke Kalimantan, mengingat di Kalimantan akan dibangun ibu kota baru. 

Moratelindo juga mempertimbangkan opsi menarik SKKL tersebut ke Papua sebagai sistem jaringan cadangan.  

Secara jalur, kata Galumbang, SKKL Trans-Pasifik yang akan dibangun bekerja sama dengan Hawaiki— perusahaan SKKL asal Selandia Baru—berbeda dengan SKKL Bifrost dan Echo.

SKKL Moratelindo-Hawaiki ini akan digelar dengan rute Singapura, Indonesia, Australia dan Amerika Serikat dan ditargetkan dapat beroperasi pada 2025. 

“Kami juga sedang evaluasi mengenai rute karena kabel kami di Papua baru satu, maka kami kaji agar kabel ini ke Papua atau ke Kupang,” kata Galumbang. 

Sebagai perbandingan, SKKL Bifrost dan Echo merupakan SKKL yang langsung menghubungkan Indonesia dengan Amerika Serikat. SKKL dengan panjang 15.000 kilometer itu ditargetkan beroperasi pada 2023 untuk Echo dan 2024 untuk Bifrost. 

Echo merupakan SKKL yang akan dibangun secara bersama oleh Facebook, Alphabet Google dan PT XL Axiata Tbk. (EXCL). Sementara itu, Bifrost adalah SKKL yang dibangun oleh Telkom dan Facebook serta Keppel Telecomunications & Transportation Limited. 

Pada September 2021, CEO Telin Budi Satria Dharma Purba menyampaikan seluruh proses pembangunan SKKL Bifrost masih berjalan sesuai dengan rencana. 

Setelah menandatangani joint build agreement dengan seluruh anggota konsorsium pada Maret 2021, saat ini SKKL Bifrost dalam proses persiapan pembangunan. 

Konsorsium melakukan koordinasi intensif dengan Alcatel Submarine Network sebagai penyuplai,  pemerintah setempat, dan pihak internal.

Pembangunannya sendiri diawali dengan aktivitas survei rute laut yang dilaksanakan pada kuartal III/2021. 

“Jika semua persyaratan perizinan telah terpenuhi maka penggelaran kabel laut akan dimulai pada 2022,” kata Budi. 

Tidak hanya itu, konsorsium telah menunjuk Alcatel Submarine Networks (ASN) untuk membangun SKKL Bifrost. ASN akan menggunakan teknologi terbaik dan terkini untuk membangun SKKL Bifrost. 

Beberapa diantaranya adalah wire armoring atau lapisan pelindung serat optik pada kabel laut untuk melindungi kabel bawah laut dari gangguan akibat longsor di bawah laut, serta mechanical housing pada repeater dan branching unit untuk melindungi kabel laut terhadap temperatur bawah laut yang ekstrem. 

“Kemampuan yang dihasilkan oleh teknologi tersebut menjadi upaya mitigasi jika terjadi gangguan dari faktor alam,” kata Budi. 

Sementara itu, Group Head Corporate Communications PT XL Axiata Tri Wahyuningsih mengatakan perusahaan  terus melakukan persiapan untuk implementasi proyek SKKL Echo. 

XL masih mengurus sejumlah perizinan di pemerintahan. Bersamaan dengan itu, XL menyiapkan lokasi pendaratan SKKL, yang salah satunya bakal terletak di Karawang, Jawa Barat. 

“Kami sedang berkoordinasi dengan pemerintah untuk dukungan perizinan, penyiapan teknis untuk lokasi pendaratan kabel dan sebagainya,” kata Ayu. 

LIBATKAN LOKAL

Di sisi lain, para penyedia jasa internet  atau internet service provider (ISP) lokal berharap dapat terlibat dalam pembangunan SKKL internasional. 

Dengan terlibat, gencarnya pembangunan SKKL internasional jelang tutup tahun, akan menggerakan perekonomian para penyedia jasa internet dalam negeri. 

Ketua Umum Asosiasi Jasa Internet Indonesia (Apjii) Muhammad Arif mengatakan peran para ISP lokal sangat penting dalam mendorong penetrasi internet hingga ke pelosok Indonesia. 

Serat optik internasional yang terbangun, hanya dapat membantu memberikan internet hingga batas terluar Indonesia. Selanjutnya untuk menyebarluaskan layanan internet yang telah digelar pemerintah membutuhkan bantuan para ISP lokal. 

“Saya berharap ada regulasi di mana para ISP lokal ini juga dapat terlibat dan berkontribusi,” kata Arif, Minggu (7/11/2021). 

Arif mengatakan tantangan terbesar dalam menjadikan Indonesia sebagai hub internasional adalah waktu. Pemerintah harus disiplin mengatur waktu agar pembangunan infrastruktur telekomunikasi tepat waktu, sesuai dengan rencana. 

“Karena kebutuhan akan data dan konten ke depan akan lebih banyak lagi,” kata Arif. 

Arif mengatakan banyaknya SKKL yang terhubung dengan Indonesia tidak terlepas dari letak Indonesia yang strategis. Menurutnya, sudah seharusnya Indonesia menjadi global hub  di kawasan Asia Pasifik.  

“Untuk menjadi global hub butuh dukungan infrastruktur seperti pangkalan data dan SKKL,” kata Arif. 

Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menilai tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi hub konektivitas dunia.

Pemerintah harus dapat memberi kepastian lewat regulasi dan payung hukum jika Indonesia ingin menjadi hub. 

“Tantangan berikutnya penyiapan sumber daya manusia, sumber energi yang andal dan lain-lain,” kata Ian. 

Indonesia, sambung Ian, juga harus membangun pusat pusat digital di lokasi yang menarik bagi sumber daya manusia dalam dan luar negeri. 

“Indonesia juga harus memberikan jaminan keamanan dalam berinvestasi dan berinovasi serta perlindungannya,” kata Ian. 

Di sisi lain, kehadiran SKKL internasional diprediksi makin banyak ke depannya seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap layanan komputasi awan. 

Pemerintah dituntut untuk sigap menghadapi era ini. Terdapat beberapa ancaman yang harus diantisipasi khususnya mengenai kedaulatan siber Indonesia. 

Ketua Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan pembangunan SKKL terus berlangsung secara global, di seluruh benua, bukan hanya di Indonesia. 

Tren pembangunan SKKL tidak serta merta membuat Indonesia menjadi hub, karena ke depan industri akan makin bergeser ke bisnis komputasi awan (cloud). 

Selain itu, SKKL juga dibutuhkan untuk bisnis konten dan aplikasi. Keduanya butuh kecepatan makin tinggi. 

“Jaringan kabel laut ini membutuhkan investasi cukup besar, karena itu kekuatan asing yang berskala besar mudah masuk,” kata Sigit, Minggu (7/11/2021). 

Adapun, beberapa hal yang perlu diantisipasi seiring dengan hadirnya SKKL yang makin banyak a.l. disrupsi pada industri telekomunikasi, termasuk di antaranya, kemungkinan terjadinya integrasi vertikal. 

Integrasi vertikal  bisa berdampak pada perubahan pola kompetisi di lapisan perangkat, jaringan dan aplikasi. Isu lainya adalah terkait Kedaulatan Siber dan Data di Indonesia. 

“Karena secara regulasi, berarti pemain global masuk ke dalam, maka perlu ada langkah nyata kebijakan terkait batas negara agar tidak memudar, dan kedaulatan tetap terjaga,” kata Sigit. 

Dia menuturkan pemerintah pemerintah perlu memastikan bahwa kerja sama dengan operator nasional dalam pembangunan infrastruktur tersebut berlangsung secara  saling menguntungkan (win-win solution).

Keduanya menghargai dan mematuhi segala regulasi yang berlaku di Indonesia. Dia berharap terjadi kerja sama yang  adil dan tidak berat sebelah. 

“Misalnya, kewajiban kepatuhan regulasi, termasuk beban regulasinya hanya diembankan kepada pihak operator Indonesia, sedangkan pihak asinya tahu beres saja,” kata SIgit.  

Lebih lanjut, kata Sigit, regulator perlu lebih agresif menata regulasi era digital dan data, termasuk pengenaan pajak digital, kebijakan investasi terkait jaringan siber nasional. 

Regulator juga harus melihat lebih tajam dan seksama potensi disrupsi dan dampaknya bagi industri telekomunikasi dan internet nasional. 

Dalam era saat ini, tutur Sigit, kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak asing adalah sebuah keniscayaan.

“Namun, harus tetap menumbuhkan industri nasional dan menuju kemandirian nasional termasuk dalam infrastruktur digital,” kata Sigit. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.