Kemandirian Industri Tekstil RI Diuji Krisis Energi China

Momentum hambatan pasokan dari China semestinya dapat menjadi pelatuk para pelaku industri pertekstilan hulu untuk memaksimalkan serapan bahan baku lokal.

Reni Lestari

4 Okt 2021 - 13.29
A-
A+
Kemandirian Industri Tekstil RI Diuji Krisis Energi China

Pabrik tekstil hulu/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Keandalan industri pertekstilan Indonesia dalam mencukupi pasokan dari dalam negeri tengah diuji oleh isu krisis listrik yang terjadi di China, selaku pemasok utama bahan baku di sektor tersebut.

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan momentum hambatan pasokan dari Negeri Panda ini semestinya dapat menjadi pelatuk para pelaku industri hulu untuk memaksimalkan serapan bahan baku lokal.

Terlebih, lanjut Elis, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia memiliki struktur yang lengkap, mulai dari hulu (serat dan benang), antara (kain), hingga hilir (garmen).

"Adanya gangguan suplai listrik di China justru harus dimanfaatkan oleh industri TPT Indonesia untuk bisa menyuplai bahan baku tekstilnya dari dalam negeri," kata Elis saat dihubungi Bisnis, akhir pekan lalu.

Dalam kaitan itu, Kemenperin menargetkan penurunan impor di sektor TPT dan alas kaki sebesar Rp21,02 triliun sepanjang tahun ini guna mendorong pencapaian target substitusi impor 35% pada 2022.

Pada semester I/2021, penurunan impor ditarget 22% atau Rp10,66 triliun dari posisi paruh pertama 2019.

Namun, realisasinya baru mencapai 13% atau Rp 6,3 triliun menjadi Rp42,15 triliun dari semester I/2019 sebesar Rp48,45 triliun.

Adapun, industri alas kaki mengalami penurunan impor paling tinggi pada paruh pertama tahun ini sebesar 35%, diikuti pakaian jadi 16% dan tekstil 12%.

Di sisi lain, terlepas dari kendala suplai bahan baku dari China, industri TPT domestik tengah diadang isu lonjakan harga kapas di pasar dunia akibat cuaca buruk yang merusak panen di Amerika Serikat.

Namun demikian, Elis mengatakan Indonesia tidak lagi bergantung pada kapas sebagai bahan baku tekstil dan telah bergeser ke bahan substitusi yakni rayon dan poliester.

"Indonesia punya industri rayon dan industri poliester yang bisa menyubstitusi kapas," lanjutnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman membenarkan sebagian besar pelaku usaha telah beralih dari kapas ke bahan baku serat lain. 

Dengan demikian, kenaikan harga kapas dunia tak terlalu memberi tekanan pada ongkos produksi industri secara keseluruhan.

"Bagi pemain yang pakai kapas ya pasti terasa [dampaknya], cuma kebanyakan di Jawa Tengah dan sudah tidak terlalu banyak," ujar Rizal. 

Walakin, Rizal berpendapat kemandirian bahan baku lokal di industri TPT nasional merupakan tantangan jangka panjang dalam mengatasi gangguan rantai pasok industri tekstil, termasuk yang saat ini dipicu oleh krisis listrik di China.

Dia tak menampik sebagian besar bahan baku tekstil Indonesia masih didatangkan dari China sehingga krisis ini lambat laun akan menekan pelaku industri dalam negeri.  

"Kalau mau jangka panjang ya kemandirian bahan baku. Itu jadi solusi, kita jadi tidak tergantung dengan negara lain, sehingga industri lokalnya bagus," kata Rizal.

Dia menerangkan kendala krisis listrik di China saat ini belum berdampak signifikan pada suplai bahan baku tekstil.

Namun, isu tersebut diperkirakan segera dirasakan jika kondisi ini berkepanjangan.

Menurutnya, saat ini pelaku usaha juga masih mengalami gangguan kemacetan pengapalan karena kelangkaan kontainer dan ongkos kirim yang melambung.

"Karena persoalan kontainer juga agak lambat, jadi belum bisa teridentifikasi, oh ini gara-gara [krisis] listrik [China]," lanjutnya.

Suplai bahan baku dari dalam negeri menurutnya belum bisa sepenuhnya menutupi kebutuhan di industri hilir, terutama terkait standar kualitas.

BELUM TERDAMPAK

Bagaimanapun, sejumlah pelaku industri tekstil dalam negeri mengeklaim belum terdampak penundaan suplai bahan baku dari China akibat krisis listrik di negara itu. Hal itu berkat diversifikasi rantai pasok dan suplai bahan baku dari dalam negeri.

Corporate Secretary PT Pan Brothers Tbk. Iswardeni mengatakan suplai bahan baku perseroan sejauh ini tidak mengalami kendala. Penyebabnya, perusahaan pertekstilan berkode saham PBRX telah mengalihkan suplai bahan bakunya selain dari China.

"Semua well maintenance karena sudah di-switch dan dikirim dari negara lain, seperti Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Vietnam," katanya.

Sebelumnya, Iswardeni menyebut ada limpahan pesanan dari negara-negara yang tengah mengalami pembatasan ketat seperti Vietnam. Namun, Pan Brothers tidak dapat menerima semua pesanan yang masuk karena terkendala modal kerja yang ketat.

Pan Brothers diketahui tengah melakukan restrukturisasi setelah digugat pada perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh PT Maybank Indonesia Tbk., meski tuntutan itu ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Senada dengan Pan Brothers, produsen tekstil PT Ricky Putra Globalindo Tbk. (RICY) juga tak terdampak krisis listrik di China karena pasokan bahan baku sebagian besar telah dipenuhi dari dalam negeri.

"Semua bahan baku kami dibeli dari dalam negeri. Kalaupun ada impor bahan baku, tidak didatangkan dari China," ujar Direktur Ricky Putra, Tirta Heru Citra.

Dilansir dari Bloomberg, seperti diktuip Bisnis.com, krisis listrik di China disebabkan permintaan yang melonjak dari pabrik-pabrik karena pesanan luar negeri meningkat tajam.

Di sisi lain, pemerintahan Xi Jinping tengah berambisi memenuhi target nol emisi pada 2060 sehingga membatasi pertumbuhan pertambangan batu bara yang menyumbang lebih dari 70% pembangkit listrik negara itu.

Krisis listrik ini bahkan telah membuat sejumlah ekonom memangkas proyeksi untuk pertumbuhan China untuk tahun ini. 

Dari sisi industri alas kaki, pengusaha dalam negeri mulai mewaspadai dampak penundaan suplai bahan baku dari China yang tengah mengalami krisis listrik.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan pihaknya tak bisa memastikan kelancaran pasokan untuk beberapa bulan mendatang, meski pesanan eksisting bahan baku saat ini belum terkendala.

"Kami masih menunggu kira-kira krisis listrik di China ini akan seperti apa. Untuk saat ini anggota kami masih produksi normal, bahan baku masih tersedia," katanya.

Firman mengatakan kondisi ini akan mengulang kejadian awal 2020 ketika China menghentikan kegiatan produksinya karena lockdown ketat.

Saat itu suplai bahan baku macet sementara upaya mencari alternatif sumber bahan baku lain tak semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, ada spesifikasi produk dan kualitas barang yang harus dipenuhi.

Sementara itu, industri dalam negeri juga dinilai belum bisa memenuhi standar kualitas kebutuhan bahan baku.

"Kalau harga [bahan baku domestik] masih bisa [bersaing]. Tetapi lebih ke soal cetakan dan kualitas," katanya.

Selain dari China, bahan baku alas kaki juga diimpor dari Vietnam yang sampai bulan lalu memberlakukan pembatasan ketat.

Firman mengatakan suplai bahan baku dari Vietnam mengalami kendala, tetapi tidak sampai mengganggu produksi industri.

"Saya rasa tidak terlalu pengaruh [lockdown Vietnam]. Kami kan tidak terlalu besar [impor dari Vietnam], sebagian besar dari China," ujarnya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.