Ketika Berbicara Soal Impor Baja, Mengapa Tidak Satu Suara?

Saat ini Indonesia membutuhkan lima smelter baru untuk memenuhi kebutuhan baja nasional.

Zufrizal
16 Agt 2021 - 20.08
A-
A+
Ketika Berbicara Soal Impor Baja, Mengapa Tidak Satu Suara?

Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Bisnis, JAKARTA — Belum lama ini, Badan Pusat Statistik merilis data impor besi dan baja pada semester I/2021. Tak tanggung-tanggung, impor besi dan baja, menurut BPS, naik 51,18 persen menjadi US$5,36 miliar dari realisasi paruh pertama 2020 senilai US$3,54 miliar.

Bahkan, nilai impor baja untuk keperluan konstruksi kembali melonjak pada semester I/2021 dan diperkirakan terus tumbuh hingga akhir tahun ini.

Begitu pula penjelasan Indonesia Iron and Steel Association (IISA). Asosiasi ini memprediksi menggeliatnya pasar pengguna baja konstruksi nasional akan membuat nilai impor baja pada tahun ini akan tumbuh secara tahunan.

“Banyak cara yang dilakukan pengimpor dan produsen produk [baja konstruksi] dari luar yang memanfaatkan celah peraturan. [Pengguna baja impor] yang banyak itu ke [industri] infrastruktur,” kata Ketua Umum IISA Silmy Karim kepada Bisnis, Selasa (10/8/2021).

Menurut Silmy, salah satu praktik yang dilakukan adalah mengumumkan jenis baja yang diimpor adalah untuk industri otomotif. Namun, baja tersebut akan digunakan untuk keperluan konstruksi infrastruktur.

IISA mendata tujuh jenis baja infrastruktur yang diimpor pada semester I/2021, yakni baja canai panas (HRC), pelat baja, baja canai dingin (CRC), wire rod, bar, section, dan baja lapis.

Ketujuh jenis baja tersebut juga dapat menjadi bahan baku bagi industri otomotif dan industri turunan lainnya.

Berdasarkan data IISA, volume impor ketujuh jenis baja tersebut terus meningkat selama 2016–2019. Pada 2020, volume impor ketujuh jenis baja tersebut anjlok 34,21 persen menjadi 4,76 juta ton.

IISA menemukan bahwa volume ketujuh jenis baja impor tersebut meningkat 15 persen secara tahunan pada semester I/2021 menjadi 3,01 juta ton.

Sementara itu, impor baja karbon naik 6,97 persen menjadi 1,91 juta ton, sedangkan impor baja paduan melonjak 33,25 persen.

Akan tetapi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengeklaim tidak ada kenaikan nilai impor baja konstruksi nasional pada 2021. Hal itu diduga karena adanya kebijakan pengurangan impor 35 persen dan kondisi pasar baja dunia.

"Impor baja [konstruksi] nasional saya kira cukup terkendali secara supply dan demand," katanya dalam konferensi pers virtual, Senin (16/8/2021).

BUTUH LIMA SMELTER

Menurutnya, saat ini Indonesia membutuhkan lima smelter baru untuk memenuhi kebutuhan baja nasional.

Lima smelter tersebut diperlukan untuk mengolah bijih besi menjadi slab, bloom, dan billet yang selama ini masih banyak diimpor.

"Setelah dihitung-hitung kita butuh lima smelter baru guna mencapai target substitusi impor baja dan substitusi impor industri secara umum yang secara umum targetnya 35 persen dengan baseline 2019," katanya.

Pekerja mengecek lembaran baja di pabrik Sunrise Steel, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (18/2).ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Meski demikian, Agus menjelaskan bahwa secara keseluruhan impor baja nasional saat ini masih cukup terkendali. Adanya kenaikan harga produk konstruksi dikarenakan kebutuhan baja dunia yang naik dan China mengurangi pasokan di negaranya. Alhasil, rerata kenaikan produk baja 10 persen hingga 20 persen.

Kementerian Perindustrian pun mencatat adanya peningkatan produksi naja nasional kendati di tengah pandemi pada 2020.

Saat ini kemampuan industri baja nasional, tecermin dari kapasitas produksi bahan baku baja nasional sebesar 13 juta ton dengan perkiraan produksi 2020 sebesar 11,5 juta ton atau meningkat 30,2 persen dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 8,8 juta ton.

Selain itu, utilisasi pada 2020 juga meningkat hingga 88,3 persen dari 2019 sebesar 67,8 persen.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan bahwa periode 2020 merupakan lembaran baru bagi industri baja nasional sebab Indonesia berhasil menekan impor baja hingga 34 persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Kita berhasil menekan impor sebesar 34 persen, di mana sebelumnya pada 2019, 2018, dan 2017 itu sering diwarnai banjir impor. Karena apa? kami menegakkan kebijakan yang tepat, dengan mengatur supply and demand secara smart, terstruktur, dan sesuai dengan kapasitas industri nasional,” katanya.

Taufiek menyebutkan bahwa impor baja untuk jenis slab, billet, dan bloom pada 2020 sebanyak 3,4 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4,6 juta ton. Penurunan impor juga terjadi pada jenis baja hot rolled coil per plate (HRC/P) yang pada tahun 2020 menjadi 1,1 juta ton dari 1,6 juta ton pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, impor untuk jenis cold rolled coil per sheet (CRC/S) turun menjadi 591.638 ton pada 2020 dibandingkan pada 2019 yang sebesar 918.025 ton. Untuk jenis baja lapis, impornya juga turun menjadi 1,0 juta pada 2020 dari 1,2 juta ton di tahun sebelumnya. (Andi M. Arief/Ipak Ayu H.N.)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Zufrizal

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.