Bisnis, JAKARTA – Sebagai upaya pemerataan kepemilikan rumah dan mengurangi angka backlog keterhunian yang saat ini mencapai 12,75 juta, pemerintah menyiapkan sejumlah sanksi atau punishment jika penyaluran rumah bersubsidi tidak tepat sasaran yakni hanya kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Adapun berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas kepatuhan pengelolaan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Pemerintah (FLPP) semester I tahun 2022 pada BP Tapera, sebanyak 256 debitur yang tidak tepat sasaran pada penyaluran FLPP dan penanganan penyelesaiaan kredit FLPP terhadap 5.679 debitur yang tidak sesuai ketentuan.
Rumah subsidi memang menjadi salah satu pilihan favorit para pencari hunian dengan jumlah penghasilan tertentu atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sesuai dengan namanya, pembeli rumah ini mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga bisa mendapatkan rumah dengan harga miring atau harga yang jauh lebih murah dibandingkan rumah komersial. Hal inilah yang membuat harga rumah subsidi diatur oleh pemerintah.
Berdasarkan beleid Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No 242/KPTS/M/2020 yang dikeluarkan pada Maret 2020 yang berisikan aturan pembaharuan terkait harga jual rumah subsidi, batasan penghasilan kredit pemilikan rumah subsidi, besaran suku bunga, lama masa subsidi, batasan luas tanah dan bangunan rumah serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan, batasan harga rumah bersubsidi berkisar Rp150,5 juta hingga Rp219 juta per unit sesuai dengan zonasi. Sementara itu, batasan penghasilan untuk memiliki rumah bersubsidi adalah maksimum Rp8 juta hingga Rp10 juta per bulan sesuai dengan zonasi.