Ketika Setumpuk Hambatan Masih Menjerat Sektor Properti Hunian

Sektor properti juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dimana dalam setiap penyaluran dana Rp1 triliun ke sektor perumahan, maka akan berkontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar Rp4,2 triliun. Namun sayangnya, masih banyaknya hambatan yang menjegal pertumbuhan industri properti.

Yanita Petriella

13 Des 2022 - 23.50
A-
A+
Ketika Setumpuk Hambatan Masih Menjerat Sektor Properti Hunian

Ilustrasi bangun rumah. /istimewa

Bisnis, JAKARTA – Sektor properti disebut berkontribusi pada pembangunan nasional. Kontribusi sektor properti sebesar 13,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2021. Sektor properti juga memiliki multiplier efek dan rantai pasok terhadap 175 industri lain yang sangat tinggi dengan konten lokal. 

Namun sayangnya, masih banyaknya hambatan di industri properti yang berdampak pada pertumbuhan. Terlebih, dikeluarkannya beleid Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) beserta aturannya yang semestinya tak menghambat pertumbuhan sektor properti

Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menilai kehadiran beleid sapu jagat itu justru menimbulkan berbagai persoalan baru bagi pengembang. “Penerapan aturan ini terbukti telah menciptakan hambatan-hambatan baru,” ujarnya dalam Rakernas REI, Selasa (13/12/2022). 

Beberapa aturan yang di maksud, misalnya, kendala perizinan setelah diberlakukannya Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) yakni perizinan melalui sistem elektronik. 

Kemudian, terkait peralihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Perizinan Bangunan Gedung (PBG). Layanan PBG ini sangat menghambat di daerah. Pasalnya, hingga 29 Agustus 2022, mayoritas daerah masih belum siap dalam melaksanakan PBG. Adapun tercatat baru 69 dari 514 kabupaten/kota yang menerbitkan PBG dan terdapat 132 kabupaten/kota yang belum menerbitkan Perda PBG dan belum menerbitkan PBG. 

Selain itu juga ada kendala dalam ketentuan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang bertentangan dengan ketentuan rencana tata ruang. Lalu juga terdapat kendala nomenklatur perizinan baru seperti Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan persetujuan lingkungan.

“Terhambatnya berbagai layanan publik dalam proses perijinan pada industri properti, sejak diberlakukannya UUCK Tahun 2020 dan peraturan turunannya (NIB, PBG, KKPR, Persetujuan Lingkungan),” ucapnya. 

Di sisi lain, juga belum ada kepastian penyesuaian harga baru rumah subsidi untuk kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Oleh karena itu, Totok mendorong adanya revolusi dalam perizinan di Indonesia agar kendala tersebut tidak lagi terjadi. Hal ini diperlukan pembahasan bersama dengan pemangku kepentingan dan pemangku kebijakan di sektor properti untuk memastikan keberlanjutan dan kebangkitan bisnis properti Tanah Air.

Berdasarkan data yang diperoleh Bisnis per 8 Desember 2022, total rumah subsidi yang telah terjual REI dari tahun 2020 hingga 2022 mencapai 422.132 unit dan menyisakan 247.397 unit yang belum terjual. REI berkontribusi terhadap 47,5 persen penjualan rumah subsidi dari seluruh asosiasi. Sementara itu, untuk rumah komersial yang telah terjual REI dari tahun 2020 hingga 2022 ada sebanyak 104.333 unit yang menyisakan 84.990 unit yang belum terjual. 

Baca Juga: Polemik Rumah MBR antara Backlog dan Hambatan Klasik Menghantui

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mohammad Zainal Fatah mengatakan saat ini Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan tingginya angka backlog perumahan. Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2021, tercatat sebanyak 12,7 juta rumah tangga masih belum memiliki rumah, dan berpotensi untuk terus meningkat seiring dengan pertumbuhan rumah tangga baru yang diperkirakan mencapai 700.000 hingga 800.000 keluarga setiap tahunnya.

Sektor properti juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data outlook ekonomi Kementerian Keuangan di tahun 2021, dalam setiap penyaluran dana Rp1 triliun ke sektor perumahan, maka akan berkontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar Rp4,2 triliun dan mendorong penyerapan tenaga kerja sebanyak 252.000 orang.

“Ini tentu bukan angka yang kecil. Oleh karena itu kita harus memberi perhatian yang baik terhadap pertumbuhan sektor perumahan,” tuturnya.  

Menurutnya, REI sudah berkontribusi besar pada pembangunan perumahan di Indonesia termasuk di masa pandemi. Dia berharap setelah melewati masa sulit ini, sektor perumahan cepat bangkit kembali dan menjadi penopang ekonomi nasional.

Data Sistem Registrasi Pengembang (Sireng) menunjukkan dari total 18.000 pengembang yang terdaftar, terdapat 6.700 atau sebesar 37,2 persen diantaranya merupakan anggota REI yang terus berkontribusi secara aktif dalam pembangunan rumah subsidi dari tahun ke tahun. Adapun sebesar 47 persen atau sekitar 729.000 unit dari total pembangunan unit rumah subsidi yang terbangun pada tahun 2015 hingga 2022 berasal dari kontribusi REI. 

“Mengingat sektor ini sangat strategis karena mendorong sebanyak 174 sektor ikutan lain seperti bahan bangunan dan jasa konstruksi,” ujar Zainal.


Baca Juga: Kala Beleid Lahan Sawah Dilindungi Bikin Pengembang Ketar Ketir

Sementara itu, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Raja Juli Antoni mengatakan penyediaan perumahan merupakan tanggung jawab bersama semua pihak sehingga perlu kolaborasi untuk menuntaskan backlog perumahan. Kementerian ATR/BPN menjanjikan sejumlah hal untuk mendukung pengembang dalam membangun perumahan guna mengatasi angka backlog

Adapun salah satu kebijakan yang dilakukan dengan mempercepat layanan pertanahan agar mempermudah pengembangan perumahan. “Yang sudah dilakukan Kementerian ATR/BPN adalah percepatan pelayanan pertanahan melalui pelayanan elektronik yang sekarang sudah berjalan. Lalu ada aturan kepemilikan properti asing termasuk batasan harganya yang juga diusulkan oleh REI. Selanjutnya, adalah kebijakan peningkatan Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi hak milik untuk ruko dan rukan yang bukan bagian dari apartemen maupun perkantoran,” tuturnya. 

Raja Juli akan memberikan HGB lebih lama dalam mendorong pembangunan properti berbasis Transit Oriented Development (TOD). Kementerian ATR/BPN juga akan menerbitkan beberapa relaksasi kebijakan seperti penundaan persyaratan BPJS Kesehatan dalam transaksi pertanahan. Selain itu, juga terdapat relaksasi kebijakan penggunaan lahan perumahan di LSD.   

Menurutnya, izin pembangunan perumahan di atas LSD tetap bisa berlaku. Namun, izin pembangunan tersebut telah terbit sebelum Keputusan Menteri (Kepmen) ATR/Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021 diresmikan. Kepmen ATR/Kepala BPN tersebut mengatur tentang Penetapan LSD di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 

Para pengembang yang sudah memiliki izin membangun perumahan sebelum aturan baru terbit tetap bisa meneruskan pengembangan di lahan yang menjadi LSD tersebut. 

“Kami sudah berkoordinasi dengan Pak Menteri ATR/BPN bahwa untuk lahan-lahan yang hak dan izinnya sudah terbit sebelum keluarnya keputusan menteri tersebut maka hak-haknya tetap berlaku. Pokoknya yang sudah memiliki hak, sudah memiliki izin, bagian dari PSN, ada istilah ruang terkurung, ada 5 kategori itu akan menjadi relaksasi,” tegas Raja Juli.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.