Kilau Cemerlang Laba TINS Disepuh Kenaikan Harga Timah

Senyum lebar tampaknya sedang menghiasi hari-hari manajemen PT Timah Tbk. (TINS). Merilis kinerja keuangan paruh pertama 2021 pada pekan ini, perusahaan yang 65% sahamnya digenggam pemerintah lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) tersebut membukukan kinerja apik.

Herdanang Ahmad Fauzan

6 Sep 2021 - 15.11
A-
A+
Kilau Cemerlang Laba TINS Disepuh Kenaikan Harga Timah

Suasana fasilitas pengolahan timah milik PT Timah Tbk. (TINS) di Mentok, Bangka, Indonesia, Selasa (19/11/2013)./Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis, JAKARTA —Memanasnya harga timah di pasar global menjadi berkah bagi PT Timah Tbk. (TINS). Kendati pendapatannya turun cukup dalam, perseroan justru berhasil mengerek naik kinerja laba berkat harga jual timah yang lebih tinggi.

Sepanjang Januari—Juni 2021, TINS memang mengalami penurunan pendapatan 26,9% secara year-on-year (yoy), tepat­nya dari Rp8,03 triliun men­jadi Rp5,87 triliun.

Namun, perseroan justru mam­pu mengamankan laba bersih yang dapat diatribusikan ke­pada entitas induk Rp270,09 mi­­liar, berbalik dari kondisi rugi Rp390,07 miliar secara yoy.

“TINS terus berbenah memperbaiki kinerja, ini terlihat dari membaiknya performa finansial yang terus tumbuh. Di pasar komoditas dunia, logam timah menjadi salah satu komoditas dengan performa [kenaikan harga] terbaik,” kata Sekretaris Perusahaan TINS Abdullah Umar melalui keterangan tertulis, Selasa (31/8).

Pengaruh kenaikan harga timah memang punya penga­ruh signifikan terhadap keun­tung­an perusahaan. Hal ini tergam­bar jelas dari kenaikan margin laba kotor perusahaan secara yoy, tepatnya dari 2,68% menjadi 19,2% per akhir Juni 2021

Bukan mustahil pula kenaikan margin yang signifikan itu bakal awet sampai akhir tahun nanti. Terutama, jika berpijak pada fakta bahwa alih-alih turun, sejak awal semester II/2021 hingga saat ini, harga timah global terus konsisten berputar pada rentang US$32.500 hingga US$36.000 per ton, melebihi pergerakan harga pada paruh pertama yang berkisar US$24.000 hingga US$33.000 per ton.

Harga tersebut memang menyiratkan koreksi dibandingkan dengan puncak kurva permintaan pada Agustus 2021, ketika mahar timah konsisten melampaui US$35.000 bahkan US$36.000 per ton. Namun, jika diukur, sepanjang tahun berjalan alias year-to-date (ytd), level saat ini pun masih tampak mencerminkan pertumbuhan harga 62,35% dari harga awal tahun yang senilai US$21.034 per ton.

Grafik terkini tersebut juga sejalan dengan pandangan Fitch Ratings. Bulan lalu, Fitch menerbitkan sebuah riset yang memproyeksi harga timah masih mampu tetap tinggi sampai akhir tahun ini.

Ada beberapa faktor penyebab, salah satunya adalah sempat diberlakukannya pembatasan sosial ketat di beberapa negara kunci seperti Indonesia pada Juli 2021, yang menyumbat jumlah produksi.

“Kenaikan harga timah ini bisa meningkatkan margin di kalangan produsen-produsen domestik,” tulis Fitch, dikutip dari Mining Weekly.

Akan tetapi, Fitch juga menggarisbawahi bahwa risiko tetap ada. Kenaikan harga menurut mereka,mulai mendorong beberapa perusahaan di lokasi kaya timah, terutama di Myanmar, berlomba-lomba meningkatkan produksi.

Situasi ini diproyeksi membuat pasokan tetap naik pada akhir tahun ini, dan berlanjut pada 3—4 tahun ke depan. Akibatnya, Fitch memproyeksi untuk jangka menengah harga timah akan berpotensi terkoreksi hingga kembali ke kisaran US$21.000 pada 2025.

Ditambah terhadap makin tingginya desakan untuk mengutamakan kelestarian lingkungan, bukan mustahil pula penurunan harga akan terjadi lebih cepat. Di Indonesia, protes dari masyarakat disebut Fitch bisa saja mendisrupsi rencana ekspansi PT Timah untuk meningkatkan aktivitas penambangan di dalam negeri.

Atas peluang dan risiko yang ada, Analis BNI Sekuritas Firman Hidayat masih cenderung mempertahankan rating buy (beli) untuk saham TINS. Firman memasang target harga Rp1.800 untuk saham emiten pelat merah tersebut karena beberapa alasan.

“Kami mempertahankan pandangan buy kami dan menaikkan target harga jadi Rp1.800 per saham mengacu valuasi DCF dan pandangan konservatif kami terhadap harga rata-rata timah tahun ini di kisaran US$25.000. Kami juga melihat progres yang bagus pada rencana pengembangan smelter di Ausmelt dan Rare Earth Element (REE),” tulisnya dalam riset, Rabu (1/9).

Seperti disampaikan Firman, TINS memang sedang menggarap sebuah proyek pencarian REE, atau biasa disebut logam tanah jarang (LTJ). Perseroan juga sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa perusahaan asing untuk menyukseskan proyek tersebut.

Ekspansi proyek LTJ ini juga telah mendapat lampu hijau dari Kementerian ESDM dan bakal diatur dalam Peraturan Peme­rintah (PP) baru sebagai turunan dari UU Mine­ral dan Batubara (Minerba).

Adapun, terkait kekhawa­tir­an Fitch dan lembaga peme­­ringkatan lain terhadap desakan kelesatarian ling­kung­an, Firman menilai TINS akan menyikapinya dengan baik.

“Sesuai klaim manajemen, smelter baru di Ausmelt juga akan bisa menghasilkan EBITDA yang kami perkirakan setara 87,5% proyeksi laba 2022,” sambungnya.

MAKIN SEHAT

Secara kondisi neraca, performa TINS juga tergolong makin sehat. Per akhir Juni 2021, liabilitas perseroan turun 13,49% dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2020, dari Rp9,57 triliun menjadi Rp8,28 triliun.

Dalam 6 bulan berjalan, ekuitas TINS juga meningkat. Saat ini, perseroan ter­catat me­miliki nilai ekuitas Rp5,25 triliun atau setara 38,79% aset per­usahaan.

Rasio ini lagi-lagi lebih baik dari rapor akhir tahun lalu, ketika ekuitas perseroan yang senilai Rp4,94 triliun baru setara 34,02% dari total aset pada periode yang sama.

Analis BRI Danareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri menuturkan bahwa besar kemungkinan penguatan neraca perseroan akan terus ber­lanjut. Dia memperkirakan hal ini juga akan berdampak pada optimalnya laba pada masa mendatang, karena beban bunga perseroan akan berkurang.

“Perusahaan terus memper­kuat neracanya. Menimbang kinerja pada semester I yang menghasilkan lebih banyak kas dan kenaikan ekuitas, perusahaan juga telah menurunkan net gearing. Kami memperkirakan akan ada penguatan lanjutan, dan kami percaya perusahaan bisa mempertahankan pendapatan seiring solidnya harga timah,” jelas Stefanus, Selasa (31/8).

Akan tetapi, berbeda dengan Firman, Stefanus cenderung menyematkan rating hold terhadap saham TINS.

“Kami masih memper­ta­hankan rekomendasi hold karena secara valuasi, kenaik­an harga [saham TINS] karena posisi harga saat ini terlalu tipis dengan target kami yaitu Rp1.700 per saham,” tandasnya.

Hingga jeda sesi perda­­gangan, Kamis (2/9), saham TINS ditransaksikan investor di Bursa Efek Indonesia (BEI) di level Rp1.475 per saham. Posisi ini mencerminkan tren penurunan harga 8,67% sepanjang tahun berjalan dari posisi RpRp1.615 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.