Kinerja Kisut Cukai Hasil Tembakau

Realisasi penerimaan cukai tembakau malah melorot dua digit pada Semester I/2023, sedangkan dari sisi industri mulai marak beredar rokok murah yang merugikan baik negara maupun pelaku.

Rinaldi Azka

24 Jul 2023 - 17.05
A-
A+
Kinerja Kisut Cukai Hasil Tembakau

Petani tengah menjemur olahan tembakau./BISNIS

Bisnis, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menyampaikan kinerja APBN KiTa per Juni 2023. Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat mencapai Rp135,43 triliun hingga Juni 2023.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai terkontraksi sebesar 18,83 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi dari sisi bea keluar yang realisasinya tercatat turun hingga 76,97 persen, anjlok menjadi sebesar Rp5,32 triliun.

“Beberapa hal yang jadi penyebabnya adalah bea keluar yang mengalami penurunan tajam akibat adanya penurunan harga CPO dan komoditas secara umum,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (24/7/2023).

Sri Mulyani menjelaskan, di samping pengaruh harga CPO yang rendah, kontraksi bea keluar juga disebabkan oleh volume ekspor mineral yang turun, juga turunnya tarif bea keluar tembaga.

Bea keluar tembaga dan bauksit yang turun pun dipengaruhi oleh penurunan volume ekspor sejalan dengan adanya larangan ekspor mineral mentah mulai Juni 2023.

Sementara itu, realisasi bea masuk pada periode yang sama masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,65 persen dengan realisasi Rp24,2 triliun.

Kinerja penerimaan bea masuk utamanya didorong oleh komoditas utama yang masih tumbuh, seperti kendaraan roda empat, suku cadang kendaraan roda empat, mesin penambangan, serta besi dan baja dasar.

Terlepas dari penerimaan kepabeanan yang melorot, realisasi cukai hasil tembakau (CHT) juga turut mencatatkan kontraksi sebesar 12,61 persen dengan penerimaan sebesar Rp102,38 triliun.

Kontraksi ini kata Sri Mulyani disebabkan oleh penurunan produksi pada Maret, yang diikuti produksi pada April 2023 yang relatif stagnan.

“Untuk cukai hasil tembakau Juni juga mengalami kontraksi 12,61 persen, terutama karena produksi hasil tembakau dari golongan I dan II yang mengalami penurunan sejalan dengan kenaikan dari tarif cukai,” jelasnya.

Baca Juga : Geliat Bisnis Wealth Management Bank di Era Suku Bunga Tinggi

Produksi Turun

Volume produksi industri hasil tembakau (IHT) atau rokok amblas 15,3 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada April 2023. Kalangan pebisnis rokok menyebut hal ini disebabkan oleh agresivitas kenaikan cukai.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menjelaskan penurunan volume produksi dialami oleh segmen sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) golongan I.

“Kinerja produksi turun akibat akumulasi kebijakan cukai beberapa tahun terakhir,” kata Benny kepada Bisnis ketika dihubungi.

Dalam kurun 3 tahun terakhir, CHT di Tanah Air, pengenaan cukai tertinggi terjadi pada 2020 yang mencapai 23 persen.

Baca Juga : Bersiap Hadapi Kenaikan Suku Bunga The Fed Terakhir

Pada 2021, nilai CHT turun menjadi 12,5 persen, lalu turun lagi menjadi 12 persen pada 2022, dan terakhir diubah menjadi 10 persen untuk pengenaan pada 2023 hingga 2024.

Benny mengatakan besaran CHT itu tidak sesuai dengan kondisi industri yang masih dalam proses pemulihan pasca pandemi Covid-19.

“Kami berharap kenaikan CHT mengikuti inflasi atau pertumbuhan ekonomi di kisaran 4–5 persen. Kalau masih seperti ini, industri tidak akan pulih,” tuturnya.

Penurunan volume produksi SPM golongan I dan SKM golongan I, kata Benny, dinilai berdampak signifikan bagi penurunan penerimaan cukai negara baru-baru ini.

Baca Juga : APBN Semester I/2023 Surplus, Tapi Penerimaan Melorot?

Sebagaimana diketahui, mengacu kepada PMK No. 10/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, SPM golongan I dikenakan cukai Rp1.065/batang dengan harga jual eceran terendah senilai Rp2.005.

Sementara itu, SKM golongan I dikenakan cukai Rp985/batang dengan harga jual eceran terendah senilai Rp1.905.

Khusus segmen SPM atau rokok putih, sambungnya, juga terjadi penurunan pangsa pasar sejak 2020 sebesar 11,5 persen pada April 2023. Tergerusnya pangsa pasar disinyalir juga dialami oleh produk tembakau segmen SKM.

Benny memperkirakan tren penurunan kinerja produksi ini berlanjut hingga tahun depan sejalan dengan keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen.

Pengusaha rokok, sambungnya, telah mengirimkan surat terkait dengan perihal itu kepada Kemenkeu dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). “Namun, tampaknya pemerintah kurang bisa mengadvokasi kami,” kata Benny.

Perlu Simplifikasi

Pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia menemui jalan terjal dengan menjamurnya rokok murah di masyarakat. Di tengah kenaikan tarif cukai setiap tahun, masyarakat masih punya banyak pilihan rokok dengan harga beragam, bahkan serbuan rokok murah semakin gencar. 

Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrision menilai struktur tarif cukai hasil tembakau yang masih kompleks dengan sistem berlapis, sehingga rentang harga antara rokok paling mahal dan murah sangat lebar. Kesenjangan harga ini yang kemudian membuka peluang bagi masyarakat untuk membeli rokok yang paling murah.

Berdasarkan PMK No. 191/PMK.010/2022 CHT terdiri dari 8 lapisan tarif. Pemerintah juga telah menetapkan batasan produksi masing-masing jenis rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.010/2017. 

Adapun batasan produksi golongan 2 untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) ditetapkan maksimal 3 miliar batang/tahun.

Baca Juga : Memperkuat Sistem Perizinan Online OSS

"Indonesia saat ini ada 8 lapisan tarif, tarif yang lebih rendah diberikan jika produksinya lebih sedikit. Kalau SPM dan SKM itu bedanya cuma di atas atau di bawah 3 miliar batang per tahun," katanya.

Berdasarkan tarif cukai dan minimum HJE yang saat ini berlaku, satu pabrikan SKM golongan 2 dengan produksi 3 miliar batang dapat mencapai omset fantastis hingga lebih dari Rp3 triliun dalam setahun.

Perbedaan tarif dan harga jual eceran antar golongan juga turut memperlebar jarak antara rokok di golongan tertinggi dengan rokok di golongan bawah. 

“Sudah tarif tertinggi, harga jual eceran minimumnya pun paling tinggi. Kalau di bawah 3 miliar batang per tahun maka cukainya lebih rendah. Sudah cukai lebih rendah, harga jual eceran minimumnya pun lebih rendah. Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk menjual rokok lebih murah dibandingkan di golongan 1,” ujarnya. 

Baca Juga : Tarif Kapal Ferry Bersiap Naik, Cek Perinciannya

Dia pun memprediksi tren peralihan konsumsi rokok ke golongan yang lebih murah masih akan terus terjadi apabila struktur cukai tidak diperbaiki. 

“Kalau berlapis akan seperti ini terus. Tapi saya tidak yakin akan bisa satu tarif cukai, karena coba cari industri yang bisa memberikan kontribusi ke penerimaan negara sekitar 10 persen, hanya industri rokok tidak ada yang lain. Dari cukai saja 10 persen belum lagi kalau dihitung PPH dan PPN-nya,” katanya.

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan struktuf tarif cukai berlapis memang merupakan sebuah masalah yang kontradiktif terhadap tujuan penerapan cukai. 

“Masih berlapisnya struktur tarif cukai ini akan mengurangi efektivitas cukai untuk menekan konsumsi. Mestinya dengan harga rokok yang lebih mahal konsumen memilih berhenti, tetapi realitasnya mereka memilih membeli rokok dengan harga murah dari golongan 2 dan 3,” katanya.

Baca Juga : Giliran Airlangga Hartarto Jadi Saksi Kasus Minyak Goreng 

Selain masalah cukai yang berlapis, Risky menilai ada masalah pada gap harga tarif antar golongan. Secara tren, pada 2021-2023 perbedaan golongan 1 dengan golongan 2 semakin besar. 

Menurutnya, seharusnya gap tersebut semakin diperkecil agar golongan 2 semakin mendekati golongan 1. Hal ini akan mendorong kenaikan harga di segmen rokok murah.

Untuk mengatasi ini, Risky merekomendasikan agar struktur tarif CHT disederhanakan, agar dapat mengeliminasi rokok murah di pasaran. 

“Simplifikasi struktur tarif cukai bermanfaat untuk menekan konsumsi dan dengan sistem tarif yang simpel penerimaan negara akan makin optimal. Tidak hanya itu, persaingan industri juga makin sehat,” tambahnya.(Maria Elena, Rahmad Fauzan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.