Komitmen Bank Asing Pacu Pembiayaan Hijau Nasional

PT Bank UOB Indonesia, PT Bank DBS Indonesia, dan PT Bank HSBC Indonesia sedang gencar menjalankan pembiayaan hijau atau green financing di Indonesia dengan sejumlah strategi. Potensi di industri hijau ini cukup banyak mendapatkan sorotan, tetapi tantangannya pun tak ringan.

Emanuel Berkah Caesario

9 Nov 2022 - 16.26
A-
A+
Komitmen Bank Asing Pacu Pembiayaan Hijau Nasional

Ilustrasi pembiayaan hijau. Sumber: Canva

Bisnis, JAKARTA — Bank-bank swasta yang terafiliasi dengan bank-bank asing tidak ketinggalan dalam memanfaatkan besarnya potensi pembiayaan hijau di Indonesia. Sejumlah bank ini pun mulai mempersiapkan strategi untuk menggarap pasar potensial yang menantang ini.

PT Bank UOB Indonesia, PT Bank DBS Indonesia, dan PT Bank HSBC Indonesia sedang gencar menjalankan pembiayaan hijau atau green financing di Indonesia. Langkah ini tidak terlepas dari komitmen induknya yang berada di luar negeri.

UOB Indonesia misalnya gencar mendukung komitmen UOB Group untuk masa depan nol bersih di Asia Tenggara.

Presiden Direktur UOB Indonesia, Hendra Gunawan, mengatakan bahwa UOB Indonesia terus memadukan prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG) kepada rencana dan strategi bisnis perusahaan.

“Di UOB Indonesia, kami mendukung nasabah dalam transisi menuju perekonomian karbon rendah guna mendukung target pemerintah mengurangi emisi dan menjalankan strategi ketangguhan iklim,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Selasa (8/11).

UOB Indonesia juga mendukung target emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat dari itu. Bank misalnya menjalankan efisiensi energi, tenaga surya, pengelolaan sampah, serta daur ulang plastik yang ramah lingkungan.

“Kami juga berharap dapat membantu menghubungkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia seiring dengan upaya kami dalam berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi hijau Indonesia yang berkelanjutan,” ungkapnya.

UOB juga berkomitmen untuk tidak lagi terlibat dalam pembiayaan untuk sektor batubara termal pada 2039. Kemudian, UOB memperluas cakupan target untuk memasukkan sektor tambahan seiring dengan tersedianya data dan skenario iklim.

Sebelumnya, Wholesale Banking Director UOB Indonesia, Harapman Kasan, mengatakan bahwa kontribusi UOB dalam pembiayaan hijau sudah sangat besar, meski di Indonesia masih baru.  

“Target [pembiayaan hijau] kami ambisius. Dalam 3–5 tahun ke depan pertumbuhannya 4-5 kali lipat dari yang sudah ada. Saya dapat menyampaikan pembiayaan berkelanjutan, ini cukup signifikan dan menjadi mesin pertumbuhan kredit kami,” kata Harapman dalam acara U-Energy: Transitioning to Net Zero Through Energy Efficiency pada Juni 2022.

Tidak hanya itu, lanjutnya, portofolio pembiayaan perusahaan dari sektor energi terbarukan juga tumbuh signifikan. Namun, dia tidak menyebutkan detail pertumbuhan tersebut.

Selain UOB, bank lainnya, yakni HSBC Indonesia juga gencar mengembangkan pembiayaan hijau di Indonesia.

Secara global, HSBC telah mengalokasikan hingga US$1 triliun dalam keuangan dan investasi pada 2030 untuk mendukung klien HSBC dalam membuktikan bisnis mereka di masa depan, termasuk pembiayaan hijau.

Presiden Direktur Bank HSBC Indonesia, Francois de Maricourt, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang potensial untuk menerapkan paradigma ESG. Selain itu, ada banyak sektor di Indonesia yang berpeluang mendapat pembiayaan berkelanjutan bila bertransisi ke operasi bisnis yang rendah karbon.

"Ini jadi pasar masa depan, peluangnya ada banyak di investasi dekarbonisasi ekonomi, low carbon energy, dan lainnya terkait ESG,” ujarnya dalam kunjungannya ke Wisma Bisnis Indonesia awal bulan ini, Kamis (3/11).

Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini.

Dengan begitu, semakin banyak lagi perusahaan di Indonesia yang akan menerapkan prinsip berkelanjutan. “Saat ini, di Indonesia juga sudah banyak industri yang berinvestasi di sana [ESG],” kata Francois.

Berdasarkan riset HSBC, lima pebisnis yang menjadi responden menginvestasikan lebih dari 10 persen dari laba operasi mereka untuk meningkatkan keberlanjutan operasi mereka.

Namun, penerapan prinsip ESG membutuhkan modal yang besar. HSBC mencatat, untuk kawasan Asia Pasifik membutuhkan US$1,5 triliun investasi hijau setiap tahun hingga 2030, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan PBB.

HSBC sendiri telah mengalokasikan hingga US$1 triliun dalam keuangan dan investasi pada 2030 untuk mendukung klien HSBC dalam membuktikan bisnis mereka di masa depan.

Selain kedua bank tersebut, Bank DBS Indonesia juga gencar menyasar pembiayaan hijau di Indonesia. Bank ini telah mencatatkan penyaluran pinjaman untuk sektor ESG, termasuk pembiayaan hijau senilai Rp2 triliun hingga saat ini.

"Jadi, loan untuk exposure ESG selama ini sudah mencapai Rp2 triliun," ujar Director of Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia, Kunardy Lie, di sela acara signing ceremony penyaluran pendanaan Rp500 miliar dari Bank DBS Indonesia kepada eFishery pada bulan lalu, Jumat (7/10).

Menurutnya, outstanding pembiayaan untuk ESG di Bank DBS Indonesia saat ini terhitung masih kecil. Ia berharap, ke depan pembiayaan terkait ESG akan lebih besar lagi. "Kita lihat ke depan ESG ini jadi satu area prioritas," ujarnya.

Kunardy mengatakan, salah satu upaya Bank DBS Indonesia dalam memberikan pembiayaan hijau yakni dengan menggandeng sejumlah sektor.

Bank DBS Indonesia misalnya tahun ini telah menandatangani kerja sama pemberian fasilitas pinjaman senilai Rp394,14 miliar (US$27,5 juta) dengan PT Jaya Bumi Paser (JBP), anak usaha Indika Energy.

Kerja sama antara Bank DBS Indonesia dan Indika Energy merupakan transisi pembiayaan untuk mendanai proyek pengembangan sumber energi baru dan terbarukan berbasis biomassa yaitu wood pellet yang akan dilakukan oleh JBP.

 

MENANTANG dan POTENSIAL

Adapun, pembiaan hijau secara umum cukup menantang. Selama ini, pasar terbiasa dengan cara berbisnis lama yang terkesan lebih murah, tetapi tidak berkelanjutan. Transisi menuju ekonomi hijau akan menjadi sangat berat sebab akan muncul resistensi dari pemain lama.

Di samping itu, implementasi prinsip ESG di korporasi juga terhambat oleh banyaknya indikator yang harus dipenuhi, serta kurangnya informasi dan edukasi tentang prinsip-prinsip ESG.

Dalam Riset Mandiri Institute disebutkan sebanyak 60 persen responden yang berasal dari perusahaan terbuka atau listed kesulitan dalam menentukan indikator ESG, akibat minimnya informasi untuk mengimplementasikan ESG.

Tidak hanya itu, riset Mandiri Institute juga menyebutkan menurut para responden tantangan lainnya dalam pengembangan produk ESG adalah rendahnya permintaan dari investor/klien (44 persen), standar ESG yang berbeda-beda (44 persen), belum relevan di Indonesia (39 persen), sedikitnya informasi tentang ESG (22 persen) dan lain sebagainya.

Meski demikian, potensi pembiayaan hijau di Indonesia sangat besar. Hanya saja, dibutuhkan cukup waktu dan komitmen banyak pihak untuk merealisasikannya.

Indonesia sejauh ini telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri hingga 2030. Dengan dukungan internasional, pemangkasan emisi ditargetkan mencapai 41 persen.

Sejumlah langkah telah disiapkan, mulai dari rencana pemerintah dalam mempersiapkan regulasi baru terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah hingga penerapan regulasi terkait dengan implementasi pajak karbon.

Terkait dengan implementasi pajak karbon, pemerintah telah menerapkan pajak karbon untuk subsektor pembangkit listrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun ini. Adapun, pada 2025 rencananya carbon pricing akan diimplementasikan sepenuhnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan penetapan harga karbon yang diinisiasi oleh pemerintah dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi, sekaligus disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas toleransi.

Menurutnya, Indonesia juga bisa memiliki banyak keuntungan dari perdagangan emisi karbon global. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia.

Dengan hutan tropis seluas 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon. Belum lagi adanya hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan menghasilkan pendapatan senilai US$565,9 miliar dari perdagangan karbon.

OJK berharap regulasi payung hukum mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon dapat segera diterbitkan. Hal ini supaya mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.

The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) mengungkapkan bahwa Indonesia diprediksi baru meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara dan minyak pada 2050. Sumber energi listrik pada 2050 juga akan didominasi oleh energi terbarukan.

Namun, pendanaan iklim atau climate finance dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan investasi di sektor infrastruktur energi terbarukan ataupun teknologi elektrifikasi. Climate Policy Initiatives memperkirakan investasi ini menelan biaya US$4,5 – US$5 triliun per tahunnya.

ICAEW Head of Indonesia Conny Siahaan mengatakan bahwa Indonesia berpotensi tinggi untuk meningkatkan climate finance dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini didorong fokus pemerintah yang gencar meminta semua pihak untuk menurunkan kadar emisi karbon.

“Salah satunya yang terbaru adalah rencana pemerintah dalam menyiapkan regulasi baru terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah dan perencanaan penerapan pajak karbon. Ini adalah langkah awal yang signifikan menuju ekonomi hijau,” ujarnya, Rabu (28/9/2022).

Namun, Climate Action Tracker menyatakan bahwa penerapan kebijakan dan aksi nyata dalam menanggapi perubahan iklim di Asia Tenggara (Asean), termasuk Indonesia, dianggap belum memadai atau kurang ambisius.

Climate Action Tracker juga mencatat Indonesia merupakan satu dari 14 negara yang masuk kategori negara tidak memadai untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya. Kendati demikian, posisi Indonesia dinilai lebih baik dari Singapura, Malaysia dan Vietnam.

(Reporter: Fahmi Ahmad Burhan, Leo Dwi Jatmiko, Dionisio Damara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.