Komitmen PLN Jadi Lampu Hijau Pembangunan PLTSa di 12 Kota

Pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa selama ini begitu sulit dilakukan pemerintah daerah. Terdapat banyak halangan untuk bisa mewujudkan pembangkit listrik ramah lingkungan tersebut. 

18 Mei 2021 - 21.27
A-
A+
Komitmen PLN Jadi Lampu Hijau Pembangunan PLTSa di 12 Kota

Suasana di proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) gas metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/1/2019). - ANTARA/Aditya Pradana Putra

Bisnis, JAKARTA - Cita-cita pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di 12 kota segera terwujud. Pasalnya, PT PLN (Persero) telah berkomitmen untuk membeli listrik dari pembangkit ramah lingkungan tersebut. 

Vice President Public Relations PLN Arsyadani Ghana Akmalaputri mengatakan perseroan siap menjadi pembeli listrik dari PLTSa di 12 kota. Hal itu menjadi bentuk dukungan PLN terhadap pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. 

"Sebagai BUMN, PLN pun siap menjalankan penugasan yang diberikan pemerintah," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (18/5/2021).

Sejauh ini, PLN telah berkomitmen membeli listrik dari PLTSa Benowo 9 megawatt (MW) di Surabaya. Pembangkit tersebut baru diresmikan pada Kamis (6/5/2021). 

Dalam pembelian listrik tersebut, PLN bekerja sama dengan independent power producer (IPP), PT Sumber Organik, sampai dengan 2032 dengan harga beli listrik US$13,35 sen/kWH. Harga listrik dari PLTSa tersebut tergolong sangat tinggi. 

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini sebelumnya mengatakan harga beli listrik dari PLTSa memang mahal. Meski begitu, tidak berdampak pada beban biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. 

Pasalnya, PLN mengunakan juga pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) yang hanya berkisar Rp 500-Rp 500 per kWh. "Kami paham listrik dari PLTSa Benowo ini tarifnya harus kami bayar sekitar Rp 1.900 per kwh atau US$ 13 sen. [Meski begitu] pembangkit lain kan hanya US$ 6-7 sen," ujar dia dalam diskusi pada Jumat (7/5/2021).

Oleh karena itu, lanjut dia, PLN masih bisa menjalankan tugas untuk melistriki Indonesia. Dengan campuran sumber listrik dari pembangkit lain, BPP PLN pun hanya sekitar RP 1.400 per kWh. 

Adapun, pemerintah terus mendorong percepatan pembangunan PLTSa di 12 kota. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. 

Presiden Joko Widodo pun telah meminta pemerintah daerah yang kota-kotanya ditunjuk melalui Perpres tersebut mulai serius menggarap PLTSa. Dia secara lugas menyebut agar pemerintah daerah tersebut mencontoh pembangunan PLTSa Benowo yang sudah beroperasi secara komersial.

"Yang lain masih maju mundur, kurang urusan tipping fee, urusan barang daerah, belum selesai. Nanti kota-kota lain akan saya perintah untuk tidak usah ruwet pakai ide-ide, lihat saja di Surabaya, tiru, copy," kata Jokowi.

 

Pekerja menyelesaikan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) saat pelaksanaan kegiatan strategis daerah optimalisasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019). - ANTARA/Risky Andrianto


PLN Kembangkan juga Biomassa dari Sampah

Selain mengandalkan PLTSa, PLN juga mendorong pengelolaan sampah menjadi pelet biomassa. Nantinya pelet tersebut bisa digunakan untuk bahan baku co-firing PLTU. 

Direktur Mega Proyek PLN M. Ikhsan Asaad menyebut persoalan sampah juga bisa diselesaikan dengan co-firing PLTU. Biaya proyek tersebut pun dinilai lebih murah dibandingkan membangun PLTSa. 

Hal itu berdasarkan uji coba di tempat pembuangan sampah di Rawa Kucing, Tangerang. "Kira-kira dengan 100 ton per hari itu RP 24 miliar. Saya kira jauh lebih efisien dibandingkan dengan membangun PLTSa," kata Ikhsan. 

Meski begitu, dana Rp 24 miliar juga cukup tinggi. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa pun maklum jika pengelolaan sampah perkotaan menjadi energi listrik membutuhkan investasi yang cukup mahal. 

Dia bahkan menyebut investasi untuk teknologi PLTSa saja mencapai di atas US$ 4.000 per kWh. Hal itu menyebabkan pengembannya tidak ekonomis. 

"Kalau pakai skema biasa olah sampah menjadi energi dengan teknologi yang ada sekarang untuk banyak daerah tidak feasible," kata Fabby ke Bisnis pada Selasa (18/5/2021).

Hal itulah yang akhirnya mendorong pemerintah daerah kesulitan mendukung terwujudnya PLTSa. Pasalnya, mereka harus menyediakan dana pengelolaan sampah atau tipping fee. 

Sedangkan tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup. Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah pusat memberi dukungan dana untuk pengembangan PLTSa. 

Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan pemerintah terus mengawal implementasi PLTSa di 12 kota seperti diinstruksikan dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2018. 

Dalam perpres tersebut, pemerintah telah memberikan dukungan insentif berupa bantuan biaya layanan pengolahana sampah (BLPS) maksimal Rp 500.000 per ton sampah. 

"Selama ini sampah kewenangan daerah, tapi supaya bisa diimplementasikan pemerintah pusat beri dukungan BLPS dan sudah diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26 Tahun 2021," ujar dia belum lama ini.        

(Reporter : Denis Riantiza Meilanova)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.