Konglomerasi Makin Agresif Genggam Tekfin

Sejumlah grup konglomerasi makin agresif menggenggam tekfin. Simak penjelasannya.

Aziz Rahardyan

10 Nov 2021 - 20.53
A-
A+
Konglomerasi Makin Agresif Genggam Tekfin

Sejumlah grup konglomerasi makin agresif menggenggam tekfin. (Bisnis/Arief Hermawan)

Bisnis, JAKARTA— Sejumlah grup konglomerasi makin agresif menggenggam perusahaan teknologi finansial atau tekfin sejalan dengan kebutuhan lini bisnis digital.

Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani mengatakan investasi grup konglomerasi di segmen startup teknologi finansial makin marak mengikuti langkah pelaku modal ventura. Menurutnya, langkah ekspansi ke sektor teknologi, khususnya tekfin tak terelakkan karena tuntutan perubahan perilaku konsumen dan persaingan bisnis.

“Bukan pilihan untuk masuk ke teknologi, keharusan. Mau tidak mau mereka harus investasi kalau tidak mau tertinggal,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (10/11/2021).

Dia menyebut preferensi sektor mempertimbangkan lini usaha yang menjadi pelengkap ekosistem bisnis. Sebagai contoh, dia menyebut grup konglomerasi yang ingin mendukung bisnis sektor kesehatannya akan melirik healthtech sedangkan grup konglomerasi yang membutuhkan sektor finansial, akan melirik tekfin, pengelolaan kekayaan atau wealthtech dan insurtech.

Lebih lanjut, dia menyebut, secara umum minat investasi di perusahaan tekfin masih menarik karena didorong oleh tuntutan regulasi dan perubahan perilaku konsumen. Aturan terkait dengan bank digital dan perubahan perilaku konsumen yang mengandalkan transaksi daring membuat perusahaan tekfn menjadi primadona baik bagi perusahaan modal ventura yang mendapat dukungan dari grup konglomerasi hingga bank digital.

Fintech, logistik, itu yang akan antisipasi tahun depan. Fintech kita udah lihat di bank digital.”

Menurutnya, aksi pendanaan dari perusahaan modal ventura bakal makin agresif pada tahun depan. Pendanaan dipimpin oleh perusahaan modal ventura dengan dukungan pemodal luar negeri dan entitas anak Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Secara umum, dia menyebut bisnis modal ventura masif atraktif kendati tak semua perusahaan memilih untuk membentuk unit bisnis di Tanah Air. Namun, dia menilai insentif perpajakan yang kompetitif bisa menarik para pemodal asing membentuk perusahaan modal ventura di Indonesia sehingga berdampak pada potensi pendanaan yang lebih masif.

“Dari corporate policy-nya, tax incentive belum preferable,” katanya.

Platform teknologi finansial klaster investasi atau wealthtech PT Moduit Digital Indonesia (Moduit) meraih pendanaan senilai US$4,5 juta atau setara Rp65 miliar dalam putaran pendanaan Pra Seri A.

Pendanaan ini dipimpin oleh Reciprocus Moduit Holding (RMH) Singapura. Konsorsium RMH terdiri dari Reciprocus Financial Services Pte Ltd, pengusaha insurtech Walter de Oude dan Helicap, perusahaan fintech asal Singapura yang menghubungkan investor global dengan peluang investasi swasta di Asia Tenggara. Turut terlibat dalam pendanaan ini PT Alto Network (Indonesia), anak perusahaan Grup Djarum.

Mewakili Grup Djarum, Direktur Utama PT Alto Network (ALTO) Armand Widjaja berharap besar Moduit bisa berkembang seiring dengan pulihnya perekonomian dan geliat investasi di Indonesia.

"Sebagai investor tahap awal di Moduit, kami senang bisa melihat perusahaan mencapai tonggak sejarah dalam perkembangan bisnisnya. Ini merupakan pertanda baik seiring dengan membaiknya kondisi. Kami berharap dapat melihat Moduit semakin berkembang di Indonesia," ungkap Armand. 

Sepanjang tahun 2021, tanpa dukungan pemasaran, Assets Under Advisory (AUA) Moduit tumbuh lebih dari 40 persen seiring rata-rata nilai investasi untuk segmen business to customer (B2C) mencapai US$4.600 atau senilai Rp66,7 juta per klien.

Jumlah Advisory Partner (Mitra Penasehat Keuangan) Moduit tumbuh sebesar 74 persen, para mitra ini rata-rata dapat menangani portofolio sebesar US$60.000 atau Rp870 juta per klien.

Moduit merupakan startup pertama yang mendapatkan keuntungan dari rencana konsorsium RMH untuk mengembangkan bisnis fintech di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

Pendiri dan Direktur Utama Moduit, Jeffry Lomanto pun mengungkap pendanaan ini akan membawa Moduit memperluas platformnya untuk menawarkan produk terkurasi tambahan dari pengelolaan kekayaan selain reksa dana dan obligasi.

"Kami berencana menarik lebih banyak profesional untuk bergabung dengan kami sebagai Mitra Perencana Keuangan di Moduit. Kami akan menawarkan kepada mereka lebih banyak peluang dan keseimbangan hidup yang lebih baik," jelasnya.

Moduit juga akan meningkatkan fitur Moduit Robo-Advisor, fitur yang menyediakan layanan perencana keuangan otomatis berbasis algoritma dengan sedikit keterlibatan atau tanpa pengawasan manusia.

Jeffry memaparkan untuk tahun 2022, perusahaan menargetkan penambahan tiga kali lipat jumlah Mitra Perencana keuangan Moduit dan mendorong pertumbuhan AUA hingga tujuh kali lipat.

“Dengan peluang yang sangat besar di Indonesia, tujuan akhir kami ke depan adalah ekspansi ke seluruh Indonesia, dan kami juga berencana untuk mengejar pendanaan Seri A pada akhir periode 2022," ungkapnya.

Selain Grup Djarum, Grup Astra membuka peluang kolaborasi setelah membentuk Moxa platform digital di sektor keuangan.

Sekadar informasi, aplikasi super anak usaha PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) yang tercatat sebagai fintech terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK dengan nama PT Astra Kreasi Digital ini turut menjadi wadah transformasi digital tujuh brand finansial terafiliasi Grup Astra.

Antara lain, Maucash sebagai fintech peer-to-peer (P2P) lending konsumtif dan layanan bayar tunda (paylater), empat multifinance sekaliber Astra Credit Companies (ACC), Toyota Astra Finance (TAF), FIF Group, dan Surya Artha Nusantara Finance (SANF), serta duo asuransi Astra Life dan Asuransi Astra.

Direktur Utama Moxa, Daniel Hartono mengakui bahwa potensi-potensi kemitraan bersama startup yang diguyur pendanaan induk usaha, termasuk Gojek, tengah menjadi pertimbangan. Kemungkinannya pun terbuka lebar.

Daniel menilai pasar Indonesia sangat besar dengan beragam kebutuhan layanan finansial terkait. Fenomena ini pada akhirnya membawa peluang kolaborasi lebih luas, seiring perkembangan teknologi pemrograman aplikasi antarmuka (application programming interfaces/API) yang makin memudahkan para pemain.

"Kalau semua dikembangkan sendiri akan memakan waktu lama untuk suatu produk bisa tersaji ke konsumen," ujarnya.

Sekadar informasi, PT Astra International Tbk. (ASII) tercatat berinvestasi ke beberapa startup. Gojek yang kini telah berstatus unikorn sempat diguyur pendanaan sebesar US$250 juta. Selain itu, Astra mengguyur pendanaan ke Sayurbox sebesar US$50 juta dan Halodoc sebesar US$35 juta. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.