Kredivo, Traveloka & Tiket.com: Siapa Cuan Go Public via SPAC?

Kendati makin populer digunakan startup sebagai jalan pelicin menggalang dana publik, praktik akuisisi 'perusahaan cek kosong' atau SPAC mulai tidak dilirik investor karena memiliki risiko tinggi. Lantas, bagaimana dengan Traveloka, Kredivo, & Tiket.com yang berencana dual listing dengan taktik ini?

Leo Dwi Jatmiko & Wike D. Herlinda

8 Sep 2021 - 17.34
A-
A+
Kredivo, Traveloka & Tiket.com:  Siapa Cuan Go Public via SPAC?

Ilustrasi merger startup dengan perusahaan SPAC untuk menggalang dana publik./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Mekanisme SPAC dinilai memiliki risiko tinggi bagi startup yang berencana menggalang dana publik, kendati taktik ini memang bisa menjadi jalan pintas bagi perusahaan rintisan yang ingin mencatatkan sahamnya di bursa efek luar negeri.

Sekadar catatan, praktik akuisisi perusahaan cangkang atau special purpose acquisition company (SPAC) memang banyak digunakan oleh perusahaan rintisan (startup)—khususnya yang masih melakukan praktik ‘bakar duit’—agar dapat melicinkan jalan menuju pasar modal.

Di Indonesia, mekanisme ini belum secara resmi diregulasi oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI), tetapi legal di berbagai bursa efek terbesar dunia, termasuk di Amerika Serikat. Oleh karenanya, strategi ini lebih banyak dilirik oleh startup yang berencana dual listing di pasar lokal dan AS.

Beberapa perusahaan teknologi berbasis aplikasi digital dari Indonesia yang kerap dirumorkan berencana dual listing di Jakarta dan Wall Street dengan meminang SPAC a.l. Kredivo, Traveloka, dan Tiket.com.

Akan tetapi, kabar yang berembus beberapa waktu belakangan menyebut keduanya mengkaji ulang rencana masuk Wall Street melalui jalur akuisisi SPAC.  

Melihat fenomena tersebut, Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan bagi perusahaan rintisan, tak dapat dipungkiri SPAC membuat proses melantai di bursa menjadi lebih mudah dan cepat.

Sebaliknya, di mata investor, perusahaan yang masuk pasar efek lewat jalur akuisisi SPAC cenderung dinilai memiliki risiko tinggi. 

“Kalau risiko [masuk bursa via SPAC] buat startup adalah tekanan yang langsung meningkat. Jadi seperti anak yang baru belajar naik sepeda, tiba-tiba langsung dikasih sepeda motor balap,” kata Dianta, Rabu (8/9/2021). 

Mengelaborasi lebih lanjut, Dianta menjelaskan SPAC merupakan perusahaan tanpa operasi komersial yang dibentuk secara ketat untuk meningkatkan modal di bursa efek dan biasa dikenal sebagai ‘perusahaan cek kosong’. 

Dalam beberapa tahun terakhir, kata Dianta, akuisisi SPAC menjadi makin populer dilakukan oleh perusahaan yang kinerja pembukuan atau laporan keuangannya belum menghijau.

Mekanisme ini sempat menarik penjamin emisi dan investor terkenal serta meningkatkan jumlah penawaran publik perdana atau initial public offering (IPO) pada 2019, terutama dari kalangan perusahaan rintisan.

Hanya saja, saat ini para investor mulai meragukan nasib investasinya terhadap perusahaan rintisan yang baru masuk bursa setelah IPO, melalui jalur SPAC.

“Karena banyak saham-saham perusahaan rintisan yang nilainya malah turun setelah IPO,” kata Dianta.

Pengguna aplikasi Kredivo/Istimewa

PERSIAPAN MATANG

Salah satu entitas rintisan yang berencana dual listing di Negeri Paman Sam dan Tanah Air adalah PT FinAccel Finance Indonesia (Kredivo) dari vertikal teknologi finansial (tekfin).

VP Strategy FinAccel Abhijay Sethia mengatakan Kredivo masih mengkaji berbagai alternatif untuk menjadi perusahaan terbuka, yang ditargetkan paling lambat pada kuartal I/2022. 

Dia mengatakan setiap perusahaan memiliki kebebasan dan fleksibilitas untuk memilih skemanya tersendiri untuk menjadi korporasi publik.

Dia pun tak menampik popularitas mekanisme akuisisi SPAC pasti akan mengalami periode perlambatan. 

“Apakah [listing via] IPO [konvensional] atau SPAC adalah rute yang lebih baik? Itu tergantung pada situasi spesifik masing-masing perusahaan,” kata Sethia kepada Bisnis, Rabu (8/9/2021).

Bagi perseroan, ujar Sethia, rute SPAC masih sangat masuk akal karena memberikan kepastian harga dan pendanaan di muka. 

Perseroan juga memiliki hak istimewa untuk bekerja dengan sponsor SPAC yang kuat—seperti Victory Park Capital—yang memiliki hubungan mendalam dengan perusahaan dan merupakan investor jangka panjang Kredivo.

Sethia menambahkan saat ini rencana Kredivo untuk listing di bursa masih terus berjalan sesuai dengan yang diharapkan.  

“Kami sedang mempersiapkan segala persyaratan untuk dapat melantai di bursa Amerika Serikat dan targetnya kami bisa merampungkan ini semua semua di kuartal pertama 2022,” kata Sethia. 

Saat dihubungi terpisah, perwakilan Traveloka juga menyatakan terus mempertimbangkan berbagai opsi untuk mencatatkan sahamnya di pasar modal, entah melalui akuisisi SPAC ataupun IPO secara konvensional.

Head of Corporate Communications Traveloka Reza Amirul Juniarshah mengatakan evolusi untuk menjadi perusahaan publik adalah langkah yang wajar, mengingat posisi Traveloka sebagai pemimpin di industri online travel agent (OTA). 

“Kami tetap berkomitmen untuk mewujudkan tujuan ini [IPO] dan terus mempertimbangkan berbagai opsi yang tersedia,” kata Reza kepada Bisnis, Selasa (7/9/2021).

Reza menambahkan pada saat yang sama, Traveloka memiliki permodalan yang kuat dan tetap fokus dalam menentukan pilihan serta waktu yang terbaik, sesuai dengan kepentingan perusahaan dan pemangku kepentingan. 

Untuk diketahui, pada Februari 2021, Traveloka menyatakan rencana untuk IPO di AS. Aksi korporasi pada saat itu rencananya dilakukan melalui SPAC dan diharapkan dapat menghimpun dana hingga US$5 miliar.  

Dalam perkembangannya, terdengar kabar bahwa Traveloka batal menggunakan skema akuisisi SPAC. Sumber anonim yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Bloomberg, Selasa (7/9/2021), antusiasme di pasar untuk menggunakan perusahaan cangkang untuk IPO memudar.

Atas dasar itulah, Traveloka kemungkinan akan mengeksplorasi langkah go public melalui penawaran umum perdana secara tradisional di AS.

Model menunjukan aplikasi Traveloka di Jakarta. Bisnis/Dedi Gunawan

PELUANG SEKTORAL

Di sisi lain, startup dari vertikal tekfin, edukasi, dan kesehatan digadang-gadang memiliki peluang cerah untuk go public melalui rute SPAC. Berbeda dengan vertikal agen perjalanan daring seperti Traveloka dan Tiket.com, animo investor di ketiga bidang tersebut dinilai masih tinggi. 

Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura mengatakan selain kredibilitas perusahaan SPAC, produk yang dijalankan oleh startup yang akan menerima investasi juga menjadi pertimbangan investor dalam membeli saham startup.

Menurutnya, meski kepercayaan terhadap perusahaan SPAC sedang tidak terlalu bagus, jika perusahaan rintisan yang berada di dalamnya memiliki produk di sektor yang menjanjikan, peluang investor untuk berinvestasi masih terbuka. 

“[Vertikal] finansial, pendidikan, dan kesehatan teknologi masih ada inovasi di tengah pandemi. Peluang untuk [cuan ketika] IPO masih terbuka,” kata Tesar. 

Adapun, jika kepercayaan investor terhadap SPAC sedang turun dan startup yang berada di dalamnya bergerak di sektor yang juga sudah jenuh, antusiasme investor pun akan lunglai terhadap perusahaan tersebut. Hal ini, menurut Tesar, yang sedang terjadi di Traveloka. 

“Perusahaan SPAC-nya pamornya sedang turun, kemudian produk sektornya [OTA] juga sedang turun. Ini kan kita tidak tahu sampai kapan,” kata Tesar. 

Untuk menghimpun dana di pasar modal lewat jalur tradisional, kata Tesar, juga tidak mudah. Sebab, Traveloka harus terlebih dahulu mencatatkan kinerja yang positif di tengah pandemi Covid-19.

Bagi perusahaan yang bergerak di bidang penginapan dan perjalanan, mencapai kinerja positif di tengah pandemi adalah hal yang sangat sulit.

Terlebih, Traveloka sempat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 100 pekerja mereka pada April 2020. Perusahaan juga harus memproses pengembalian 150.000 tiket pada Agustus 2020, dengan total nilai mencapai Rp1,4 triliun. 

Pada Oktober 2020, arah bisnis Traveloka mulai cemerlang. Traveloka menyatakan sudah mulai pulih, dengan total transaksi hotel telah mencapai 75% dari sebelum pandemi Covid-19. Namun, transaksi tiket pesawat masih rendah. 

Setali tiga uang, Managing Partner Ideosource VC & Gayo Capital Edward Ismawan Wihardja menilai startup vertikal OTA memang sedang terpukul akibat pandemi. Hal itulah yang diduga menjadi penyebab turunnya animo investor terhadap perusahaan di bidang ini.

“Kemungkinan dikarenakan sektor hospitality dan travel masih terpengaruh dengan ketidakpastian pulihnya seperti kondisi normal maka animo investor bisa saja turun,” katanya.

Edward meyakini tidak semua sektor mengalami penurunan daya tarik sehingga perusahaan di luar sektor perjalanan berpeluang tetap melanjutkan rencana go public melalui akuisisi SPAC. 

Menurutnya, SPAC membutuhkan sponsor, di mana cangkang SPAC-nya sudah disediakan. Kesuksesan sebuah akuisisi SPAC ditentukan dari animo para investor yang umumnya melihat potensi sektor industri dan potensi pertumbuhan.

Dalam kasus Traveloka, dia menduga investor melihat sektor tersebut masih terpukul oleh pandemi Covid-19. 

Edward menjelaskan IPO melalui pasar terbuka biasanya bisa membawa investor yang lebih banyak dan beragam karena karena sifatnya yang merupakan penawaran umum. 

Investor di pasar terbuka pun jelas juga akan melihat sektor tempat sebuah perusahaan bakal melantai sebelum memutuskan untuk berinvestasi. 

“Animo investor secara umum sama namun book building bisa lebih lebar,” kata Edward. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.