Larangan Ekspor CPO, Mimpi Buruk Industri Hulu Sawit

Pemangkasan ekspor CPO, andai kata dijalankan, akan berhadapan dengan insentif dari negara pengimpor seperti India yang baru saja menurunkan bea masuk dari 15% menjadi 10%. Selain itu, permintaan di China yang sedang melonjak bakal luput disabet sebagai peluang pundi-pundi ekspor.

Reni Lestari

25 Okt 2021 - 17.04
A-
A+
Larangan Ekspor CPO, Mimpi Buruk Industri Hulu Sawit

Petani sawit mendapatkan pembinaan dari Cargill terkait peningkatan produktivitas kebun untuk menunjang pendapatan petani. istimewa

Bisnis, JAKARTA — Industri hulu kelapa sawit ditengarai menjadi lini yang paling dirugikan dari kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah, yang kembali diwacanakan pemerintah untuk mendorong penghiliran industri berbasis perkebunan tersebut.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menilai pernyataan Presiden Joko Widodo untuk menyetop pengapalan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) merupakan langkah yang ekstrem.

Menurutnya, untuk sampai pada keputusan tersebut, pemerintah harus banyak berdiskusi dengan pelaku usaha agar upaya itu tidak justru menjadi bumerang bagi industri dalam negeri.

Upaya penghiliran industri kelapa sawit, menurutnya, telah banyak terdorong kebijakan insentif pungutan ekspor yang terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.

"Sudah ada beberapa kebijakan yang pada akhirnya memaksa CPO untuk penghiliran. Saya rasa Pak Presiden perlu melihat secara matang baik dari pelaku industri dan kebijakan pemerintah yang sudah ada saat ini," katanya, Senin (25/10/2021).

Lebih lanjut, dia mengatakan selama ini harga di pasar global menjadi pembanding tarif di dalam negeri. Seandainya larangan ekspor CPO diberlakukan, pembanding tersebut menjadi hilang sehingga harga domestik berpeluang melambung.

"Sekarang kan terbuka harga ekspor, harga di dalam negeri juga terbuka, jadi ada pembandingnya. Kalau nanti kita tidak tahu, berapa yang harus diterapkan, ini malah jadi backfire dan merugikan di sektor hulunya," kata Andry.

Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun lalu mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66%) diekspor dan 17,34 juta ton (34%) terserap di dalam negeri.

Dari volume yang diekspor, pengapalan dalam bentuk CPO dan crude palm kernel oil (CPKO) sejumlah 9 juta ton (26,47%), sedangkan produk olahan dan makanan sebesar 21,10 juta ton (62,05%) serta oleokimia sebesar 3,87 juta ton (11,38%).

Permasalahan lain juga muncul dari sisi penyerapan CPO di dalam negeri jika pemerintah benar-benar melarang komoditas tersebut untuk diekspor.

Menurut Andry, pasar di dalam negeri belum cukup besar untuk memperluas penghiliran industri sawit. Indikatornya, ada beberapa industri yang belum siap menghasilkan produk pengguna akhir (end user).

"Kita juga harus tahu potensi-potensi pasar produk-produk hilir sawit ke depan, karena ini yang jadi persoalan adalah pasar di dalam negeri masih belum cukup besar," katanya.

Demikian pula dengan pasar ekspor yang meskipun telah terdiversifikasi jenisnya, tetapi belum sampai ke produk pengguna akhir.

Andry berpendapat jika pasar di dalam negeri belum siap menerima limpahan kuota ekspor, maka yang terjadi adalah tidak terjadi penyerapan yang optimal. "Kita tidak inginkan hal tersebut terjadi," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, isu yang juga menjadi tantangan adalah belum adanya peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit.

Peta jalan yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 13/2010 tentang Perubahan atas Permenperin No. 11/2009 tentang Peta Panduam (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit dinilai belum mewadahi kebutuhan industri.

"Ketika ada pasar sebetulnya kita bisa melakukan penghiliran sawit, apalagi berkaca pada Indonesia yang saat ini menjadi salah satu pemain terbesar untuk produk sawit," ujarnya.

Pemangkasan ekspor CPO, andai kata dijalankan, akan berhadapan dengan insentif dari negara pengimpor seperti India yang baru saja menurunkan bea masuk dari 15% menjadi 10%. Selain itu, permintaan di China yang sedang melonjak bakal luput disabet sebagai peluang pundi-pundi ekspor.

Persoalan lain yakni di sektor hulu di mana sekitar 43% kebun sawit masih dimiliki oleh pekebun rakyat. Penguatan industri di hulu menurutnya memiliki urgensi yang tidak kalah besar dibandingkan dengan upaya penghiliran.

Sementara itu, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% pada 2010 menjadi 80% pada 2020.

Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 13/2010.

SAMPAI HATI

Di tempat terpisah, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) meyakini pemerintah tak akan sampai hati menyetop sama sekali pengapalan CPO yang berkontribusi signifikan terhadap kinerja ekspor nonmigas.

Ketua Umum Aprobi Master Parulian Tumanggor mengatakan pemangkasan ekspor CPO untuk optimasi serapan di dalam negeri bisa dipandang sebagai peluang. Namun, tantangannya adalah mengembangkan pasar domestik untuk menyerap kuota ekspor.

"[Ekspor CPO] Tidak akan dilarang, tetapi diupayakan penggunaannya untuk downstream. Sepanjang pasarnya ada, semua CPO [bisa diserap] menjadi [produk] downstream. Namun, kalau juga tidak laku, bagaimana?" kata Master.

Pun demikian, Master mengaku menyambut baik wacana Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ekspor CPO demi upaya penghiliran industri.

Pada tahun lalu, biodiesel untuk pemakaian domestik menyerap 14% produksi CPO. Tahun ini, serapan tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 15,2%. Hingga Juli 2021, produksi biodiesel mencapai 5.063.657 kiloliter (kl) dengan pemakaian domestik 4.635.204 kl.

 Dia melanjutkan, produksi biodiesel sepanjang tahun ini adalah sekitar 9 juta kl, sedangkan tahun depan, volume produksi dapat didorong hingga 12 juta kl jika pemerintah memutuskan untuk memulai program B40.

Program Biodiesel 40 persen (B40) diketahui terdiri atas campuran minimal 40% fatty acid methyl ester (FAME) dan 60% solar.

Master mengatakan saat ini program B40 sudah melalui uji coba laboratorium dan akan segera diuji untuk pemakaian di jalan. "Kami berharap Januari tahun depan mulai uji coba di jalanan," lanjutnya.

Setelah proses tersebut terlewati sekitar 4 hingga 5 bulan, diharapkan pada pertengahan 2022 pemerintah sudah dapat memutuskan pelaksanaan program tersebut.

INVESTASI HILIR

Pada perkembangan lain, upaya penghiliran industri kelapa sawit dinilai terus berjalan meski tanpa larangan ekspor minyak sawit mentah.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan para pengusaha sawit telah menambah investasinya di industri produk hilir, seperti oleokimia, biolubricant, biohidrokarbon, pengemulsi, dan lain-lain.

"Jadi  dengan regulasi yang ada, serapan CPO dan CPKO di dalam negeri  telah tertampung," kata Sahat.

Indikator penghiliran tampak dengan turunnya rasio volume ekspor produk olahan dibandingkan dengan CPO dan CPKO. Pada Januari—Agustus 2021, Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mencatat kontribusi minyak sawit mentah dari total ekspor CPO dan produk turunannya hanya sebesar 9,27%.

Sahat juga mengatakan tekanan pada ekspor CPO sudah berjalan sejak 2012 dan menjadi lebih konkrit pada 2015, ketika pemerintah menetapkan perbedaan pajak pengapalan antara produk hulu dan hilir.

"Ini artinya secara tidak langsung [pemerintah] menetapkan larangan ekspor CPO," ujarnya.

Peraturan Menteri Keuangan No. 76/2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit sejalan dengan upaya penghiliran sejak 2011.

Sahat menjelaskan, berdasarkan beleid tersebut, ekspor CPO dikenakan pajak US$341 per ton. Maka eksportor hanya menerima US$759 per ton atau ekuivalen dengan Rp10.719 per kg. Dengan kondisi tersebut, harga CPO domestik berada di kisaran Rp14.010 per kg.

"Maka pengusaha tidak akan melakukan ekspor karena harga pasar sawit di pasar domestik jauh lebih baik," ujarnya. 

Aktivitas di perkebunan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT). Istimewa

Dari sisi pemerintah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan wacana larangan ekspor CPO sejauh ini belum menyentuh tataran regulasi.

Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Emil Satria mengatakan belum ada pembahasan untuk meregulasi larangan ekspor komoditas itu.

Larangan ekspor untuk upaya penghiliran industri sebelumnya dilakukan pada komoditas bijih nikel. Lewat Peraturan Menteri ESDM No. 11/2019, ekspor bijih nikel berakhir 31 Desember 2019.

"Kami belum pernah bahas itu [larangan ekspor CPO]. Tidak tahu nanti kalau diminta untuk dibahas," kata Emil.

Emil melanjutkan upaya penghiliran industri CPO sejauh ini dilakukan dengan mempertahankan kebijakan tarif pungutan ekspor secara progresif berdasarkan harga internasional dan rantai nilai industri.

Sementara itu, kebijakan lain seperti kemudahan berinvestasi, pengamanan bahan baku di dalam negeri, dan insentif harga gas industri serta perpajakan berupa tax allowance dan tax holiday dinilai telah memperluas investasi baru di sektor-sektor turunan seperti oleopangan, oleokimia, dan biofuel.

Contoh investasi tersebut, yakni Unilever Oleochemical Indonesia (Unilever) yang berlokasi di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara.

Sepanjang 2012—2020, telah melakukan investasi sebesar Rp2,5 triliun untuk pengoperasian pabrik oleokimia yang menggunakan bahan baku CPKO dari PTPN III.

Pada akhir 2024, Kemenperin memperkirakan total investasi Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei akan mencapai lebih dari Rp5 triliun, yang menghasilkan produk personal wash untuk diekspor ke berbagai negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.