Lepas Isu Bahan Baku, Industri Tekstil Diteror Kenaikan TDL 2022

Kenaikan tarif dasar listrik untuk 13 golongan pelanggan nonsubsidi pada 2022 akan menurunkan utilisasi industri pertekstilan nasional hingga 10 persen, padahal sektor tersebut sudah mulai mengembalikan momentum pemulihannya pada kuartal IV/2021.

Reni Lestari

30 Nov 2021 - 16.51
A-
A+
Lepas Isu Bahan Baku, Industri Tekstil Diteror Kenaikan TDL 2022

Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat./JIBI-Rahmatullah

Bisnis, JAKARTA — Setelah mencatatkan penguatan kinerja ekspor memasuki kuartal terakhir tahun ini, industri pertekstilan nasional kembali terancam pelemahan daya saing akibat rencana kenaikan tarif dasar listrik untuk 13 golongan pelanggan nonsubsidi pada 2022.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) akan memberatkan industri karena ongkos energi berkontribusi antara 10—25 persen pada biaya produksi.

Jika diperinci, proporsi energi pada biaya produksi terbesar ada di industri hulu dan menengah (intermediate) yakni 25 persen, serta di industri hilir sebesar 15 persen.

(BACA JUGA: Titik Cerah Pembalikan Kinerja Industri Pertekstilan)

Selain itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang saling terintegrasi dari hulu ke hilir juga menyebabkan kenaikan TDL akan berdampak domino.  

"Kenaikan biaya listrik akan menaikkan harga produk jadi yang akan digunakan oleh industri hilir sehingga kenaikan TDL akan memberikan efek snowball [bola salju] ke hilir," kata Elis saat dihubungi, Selasa (30/11/2021).

(BACA JUGA: Industri TPT Mulai Bangkit, Quo Vadis Jerat Utang SRIL & PBRX?)

Elis melanjutkan beban yang ditanggung konsumen dari kenaikan harga produk akan menurunkan daya saing TPT lokal dari produk impor. Kemenperin, padahal, sedang menggalakkan program substitusi impor yang ditarget mencapai 35 persen pada 2022.

Akibatnya, wacana kenaikan TDL tersebut juga akan berdampak pada tercapainya target substitusi impor pada tahun depan.

(BACA JUGA: Krisis Batu Bara Vs. Kapas, Mana Lebih Membahayakan Sektor TPT?)

"Bagaimana produk dalam negeri akan mensubstitusi produk impor jika harga di dalam negeri lebih tinggi akibat adanya kenaikan TDL ini," ujarnya.

Berdasarkan rencana penyesuaian TDL oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kenaikan pada golongan I-3 atau penggunaan listrik di atas 200 kVS dan I-4 dengan penggunaan daya di atas 30.000 kVA diproyeksikan masing-masing 15,97 persen dan 20,78 persen.

Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kemenperin, kenaikan tersebut akan mengerek harga pokok produksi (HPP) industri tekstil sebesar 1,05 persen untuk golongan I-3 dan 1,37 persen untuk golongan I-4.

Adapun untuk industri pakaian jadi, kenaikan HPP diperkirakan sebesar 0,34 persen pada golongan I-3 dan 0,44 untuk golongan I-4.  

Sementara itu, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, akan terbebani kenaikan harga pokok produksi (HPP) sebesar 0,32 persen untuk golongan I-3 dan 0,42 persen untuk golongan I-4.

"Kenaikan TDL tentu saja akan sangat memberatkan industri TPT karena bobot energi pada struktur biaya tersebut," ujar Elis.

Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan rencana kenaikan TDL bisa menjadi batu ganjalan baru bagi industri tekstil yang sudah mulai bergeliat.

"Kenaikan harga listrik ini malah jadi faktor yang menarik mundur, padahal beberapa waktu terakhir trennya sudah baik," kata Rizal.

Dia menjelaskan, di industri antara, ongkos listrik berkontribusi sekitar 20 persen terhadap struktur biaya produksi. Sementara itu, di sisi hilir, angkanya bisa mencapai di atas 25 persen.

Kenaikan harga komoditas dan bahan baku, jika dibarengi pula dengan tekanan pada ongkos energi, dinilai akan kontraproduktif dengan pemulihan yang masih berlangsung.

Bahkan, tidak hanya industri tekstil, manufaktur secara keseluruhan bisa terhambat pertumbuhannya karena penerapan kebijakan ini.

"Saya khawatir bukan hanya tekstil, pertumbuhan industri nasional juga bisa melambat," ujarnya.

Sementara itu, Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) memproyeksikan kenaikan tarif dasar listrik akan menurunkan utilisasi industri hingga 10 persen.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, dari sisi industri, pengusaha akan langsung mengalihkan beban kenaikan HPP ke konsumen.

Di sisi lain, konsumen juga harus terbebani kenaikan tagihan listrik. Tekanan dari sisi penawaran dan permintaan tersebut ditengarai bakal sangat memukul daya beli, sehingga berdampak pada penurunan utilisasi kapasitas produksi.

"Otomatis utilisasi akan turun lagi. Saya kira kalau di [industri] lokal bisa sampai turun 5—10 persen," kata Redma saat dihubungi, Senin (29/11/2021).

Redma melanjutkan, dari sisi pasar dalam negeri, industri sebenarnya tengah mendapatkan momentum pertumbuhan, dengan terbitnya aturan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) produk garmen, dan Peraturan Menteri Perdagangan No.20/2021 tentang kebijakan dan pengaturan impor.

Hal itu didukung pula oleh perbaikan daya beli masyarakat usai pelonggaran PPKM.

Sisi lain, dari sisi eksternal, krisis energi di China dan keterbatasan produksi di Vietnam ikut mengerek kinerja tekstil dalam negeri.

Di dalam negeri, lanjutnya, daya saing dengan produk impor kemungkinan masih bisa dikejar dengan instrumen pasar yang telah disediakan pemerintah. Namun, hal yang berbeda akan terjadi di pasar ekspor.

"Kalau di local market meskipun utilisasi turun, kami masih bisa jualan karena ada kebijakan perdagangan. Namun, ekspor tidak bisa kita atur, tentu ekspor akan jadi hambatan," jelasnya.  

Pedagang merapikan kain di salah satu gerai di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (8/12/2020). /Bisnis.com-Himawan L Nugraha

USULAN SKEMA

Bagaimanapun, Redma tak menampik kenaikan TDL tahun depan  menjadi tak terhindarkan seiring rencana pemberlakuan pajak karbon pada tahun depan yang pertama kali menyasar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Namun, pemerintah belum memiliki peta jalan dan pedoman teknis pemberlakuan pajak karbon. Redma mengatakan agar dampak kebijakan ini tak terlalu membebani industri, penerapan pajak karbon melalui skema batasan atau caping harus bertahap.

Dia mengusulkan pada tahap awal, batasan atau cap tersebut perlu disesuaikan dengan kemampuan PLN dalam memangkas emisi karbonnya.

"PLN punya rencana untuk beralih ke EBT (energi baru terbarukan), itu butuh waktu. Sebaiknya [kemampuan] PLN jadi patokan, PLN bisa turunkan berapa, industri akan ikut cap itu. Kalau sekarang cap-nya masih di bawah, PLN akan kena pajak karbon, itu akan jadi beban kami."

Menurutnya, di internal pemerintah sendiri, belum ada penjelasan yang terang benderang mengenai kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik akibat dari pemberlakuan pajak karbon.

Pangkalnya, batas atas emisi karbon belum juga ditentukan oleh pemerintah, meski tarifnya telah ditetapkan Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk PLTU.

Dengan demikian, perlu kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan ini mengingat dampaknya yang berganda bukan hanya dari sisi penawaran di industri tetapi juga permintaan di masyarakat.

"Inflasi akan dobel, dari PLN [ke konsumen] iya, dari manufaktur juga nge-pass ke konsumen juga. Jadi inflasi ini akan ada tekanan," ujar Redma.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menilai perbaikan kinerja industri sebagian besar ditopang oleh stimulus dan insentif pemerintah.

Untuk itu, Heri pun mengusulkan penerapan kenaikan TDL sebaiknya ditunda hingga ekonomi benar-benar stabil dan industri mencapai titik pemulihan meski tanpa stimulus.

"Pemerintah seharusnya mengambil kebijakan-kebijakan seperti ini menunggu situasi yang tepat, di saat ekonomi sedang stabil," kata Heri.

Terlebih, tahun depan pemerintah juga berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022.

Selain itu, tekanan pada inflasi diprediksi juga masih akan dipengaruhi tingginya harga bahan baku dan komoditas serta masalah logistik yang belum tuntas.

Pada industri tekstil, Heri memproyeksi kenaikan TDL akan menurunkan utilisasi sebesar 5 persen. Sementara itu, dampak lain yang dikhawatirkan yaitu daya saing di pasar ekspor.

"Karena kita secara head to head bersaing dengan Vietnam, India, China, dan Bangladesh. Kalau ada kenaikan [harga], akan mempengaruhi harga ekspor dan mempengaruhi kepercayaan buyer di luar negeri," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.