Membaca Strategi Fiskal Penghapusan Sanksi Pajak

Penghapusan sanksi bagi wajib pajak peserta Tax Amnesty 2016 itu akan dimuat di dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Draf RUU tersebut juga telah diserahkan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

24 Mei 2021 - 13.36
A-
A+
Membaca Strategi Fiskal Penghapusan Sanksi Pajak

Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum\'at (31/3)./Antara-Atika Fauziyyah

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah akan menghapus sanksi administrasi perpajakan sebesar 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang bayar bagi wajib pajak peserta program pengampunan pajak pada 2016 untuk mendulang rupiah di tengah suramnya prospek penerimaan pajak.

Bagaimana membaca strategi fiskal pemerintah menetapkan penghapusan sanksi administrasi perpajakan ini? Sumber Bisnis mengatakan ada tiga hal yang mendasari pemerintah menghapus sanksi bagi wajib pajak peserta pengampunan pajak atau tax amnesty.

Pertama, gagalnya program pengampunan pajak yang dirilis pada 2016. Hal itu tecermin dari tidak seimbangnya harta yang dideklarasikan dengan harta yang berhasil direpatriasi.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Tax Amnesty 2016 diikuti oleh 972.530 wajib pajak dengan uang tebusan senilai Rp114 triliun.

Adapun komposisi harta secara neto adalah deklarasi harta dalam negeri senilai Rp3.698 triliun, dan deklarasi harta luar negeri senilai Rp1.036 triliun. Sementara itu, realisasi repatriasi tercatat hanya senilai Rp147 triliun.

Petugas melayani pengunjung di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Sawah Besar Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Bisnis/Arief Hermawan P.

Kedua, tidak optimalnya tindak lanjut data hasil kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEOI).

Berdasarkan dokumen Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, pada 2018 total nilai data AEOI mencapai Rp2.742 triliun.

Sementara itu, mengacu pada hasil penelitian Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, terdapat selisih setara kas pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2018 dengan data AEOI senilai Rp670 triliun.

“Saat ini telah dan sedang ditindaklanjuti],” tulis dokumen Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, Minggu (23/5).

Data itu mengungkap 30.722 wajib pajak dengan nilai data Rp78 triliun telah diidentifikasi dan sebanyak 9.846 wajib pajak telah ditindaklanjuti dengan imbauan senilai Rp39 triliun.

Namun, pemerintah menghadapi segudang tantangan dalam menindaklanjuti data AEOI ini di antaranya, tidak adanya nomor pokok wajib pajak (NPWP), alamat yang tidak lengkap atau alamat di luar negeri, serta nama dan tanggal lahir pemegang rekening keuangan tidak ditemukan.

“Data AEOI hanya mencakup data keuangan, tidak termasuk data properti, dan investasi dalam bentuk aset kripto,” tulis dokumen tersebut.

Ketiga adalah kebutuhan untuk mewujudkan konsolidasi fiskal pada 2023. Sekadar informasi, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu memaksa pemerintah untuk meracik strategi fiskal di luar kebiasaan.

Dampaknya, defisit pun kian melebar sehingga pemerintah membutuhkan penerimaan yang sangat besar untuk mengimbangi membengkaknya kebutuhan belanja.

Adapun, penghapusan sanksi bagi wajib pajak peserta Tax Amnesty 2016 itu akan dimuat di dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Draf RUU tersebut juga telah diserahkan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam Rencana Pengaturan RUU KUP yang diperoleh Bisnis, pemerintah mengenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 15% nilai aset atau 12,5% nilai aset jika diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan pemerintah kepada peserta program tax amnesty yang mengungkapkan aset per 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan saat program berlangsung.

“Wajib pajak diberikan fasilitas penghapusan sanksi,” tulis dokumen tersebut.

Opsi penghapusan sanksi ini mencederai amanah UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Pasal 18 UU tersebut tertulis, dalam hal wajib pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai harta yang belum atau kurang saat pengungkapan dalam Surat Pernyataan, atas harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak.

Atas tambahan penghasilan tersebut, dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh dan ditambah dengan sanksi administrasif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.

Perlakuan serupa juga diberikan pemerintah terhadap wajib pajak orang pribadi yang memperoleh aset pada 2016—2019 dan masih memiliki sampai dengan 31 Desember 2019, tetapi belum dilaporkan dalam SPT 2019.

Pemerintah pun mengenakan PPh Final 30% dari deklarasi aset, atau 20% dari deklarasi aset jika diinvestasikan di SBN yang ditentukan pemerintah kepada wajib pajak.

“Wajib pajak diberikan fasilitas penghapusan sanksi,” tegas dokumen itu.

Bisnis telah menghubungi Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo terkait dengan alasan pemerintah menghapus sanksi dalam program pengampunan pajak itu. Akan tetapi, Suryo tidak bersedia memberikan keterangan.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI), Prianto Budi Saptono mengatakan kebijakan membebaskan sanksi denda merupakan langkah instan pemerintah guna menyiasati sulitnya menindaklanjuti data Tax Amnesty 2016 dan data AEOI.

“Ini langkah instan untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah utang yang terus bertambah karena pemanfaatan data dari AEOI tidak bisa instan bagi negara untuk memperoleh setoran pajak,” katanya kepada Bisnis, Minggu (23/5).

Menurutnya, optimalisasi data melalui instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) membutuhkan waktu yang sangat lama. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan penerimaan besar dalam waktu singkat untuk menutup celah defisit.

Sementara itu, sumber Bisnis mengatakan penghapusan sanksi sebesar 200% tersebut merupakan praktik dari skema Tax Amnesty Jilid II yang bakal diatur dalam RUU KUP.

SUNSET POLICY

Berdasarkan dokumen Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, penghapusan sanksi tersebut merupakan bagian dari Sunset Policy yang disiapkan oleh pemerintah dan tertuang di dalam rumusan RUU KUP.

Sunset Policy disusun dengan tujuan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan harta yang belum dipenuhi kewajiban perpajakannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian.

Ada dua jalur yang bisa dilakukan oleh wajib pajak. Pertama, pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak. Kedua, pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi Tahun Pajak 2016—2019.

Sunset Policy pun bukanlah kebijakan baru yang dilakukan oleh pemerintah. Pada 2008, Sunset Policy telah membantu pemerintah merealisasikan target penerimaan pajak.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008, realisasi penerimaan pajak dalam negeri adalah Rp622,35 triliun, mencapai 107,26% dari target yang ditetapkan dalam APBN-P senilai Rp580,24 triliun. Realisasi tersebut lebih tinggi 32,40% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya.

Dalam LKPP tersebut, pemerintah berargumen Sunset Policy merupakan fasilitas penghapusan sanksi PPh orang pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak.

Terdapat dua jenis pengampunan pajak dalam kebijakan tersebut yakni pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pembetulan SPT tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007.

Lalu, penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum diperoleh NPWP bagi wajib pajak orang pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP.

Prianto menilai bahwa tax amnesty juga merupakan bagian dari Sunset Policy atau Sunset Clause karena kebijakan pajak tersebut bersifat sementara.

Kebijakan jangka pendek ini, menurutnya, ditempuh karena pemerintah dituntut untuk meraup banyak penerimaan pajak tanpa menimbulkan persoalan, seperti ketika otoritas pajak menempuh langkah intensifikasi maupun ekstensifikasi basis pajak.

Selain itu, kebijakan ini disiapkan sejalan dengan gagalnya pemerintah dalam merealisasikan target repatriasi dalam program pengampunan pajak 5 tahun silam.

“Di sisi lain pemerintah juga butuh duit instan untuk menutupi shortfall pajak karena tidak mungkin mengandalkan utang terus-menerus,” katanya.

DANA SEGAR

Sementara itu, kalangan pelaku usaha mendukung rencana pemerintah untuk menghapus sanksi tersebut. Pasalnya, pemerintah tengah membutuhkan dana segar untuk menangani dampak pandemi Covid-19.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Ajib Hamdani mengatakan ada tiga sudut pandang atas penghapusan sanksi ini.

Ketiga sudut pandang ini yakni keuangan negara, ekonomi dan bisnis nasional, dan kepastian hukum para wajib pajak.

Namun, dia memberikan catatan kepada pemerintah terkait dengan tax amnesty Jilid II atau Sunset Policy ini, yakni perlunya waktu pelaksanaan yang cukup, sosialisasi yang memadai, dan kesempatan penghapusan atas utang pajak yang akut.

Faktanya, kata Ajib, kegagalan program tax amnesty 5 tahun lalu disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. “Tax amnesty yang pertama memang belum optimal,” katanya kepada Bisnis.

Menurutnya, tidak optimalnya realisasi program pada 2016 itu disebabkan belum banyak wajib pajak yang teredukasi, keyakinan wajib pajak yang masih kurang, serta ketidaksiapan pemerintah untuk menjadikan momentum tax amnesty sebagai pembuatan basis data penguatan perpajakan nasional.

“Wajib pajak kurang teryakinkan pada periode pertama . Kali ini akan lebih optimal ketika pemerintah memberikan ruang waktu yang leluasa dan edukasi yang lebih maksimal,” katanya. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.