Menagih Janji Tarif Murah Layanan Seluler di 3T

Pembangunan infrastruktur yang mahal di daerah timur Indonesia atau perdesaan terpencil seyogianya tidak dibebankan kepada masyarakat di sana karena daya beli dan perekonomian mereka tidak besar jika dibandingkan dengan di Pulau Jawa.  

Leo Dwi Jatmiko

11 Okt 2021 - 16.10
A-
A+
Menagih Janji Tarif Murah Layanan Seluler di 3T

Kepala Distrik Rumberpon, Papua Barat Pius CB Kayukatui menunjukkan penggunaan layanan seluler di daerah 3T, Selasa (5/10/2021)/Bisnis-Leo Dwi Jatmiko

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu menggelontorkan anggaran subsidi atau menetapkan subsidi silang khusus untuk menekan harga  layanan telekomunikasi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. 

Direktur ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pembangunan infrastruktur yang mahal di daerah timur Indonesia atau perdesaan terpencil seyogianya tidak dibebankan kepada masyarakat di sana karena daya beli dan perekonomian mereka tidak besar jika dibandingkan dengan di Pulau Jawa.  

Dia pun menilai perlu ada kebijakan populis dari pemerintah untuk menekan harga layanan di Indonesia timur. 

“Misalnya, subsidi silang di mana orang kota yang ekonominya baik membayar sedikit lebih mahal,” kata Heru, Minggu (10/10/2021). 

Cara lain yang dapat ditempuh, sambungnya, adalah dengan memberi keringanan kepada operator dalam pembayaran spektrum frekuensi dan biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya. 

Operator yang menghadirkan layanan di sana juga harus memberikan harga yang terjangkau kepada masyarakat. Sebagai gantinya, mereka akan mendapat potongan harga dalam pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi. 

“Subsidi dari pemerintah dalam bentuk pengurangan biaya spektrum frekuensi atau PNBP lainnya,” kata Heru. 

Tidak hanya itu, perbankan bergerak (mobile banking) dan dompet digital juga hakikatnya dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi mahalnya harga tarif layanan telekomunikasi di daerah 3T. 

Hanya saja, pemangku kepentingan harus meningkatkan literasi digital masyarakat di 3T untuk mewujudkan hal itu. 

Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menilai pemanfaatan perbankan bergerak dan dompet digital dapat menjadi solusi untuk mengatasi mahalnya tarif layanan telekomunikasi—panggilan suara dan data—di desa-desa terpencil. 

Menurutnya, harga pulsa dan paket data di perbankan bergerak dan dompet digital di Papua Barat, dengan di Pulau Jawa sama. 

“Kalau beli pulsa di aplikasi sudah tidak ada perbedaan harga. Masalah literasi saja, ketika mereka paham menggunakan digital, tarif terasa lebih murah,” kata Tesar. 

Warga Desa Iseren, Papua Barat berfoto di depan BTS 4G Bakti, Selasa (5/10/2021)/dok. Kemenkominfo

MASALAH ARPU

Di lain sisi, rendahnya rata-rata pendapatan per pelanggan atau average revenue per user (ARPU) yang diperoleh operator seluler menjadi penyebab minimnya infrastruktur telekomunikasi yang hadir di daerah 3T. 

Sedikitnya jumlah infrastruktur inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab tarif layanan di daerah 3T menjadi mahal karena ongkos penggelaran mahal, sedangkan penduduk yang menggunakan sedikit dengan daya beli yang juga tidak seberapa. 

Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menilai rendahnya rerata pendapatan yang dibukukan operator di kawasan 3T dan desa-desa, menjadi salah satu penyebab harga layanan di sana mahal. 

Operator menghadirkan jaringan dengan ongkos yang mahal, sedangkan masyarakat tidak banyak yang membeli layanan ataupun jika membeli dengan harga yang termurah. Alhasil, harga layanan di daerah 3T menjadi tinggi. 

“ARPU rendah sehingga jumlah BTS berikut jaringan tulang punggungnya masih sedikit,” kata Ian. 

Sebagai gambaran, saat peresmian BTS 4G di Papua Barat, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Latif sempat menyatakan pendapatan yang diperoleh dari penjualan layanan di daerah 3T hanya Rp15 juta per bulan per titik. 

Sisi lain, menurut kabar yang diterima Anang, untuk hadir ke sebuah wilayah, operator seluler minimal harus dapat membukukan pendapatan sekitar Rp75 juta per titik. 

Dengan kata lain, jumlah pendapatan yang dibukukan di daerah 3T hanya seperlima dari batas minimal toleransi operator untuk menghadirkan layanan. 

Faktor lain yang membuat tarif menjadi mahal, menurut Ian adalah terbatasnya toko pulsa di daerah 3T dan daerah-daerah terpencil. 

“Sebab, untuk beli kuota perlu perjalanan, seharusnya ada gerai atau fintek atau bank yang mudah dijangkau,” kata Ian. 

Ian mengusulkan agar tarif lebih murah, penjualan pulsa kuota ada hingga daerah 3T sehingga biaya perjalanan beli kuota pergi dan pulang tidak ada. 

“Bisa bekerja sama dengan pihak kecamatan dan lain-lain  sebagai agen penyediaan kuota,” 

Dari sisi pemerintah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki beberapa cara dalam menekan tarif layanan seluler agar lebih terjangkau, khususnya di daerah timur Indonesia. 

Salah satu caranya adalah dengan mendorong konsolidasi di operator seluler. 

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan konsolidasi operator akan menciptakan permodalan yang lebih kuat dan infrastruktur yang lebih besar, disebabkan peleburan dua perusahaan menjadi satu. 

Konsolidasi juga akan membuat pemanfaatan spektrum menjadi lebih efisien, yang membuat kualitas layanan menjadi lebih baik dengan harga yang tetap terjangkau.   

UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, kata Johnny, telah mengatur mengenai berbagi infrastruktur aktif dan pasif, termasuk saat terjadi merger. 

Kemenkominfo pun mendorong agar operator seluler bisa memanfaatkan secara bersama-sama infrastruktur aktif dan pasif  sehingga tidak ada belanja modal atau capital expenditure (capex) yang double atau triple di satu wilayah. 

Belanja modal yang tumpang tindih antar-operator, membuat harga layanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi lebih mahal.  

“Dengan kebijakan itu kami harapkan unit cost dari telekomunikasi menjadi lebih kompetitif dan murah, sama seperti logistik,” kata Johnny di Papua Barat, beberapa waktu lalu,

Lebih lanjut, kata Johnny, Peraturan Pemerintah No. 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) juga telah mengatur beberapa hal untuk menjaga industri telekomunikasi tumbuh. 

Peraturan turunan dari UU Cipta Kerja itu mendorong industri untuk berkembang, tanpa membebani masyarakat sebagai konsumen. 

“[PP No. 46/2021] memungkinkan industri berkembang dengan baik, tetapi konsumennya tidak terbebani,” kata Johnny.  

Selain mendorong konsolidasi dan pemanfaatan spektrum yang lebih efisien, kata Johnny, untuk menjaga tarif layanan tetap terjangkau pemerintah melalui UU Cipta Kerja juga mengatur mengenai batas atas dan batas bawah tarif. 

Batas atas untuk melindungi agar tidak terjadi harga yang terlalu mahal, sementara batas bawah untuk menjaga tidak terjadi banting-bantingan harga antar-operator sehingga industri menjadi terganggu. 

“Batas bawah untuk mencegah saling banting-banting harga sehingga [industri] jatuh,” kata Johnny. 

BEBAN REGULASI

Adapun, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai pengurangan beban regulasi yang dipikul oleh operator seluler dapat menekan harga layanan di Indonesia bagian Timur. 

Ketua Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan inisiatif  dari pemerintah dan regulator berupa pengurangan beban regulasi berbagai biaya hak penggunaan dapat menekan harga layanan. 

Dia mengatakan dari tahun ke tahun BHP tidak pernah berkurang, justru bertambah karena tuntutan target PNBP dan lain sebagainya. Hal ini berdampak pada tarif layanan yang kemudian dibebankan oleh operator kepada pelanggan. 

“Secara umum, beban regulasi [regulatory charges] di Indonesia masih tinggi, apalagi untuk daerah yang trafiknya masih sedikit, seperti daerah Timur Indonesia,” kata Sigit. 

Di samping itu, kata Sigit, pemerintah juga dapat mengeksplorasi kemungkinan pengurangan beban regulasi bagi operator yang membangun di daerah-daerah, yang secara hitungan bisnis masih berat.

Terkait dengan langkah konsolidasi, Sigit berpendapat strategi tersebut kemungkinan juga akan memberi dampak. Namun, baik konsolidasi maupun berbagi infrastruktur inisiatif berada di pihak penyelenggara. 

Konsolidasi secara umum akan mengurangi kondisi jumlah operator yang terlalu banyak, melebihi jumlah yang bisa menguntungkan untuk kondisi pasarnya. 

“Apalagi di daerah timur Indonesia, yang besar kemungkinan jumlah operatornya yang diperlukan mungkin tidak sebanyak di kota-kota besar,” kata Sigit. 

Dari sisi operator seluler, PT XL Axiata Tbk, akan mempersiapkan hal-hal yang bersifat teknis dan komersial usai dinyatakan memenangkan tender  menara pemancar atau base transceiver station (BTS) 4G Bakti.

Perusahaan berkode saham EXCL itu memenangkan 1 area dari 9 area yang dilelang. Telkomsel menguasai 8 sisanya. 

Mengenai langkah selanjutnya yang akan diambil perusahaan setelah dinyatakan menang, Head of External Communication XL Axiata Henry Wijayanto mengatakan perseroan akan mulai mempersiapkan hal-hal yang bersifat teknis. 

XL juga akan mempersiapkan skema komersial mengingat pada 2022, BTS 4G ditargetkan telah terbangun dan beroperasi di daerah 3T itu.  

“XL Axiata akan memulai segala persiapan yang dibutuhkan, baik secara teknis maupun komersial,” kata Henry kepada Bisnis

Henry menambahkan perseroan akan akan mempersiapkan integrasi jaringan bersama Bakti, serta melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait guna mempercepat layanan di area ini.

Mengenai rendahnya literasi masyarakat terhadap internet atau penetrasi ponsel pintar di sana, kata Henry, perseroan telah melakukan asesmen baik dari sisi teknis maupun komersial. 

Dari sisi teknis,  EXCL mempertimbangkan kesiapan dari infrastruktur yang ada untuk mendukung kerja sama integrasi jaringan bersama Bakti termasuk segala upaya yang dibutuhkan dalam proses ini. 

Dari sisi komersial, perseroan telah mempertimbangkan potensi pengembangan wilayah tersebut. 

“Termasuk potensi pendapatan yang bisa diperoleh dalam mendukung kelangsungan bisnis perusahaan kedepannya, juga mendukung pemerataan akses internet,” kata Henry. 

Sekadar informasi, EXCL memenangkan tender di area Sumatra. Adapun BTS di area tersebut nantinya tersebar di daerah Aceh, Bengkulu, Kepulauan Riau, Lampung, Riau, Sumatra Barat dan Sumatra Utara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.