Bisnis, JAKARTA – Pengguna jasa menyematkan harapan pada penggabungan Pelindo, mulai dari peningkatan kualitas layanan hingga efisiensi biaya logistik.
Indonesia National Shipowners' Association (INSA) berharap integrasi layanan akan diikuti dengan sentralisasi tarif dan layanan sembari tetap menyediakan ruang bagi swasta untuk mengelola pelabuhan.
Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto mengatakan, dengan sentralisasi service level agreement dan service level guarantee, pengguna jasa tidak perlu lagi melakukan lobi-lobi di setiap pelabuhan.
Dia juga berharap merger diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan yang merata di seluruh Indonesia dengan mengacu kepada praktik terbaik pelabuhan internasional. Bahkan, semestinya merger tidak memicu kenaikan tarif.
“Seharusnya port besar, pelayanan cepat, service bagus, volume meningkat. Dengan volume meningkat itu sudah menunjukkan peningkatan pendapatan dan profit. Tidak harus dengan peningkatan tarif,” tuturnya, Kamis (2/9/2021).
Karena merger berorientasi pelayanan publik dan mendorong ekonomi, Carmelita memberi saran agar Pelindo nantinya tidak semata-mata memupuk keuntungan. Menurutnya, perlu ada beberapa layanan yang bersifat stimulus, yakni bertarif rendah untuk memancing volume yang besar.
Hal serupa juga dikemukakan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI). Sekjen GPEI Toto Dirgantoro mengingatkan agar merger BUMN pelabuhan berorientasi manfaat atau dampak luas bagi masyarakat dan pengguna jasa.
“Yang kami harapkan dari Pelindo bersatu bukan monopoli pelabuhan yang profit oriented, melainkan benefit oriented untuk perekonomian,” ujarnya.
Dengan begitu, Pelindo nantinya membuka kemungkinan subsidi silang dari pelabuhan-pelabuhan besar ke pelabuhan-pelabuhan kecil agar tarifnya tetap terjangkau.
Lebih jauh, Toto berpendapat merger secara otomatis akan merampingkan direksi dan komisaris yang saat ini ada di setiap Pelindo. Direksi dan komisaris nantinya hanya akan ada di level perusahaan penerima gabungan. Dengan begitu, beban untuk membayar gaji direksi dan komisaris otomatis terpangkas.
Selain itu, dengan seluruh anak perusahaan yang sama tergabung, GPEI berharap biaya logistik turun.
Sementara itu, Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) memandang merger akan membuat Pelindo lebih efisien dan efektif dalam mengambil keputusan, terutama untuk membenahi infrastruktur pelabuhan.
Ketua Umum ARPI Hasanuddin Yasni mengatakan daya saing pelabuhan di Indonesia belum menggembirakan sekalipun sudah berstatus pelabuhan internasional. Padahal, pelabuhan laut Indonesia berperan penting mendistribusikan barang kebutuhan konsumen sehari-hari, mulai dari sandang, papan, pangan, hingga farmasi.
Pada saat yang sama, masih ada biaya-biaya tambahan dalam layanan bongkar muat reefer container hingga terkoneksi ke transportasi antarmoda dan terkirim ke konsumen akhir. Tidak mengherankan bila biaya logistik Indonesia mencapai 23% produk domestik bruto atau relatif lebih mahal dari rata-rata biaya negara-negara Asean.
Hasanuddin mengusulkan agar fasilitas penimbunan reefer container terus diperluas ke Indonesia timur, setidaknya setara fasilitas di New Priok Container Terminal 1 (NPCT-1) yang sudah terkelola dengan baik.
Di sisi lain, lanjutnya, tol laut yang mengerahkan armada kapal cukup besar belum begitu efektif pemanfaatannya, terutama untuk angkutan reefer container. Hasil laut yang melimpah dari wilayah Indonesia timur belum tereksplorasi maksimum untuk mengikuti permintaan Pulau Jawa dan Bali serta ekspor. Padahal, makanan beku sudah menjadi topik tren perubahan gaya hidup penduduk.
“Inilah yang menjadi pekerjaan rumah Pelindo baru ke depan, bagaimana memperlancar arus barang dan arus makanan ke seluruh wilayah Indonesia dengan biaya logistik pengiriman yang lebih kompetitif, ditarget 18% dari PDB,” ujar Hasanuddin.
TAK MONOPOLI
Soal isu monopoli, Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) sekaligus Ketua Organizing Committee Integrasi Pelindo Arif Suhartono mengatakan penggabungan tidak akan jauh melenceng dari operasi yang dijalankan keempat Pelindo saat ini.
Hal yang berbeda hanyalah operasi tidak lagi berdasarkan wilayah, tetapi berdasarkan lini bisnis. Dengan begitu, masih ada ruang bagi swasta untuk berusaha.
“Tentunya terkait peran perusahaan lain, terutama swasta, masih terbuka. Terkait dengan monopoli, [Pelindo] enggak ada rencana ke sana,” ujarnya.
Arif melanjutkan, kemungkinan go public selalu ada apabila Pelindo membutuhkan dana untuk investasi.
“Apabila nantinya kebutuhan investasi melampaui kebutuhan internal, tentunya opsi mencari dana dengan IPO sangat terbuka. Tapi, ada juga opsi lainnya,” tuturnya.