Bisnis, JAKARTA — Rendahnya serapan gas bumi di dalam negeri dikhawatirkan dapat membuat minat investor menjadi berkurang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Investor akan menilai cadangan gas bumi yang ditemukan bakalan sulit untuk terjual.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Yunus mengatakan sepanjang periode 2012—2021, pertumbuhan permintaan gas di dalam negeri hanya mencapai 1%. Realisasi itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang mencapai 4%—5%.
"Kalau kita belum bisa menemukan shortcut untuk quick win dalam waktu dekat, ini merupakan tantangan orang untuk datang berinvestasi di Indonesia," katanya dalam webinar yang digelar pada Rabu (22/9/2021).
Taslim menjelaskan, cekungan hidrokarbon yang ada di Indonesia lebih banyak menghasilkan gas dibandingkan dengan menghasilkan minyak. Di sisi lain, masih terdapat 70 cekungan yang masih belum dieksplorasi yang berada di Indonesia Timur.
Dalam rencana jangka panjang pemerintah, produksi gas bumi ditargetkan dapat mencapai 12 miliar standar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030. Jumlah tersebut akan meningkatkan pasokan gas di dalam negeri dengan jumlah yang sangat besar.
Untuk itu, SKK Migas terus berupaya membuka kerja sama dengan pembeli gas untuk bisa mengamankan cadangan-cadangan gas yang ada sesuai dengan kontrak yang telah ditetapkan.
"Kalau tetap growth-nya seperti ini, menjadi tantangan yang besar buat kita ke mana gas yang 12 bscfd itu nanti akan kita produksikan, akan kita jualkan. Kalau tidak ada terobosan-terobosan baru untuk memasarkan jumlah besar ini, merupakan sebuah tantangan untuk investasi," jelasnya.
Terkait dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal menetapkan penghitungan keuntungan yang lebih menarik kepada badan usaha yang akan berinvestasi pada infrastruktur gas bumi.
Koordinator Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Muhammad Abduh untuk mendorong badan usaha membangun pipa dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), sehingga aturan main yang lebih menarik pun akan diberikan.
"Kemungkinan di dalam KPBU bisa dilebihkan, kalau hal yang pionir ada kebijakan menteri yang akan diputuskan, jadi nanti kita berikan dalam bentuk keuntungan yang lebih besar," katanya dalam webinar, Rabu (22/9/2021).
Group Head Engineering & Technology PGN, Suseno mengatakan dalam mengembangkan pasar yang ada maka secara bisnis harus dinilai dari skala keekonomiannya. Dengan demikian, sejauh nilai keekonomian yang diberikan sesuai maka hal tersebut akan menjadi potensi bisnis yang dapat diambil.
"Kita lakukan inovasi tujuannya satu, supply dan pasar ketemu dalam rangka keekonomian, kalau tidak ekonomis tidak jadi jalan," jelasnya.
Sementara itu, untuk menarik minat badan usaha untuk mengembangkan jaringan gas rumah tangga, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi terus memperbaiki harga jual gas ke konsumen.
Kepala BPH Migas Erika Retnowati untuk menarik minat investasi badan usaha dalam pengembangan infrastruktur jaringan gas (jargas) rumah tangga, BPH Migas memperbarui aturan terkait dengan penetapan harga gas bumi untuk pelanggan RT 2.
"Untuk rumah tangga tipe 2 sesuai regulasi lama itu kita batasi harganya yang sebelumnya hanya boleh dua kali dari harga tipe satu, tapi dengan regulasi baru kami memberikan fleksibilitas kepada badan usaha untuk mengusulkan kepada kami berapa sebetulnya harga keekonomian dari harga jual gas itu," jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, infrastruktur gas bumi yang telah terbangun pada saat ini dinilai masih sangat minim.
Kondisi tersebut membuat akses penyerapan gas bumi yang sebagian besar bersumber di timur Indonesia tidak dapat dinikmati oleh pasar. Mamit mengatakan pemanfaatan gas bumi bergantung pada infrastruktur yang ada di midstream agar bisa memasoknya sampai ke pelanggan.
Dia menuturkan bahwa infrastruktur gas bumi di Indonesia sampai dengan 2020 yang telah terbangun baru mencapai 14.855,5 kilometer (KM) yang terdiri atas 5.254,42 km pipa transmisi, 6.163,08 km pipa distribusi, dan 3.438 km pipa jargas.
"Jika dibandingkan luas wilayah Indonesia infrastruktur yang terbangun kecil sekali, ini menjadi tantangan bagaimana rakyat bisa mendapatkan kemudahan atau akses sehingga bisa dinikmati masyarakat mengingat dengan potensi yang dimiliki gas masih akan tersedia sampai dengan 20 tahun lagi," katanya.
Dia menambahkan bahwa pasokan gas bumi yang sebagian besar bersumber dari Indonesia Timur, maka diperlukan infrastruktur penunjang yang dibangun untuk bisa memasok kebutuhan pasar yang mayoritas berada di Indonesia Barat.
"Perlu industri penunjang lain seperti LNG Plant, hub LNG, small scale receveing terminal," ungkapnya.
Namun demikian, Kepala Divisi Monetisasi Migas Agus Budiyanto mengatakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan potensi dari industri.
Hanya saja, hal tersebut menjadi tantangan lain karena lokasi industri yang sebagian besar di pulau Jawa.
Dengan minimnya pasokan gas di Pulau Jawa, infrastruktur gas bumi menjadi salah satu hal vital yang dapat meningkatkan pemanfaatan gas bumi. Sejauh ini, infrastruktur yang ada belum dapat mendukung hal tersebut.
"Pipa ini menjadi kendala karena belum semua pipa menjadi terintegrasi, pipa yang sekarang ada baru dari Sumatra sampai ke Jawa, namun itu pun juga masih belum bisa terbuka atau pun open access sehingga itu menyulitkan membawa gas dari Sumatra ke Jawa yang seharusnya bisa menjadi open access," ungkapnya.