Mencari Jalan Tengah Kebijakan Cukai Rokok

Industri hasil tembakau berperan strategis dalam perekonomian Indonesia, tetapi kerap terbentur aspek kesehatan dan ekonomi. Pemerintah harus menyeimbangkan benturan antara dua aspek tersebut.

Wibi Pangestu Pratama, Maria Elena & Markus Gabriel Noviarizal Fernandez

9 Sep 2021 - 22.35
A-
A+
Mencari Jalan Tengah Kebijakan Cukai Rokok

Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). pemerintah merencanakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau 10% pada 2022 setelah menaikkan tarif 12,5% tahun ini./Antara

Bisnis, JAKARTA – Pembahasan tarif cukai rokok yang alot dan banyak kepentingan membuat Presiden Joko Widodo turun tangan. Meskipun besarannya lebih moderat dibandingkan dua tahun ke belakang, kenaikan tarif di tengah pandemi itu tetap sarat polemik.

Keterlibatan Jokowi dalam pembahasan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dikemukakan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Kamis (9/9/2021). Menurutnya, pembahasan kebijakan CHT selalu sampai di meja Presiden. Dimensi yang luas dari kebijakan CHT membuat orang nomor satu di Indonesia itu turut menentukan arah kebijakan itu.

"Presiden beberapa kali memimpin rapat. Setiap kali membahas kebijakan mengenai tembakau, termasuk cukai hasil tembakau, beberapa hal menjadi dasar dari pemikiran perumusan kebijakannya," kata Suahasil.

Menurut Suahasil, ada tiga hal yang dipertimbangkan Jokowi sebelum menetapkan tarif CHT.

Pertama, industri dan tenaga kerja. Industri cukai hasil tembakau perlu dikembangkan karena memberikan kontribusi bagi pendapatan negara dan daerah, juga membuka lapangan kerja yang luas.

Berkaitan dengan itu, pelaku industri meminta agar cukai tidak naik terlalu tinggi. Aspirasi itu menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.

Kedua, pengendalian konsumsi, yakni kebijakan cukai yang memengaruhi harga produk hasil tembakau juga akan berkaitan dengan tingkat konsumsi masyarakat. Pengendalian konsumsi ini setidaknya berkaitan dengan aspek ekonomi dan kesehatan masyarakat.

"Dalam jangka menengah dan panjang, ahli-ahli juga mengatakan konsumsi hasil tembakau memiliki dampak kesehatan dan memiliki dampak terhadap biaya-biaya kesehatan. Ini menjadi dimensi yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan," ujar Suahasil.

Ketiga, perkembangan produk hasil tembakau ilegal yang berpotensi bertambah saat cukai dinaikkan.

Sumber Bisnis sebelumnya menyebutkan pemerintah merencanakan kenaikan tarif CHT sekitar 10% tahun depan guna mengisi pundi-pundi penerimaan cukai yang ditargetkan Rp203,9 triliun dalam RAPBN 2022. CHT merupakan penopang utama penerimaan cukai dengan kontribusi lebih dari 95%.

Rencana tarif tahun depan lebih rendah ketimbang kenaikan tarif yang berlaku pada tahun ini dan tahun lalu, yakni 12,5% dan 23% setelah pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada 2019.

Kenaikan tarif 10% itu sama dengan penyesuaian pada 2018. Kenaikan sebesar 10% juga tak jauh menyimpang dari perhitungan angka alamiah yang menjadi acuan bagi pemerintah untuk menetapkan tarif baru.

Secara alamiah, kenaikan tarif CHT yang berlaku pada tahun depan berada di kisaran 8%-8,5%. Angka tersebut berasal dari asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 5%-5,5% ditambah inflasi 3%.

Sumber Bisnis juga menyebutkan salah satu alasan pemerintah menimbang tarif CHT yang lebih moderat adalah dampak pandemi Covid-19 yang besar terhadap perekonomian, termasuk industri hasil tembakau (IHT).

Di luar istana, respons para pemangku kepentingan riuh rendah terhadap rencana kenaikan tarif CHT.

Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Daerah Istimewa Yogyakarta Triyanto mengatakan saat ini perkebunan tembakau mulai memasuki masa panen. Sebagian petani tengah melakukan pemetikan dan perajangan.

Petani, tuturnya, tak memasukkan faktor kebijakan cukai saat musim tanam karena kala itu belum terdengar kabar rencana kenaikan tarif. Menurutnya, kenaikan tarif cukai sangat riskan bagi penyerapan panen di tengah hasil panen yang melimpah.

“Jika tarif cukai dinaikkan, pabrik akan cenderung mengurangi serapan,” katanya, Selasa (7/9/2021).

Penyerapan pabrik rokok yang rendah akan membebani petani meskipun telah mengurangi pekerja tambahan untuk meringankan beban saat pandemi. Tidak hanya membebani petani dan pekerja, buruh pelinting juga akan menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja karena pabrik rokok pasti menekan biaya.  

Perwakilan petani cengkeh asal Buleleng, Bali, Ketut Nara, berharap pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada 2022 karena akan menyebabkan penurunan serapan cengkeh.

“Selama pandemi 1,5 tahun ini, kami petani berusaha sekuat tenaga untuk bertahan,” ungkapnya.

Pekerja memasukkan daun tembakau hasil panen ke dalam gudang di Sidowangi Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (21/9/2020). Petani mengaku terpaksa menyimpan hasil panen di gudangnya karena harga tembakau turun dan kesulitan menjual hasil panen karena tidak ada permintaan dari pabrik./Antara

Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet Satya Bhakti Parikesit mengatakan industri hasil tembakau berperan strategis dalam perekonomian Indonesia, tetapi kerap terjadi benturan antara aspek kesehatan dan ekonomi.

“Di sinilah peran pemerintah untuk menyeimbangkan benturan antara dua aspek tersebut,” ujarnya.

Ekonom Indef Esther Sri Astuti mengatakan, dengan mempertimbangkan risiko tekanan ekonomi yang berlanjut pada 2022, kenaikan tarif CHT yang masuk akal adalah 5%.

Menurutnya, tarif 10%-12,5% adalah angka ideal jika ekonomi dalam kondisi normal. Namun, saat ini prospek ekonomi masih suram sehingga pemerintah perlu melakukan penyesuaian untuk menekan dampak ke industri.

Perusahaan rokok PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) menyiapkan beberapa opsi untuk menghadapi kenaikan tarif cukai rokok, yakni menaikkan harga produk atau mengeluarkan varian rokok baru.

Namun, tutur Direktur dan Sekretaris Perusahaan Gudang Garam Heru Budiman, keputusan menaikkan harga produk akan bergantung pada kompetitor. Dengan posisi perseroan bukan satu-satunya produsen rokok di Indonesia, maka opsi menaikkan harga produk menjadi terbatas.

Pekerja melinting rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), Megawon, Kudus, Jawa Tengah, Jumat (11/12/2020)./Antara 

ROADMAP CUKAI

Di sisi lain, PT HM Sampoerna Tbk. meminta pemerintah kembali menyusun peta jalan kebijakan cukai jangka panjang untuk menciptakan lingkungan bisnis yang terprediksi.

Presiden Direktur Sampoerna Mindaugas Trumpaitis mengatakan struktur tarif cukai saat ini telah memperlebar perbedaan tarif cukai rokok golongan I dan di bawah golongan I sehingga menyebabkan persaingan yang tidak adil dan mendorong pertumbuhan produk murah hasil produksi pabrikan di bawah golongan I.

“Dengan mengurangi selisih tarif cukai antara golongan I dan di bawah golongan I, serta menggabungkan ambang batasan produksi SKM [sigaret kretek mesin] dan SPM [sigaret putih mesin], pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan sekaligus menghentikan perpindahan konsumsi rokok ke di bawah golongan I,” ujar Trumpaitis.

Pengamat pun menilai struktur tarif CHT saat ini belum menunjang optimalisasi penerimaan cukai negara, selain itu juga bertolak belakang dari fungsi cukai itu sendiri sebagai pengendali konsumsi.

Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Denny Vissaro, mengatakan struktur cukai saat ini dapat disederhanakan agar kebijakan kenaikan cukai lebih efektif.  Menurutnya, eksploitasi golongan dengan tarif rendah menjadi salah satu penyebab ketidakoptimalan penerimaan cukai.

Denny menerangkan tarif yang lebih rendah tidak lagi dimanfaatkan oleh pabrikan kecil dan menengah saja, tetapi juga pabrikan besar. Hal ini justru bertentangan dengan tujuan awal pemisahan golongan dalam cukai karena saat ini yang terjadi adalah pabrikan besar dan pabrikan kecil berada pada golongan cukai yang sama.

“Kompleksitas tarif ini malah menciptakan loophole dan pabrikan bisa mengeksploitasi peraturan untuk mendapat tarif lebih rendah,” jelasnya, Selasa (7/9/2021).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menjelaskan struktur cukai saat ini membuat pabrikan rokok bisa memanipulasi produksinya agar tetap membayar cukai murah.

Padahal, di tengah situasi ekonomi saat ini, pemerintah membutuhkan anggaran yang besar untuk pemulihan ekonomi nasional. Dia pun menyayangkan pembatalan roadmap penyederhanaan cukai yang sebelumnya pernah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No 146/2017.

“Kenapa sesuatu yang baik ini tidak terjadi dan tidak pernah dipertanyakan pembatalannya? Seharusnya dari struktur strata yang 10 itu menjadi 5 strata pada 2021. Ini sangat logis. Saat ini, untuk satu pabrik, golongan cukainya dipisahkan berdasarkan jenis rokok. Ini sangat tidak make sense,” katanya.

Sementara dari segi pelanggaran, penyederhanaan struktur cukai dinilai menjadi opsi yang efektif untuk mengurangi rokok ilegal. Ekonom Universitas Gadjah Mada Kun Haribowo mengatakan, berdasarkan analisisnya, terlihat bahwa tarif cukai dan layer cukai merupakan dua variabel terpenting yang memengaruhi rokok ilegal dan penerimaan negara.

Merujuk pada hasil penelitian berjudul Optimization of Excise Revenue in Indonesia, lanjut Kun, sudah terbukti bahwa jumlah penyimpangan yang terjadi pada tarif yang kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpangan yang terjadi pada tarif sederhana. (Dwi Nicken Tari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.