Mencari Jalan Tengah Pengembangan PLTS Atap

Nilai transaksi ekspor listrik dari PLTS atap ke jaringan PLN akan ditingkatkan dari sebelumnya hanya 65% menjadi 100% atau 1:1. Namun, hal tersebut masih menjadi perdebatan karena dianggap mengakomodir kepentingan tertentu.

Denis Riantiza Meilanova & Muhammad Ridwan

29 Agt 2021 - 16.21
A-
A+
Mencari Jalan Tengah Pengembangan PLTS Atap

Petugas sedang melakukan pengecekan di sebuah pembangkit listrik tenaga surya./Istimewa-PLN

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah terus mendorong pengembangan dan pemanfaatan tenaga surya sebagai sumber energi listrik untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan di Tanah Air.

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri paling besar masih bersumber dari tenaga surya dengan total potensi 208 gigawatt (GW).

Kemudian, disusul potensi EBT lainnya seperti hidro dengan potensi 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergi dengan potensi 32,6 GW, dan panas bumi 23,9 GW, serta energi laut dengan potensi 17,9 GW.

Mengacu pada sumber potensi yang dimiliki Indonesia tersebut, tidak heran apabila pemerintah menggantungkan harapannya melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga surya untuk mencapai target bauran energi dan juga penurunan emisi karbon.

Salah satu upaya pengembangan tenaga surya yang paling gencar dilakukan akhir-akhir ini adalah dengan mendorong pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.

Pemerintah pun menyiapkan aturan pendukungnya berupa revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Salah satu poin penting dalam revisi Permen yang dikabarkan hanya tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo tersebut adalah nilai transaksi ekspor listrik dari PLTS atap ke jaringan PLN akan ditingkatkan dari sebelumnya hanya 65% menjadi 100% atau 1:1.

Namun, hal tersebut masih menjadi perdebatan karena dianggap mengakomodir kepentingan tertentu. Butuh jalan tengah dari pemerintah agar pengembangan PLTS atap tak terkendala oleh aturan jual beli listrik.

PLN menilai ketentuan nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap yang akan dinaikkan dari 65% menjadi 100% hanya akan menguntungkan kelompok tertentu saja.

Di sisi lain, aturan tersebut bakal memberatkan perusahaan listrik pelat merah itu karena pendapatan perseroan berpotensi berkurang. Selain itu, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik juga dikhawatirkan akan naik.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak pengembangan PLTS atap. Hanya saja berdasarkan data PLN, pengguna PLTS atap didominasi oleh golongan pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 3.500 VA—5.500 VA dan rumah tangga daya 6.600 VA ke atas.

"Penggunanya paling besar 6.600 VA ke atas dan 3.500—5.500 VA. Ini orang kaya semua, yang berduit. Intinya yang menikmati PLTS atap itu orang-orang yang punya kemampuan, tidak perlu disubsidi itu. Kenapa kita harus subsidi dia? Dia yang harus menyubsidi kita, ada 32 juta pelanggan yang masih disubsidi," ujar Bob dalam acara Bincang-bincang METI, Jumat (27/8/2021).

PLN mencatat pengguna PLTS atap telah mencapai 4.028 pelanggan sampai dengan Juli 2021. Jumlah ini telah meningkat 561,4% sejak Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) diterbitkan.

Dari jumlah tersebut, pengguna PLTS atap paling banyak adalah golongan pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 3.500 VA-5.500 VA sebanyak 1.458 pelanggan. Disusul oleh pelanggan nonsubsidi rumah tangga daya 2.200 VA sebanyak 919 pelanggan dan rumah tangga daya 6.600 VA ke atas sebanyak 820 pelanggan.

Selain itu, jika listrik dari PLTS atap dihargai sama dengan harga jual listrik PLN kepada pelanggan (kurang lebih Rp1.444,7 per kWh), biaya produksi pembangkit akan meningkat hingga Rp1,5 triliun per tahun untuk kapasitas 1 gigawatt peak (GWp) dan akan terus meningkat seiring dengan naiknya kapasitas PLTS atap.

Dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PLTS atap, selain menaikkan total biaya produksi atau pembelian energi listrik, juga akan meningkatkan BPP pembangkit sekitar Rp7 per kWh dan akan terus meningkat seiring dengan naiknya kapasitas PLTS atap.

Oleh karena itu, Bob menuturkan bahwa pihaknya mengusulkan agar ketentuan nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap tetap 65% (1:0.65).

Teknisi melakukan perawatan panel surya di Jakarta, Rabu (23/6/2021). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bakal meningkatkan nilai transaksi ekspor listrik dari pembangkit listrik tenaga surya atap ke PT PLN (Persero). Dalam rancangan revisi Peraturan Menteri ESDM mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, nilai transaksi akan lebih besar dari ketentuan yang berlaku saat ini yang sebesar 65 persen. Bisnis/Suselo Jati

Di sisi lain, Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengungkapkan bahwa kebijakan meningkatkan nilai ekspor impor PLTS atap sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan bauran EBT dan penurunan emisi gas rumah kaca.

"Pertimbangan kebijakan memutuskan nilai energi listrik yang diekspor oleh pelanggan PLTS atap menjadi 100% merupakan bentuk insentif negara kepada masyarakat yang memasang PLTS atap," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI.

Apalagi, imbuhnya, banyak industri yang sudah mengajukan dan melaksanakan pemasangan PLTS atap. "Ini harus kami respons karena terkait persyaratan green product yang ke depannya akan diterapkan di internasional," jelas Arifin.

Kementerian ESDM tengah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). 

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan bahwa urgensi adanya revisi aturan tersebut didasari atas sejumlah pertimbangan.

Salah satu pertimbangannya, yaitu penambahan jumlah kapasitas PLTS atap belum sesuai dengan target yang diharapkan, adanya pengaduan masyarakat terkait dengan waktu pelayanan PLTS atap yang tidak sesuai dengan Permen ESDM yang ada (perbedaan harga dan standar kWh meter ekspor-impor), serta meningkatkan keekonomian PLTS atap.

Chrisnawan tak menampik akselerasi pemanfaatan PLTS atap berpotensi mengurangi pendapatan PLN.

Berdasarkan kajian Kementerian ESDM untuk target 3,6 GW PLTS atap, ada potensi penurunan pendapatan PLN senilai Rp4,93 triliun per tahun karena adanya perubahan pemenuhan listrik pelanggan senilai Rp0,86 triliun per tahun akibat ekspor listrik PLTS atap ke sistem PLN.

Namun, apabila ekspor dari PLTS atap yang diterima PLN disalurkan ke konsumen terdekat, potensi kerugian menjadi sangat rendah. "Ini bisa memberi peluang kepada PLN untuk melakukan strategi bisnis terkait adanya potensi karena PLN tidak perlu investasi peralatan dan biaya nonfuel hampir tidak ada," katanya.

Direktur Tropical Renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik Universitas Indonesia Eko Adhi Setiawan mengatakan berkurangnya pendapatan PLN seiring dengan meningkatnya kapasitas PLTS atap merupakan konsekuensi logis karena permintaan listrik PLN akan berkurang. 

Di sisi lain, imbuhnya, PLN masih harus menanggung beban pembelian listrik dari pembangkit swasta (independent power producer/IPP) dengan skema take or pay.

"Ketika demand PLN berkurang, PLN tetap harus bayar sesuai kontrak IPP. Ini ruang yang bisa direnegosiasi kalau perlu. Wilayah ini jadi tanggung jawab Kementerian BUMN agar PLN tidak terus terbebani. Ini yang perlu dibahas," kata Eko.

Namun demikian, kondisi tersebut seharusnya tidak menimbulkan keraguan untuk menerapkan PLTS atap, mengingat kondisi serupa juga terjadi di negara lain dan telah mampu diatasi.

"Tenaga Nasional Berhad di Malaysia ketika awal-awal sangat menentang, tapi sekarang dia mau lahap semua bisnis solar PV karena menguntungkan. Artinya, siapa yang cepat ambil keputusan, berpikir lebih jernih, lalu melihat masa depan, mungkin dia akan lebih berjaya. Jadi kita tidak perlu ragu-ragu," katanya.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan pemanfaatan PLTS atap secara masif juga akan memberikan peluang kepada PLN yang tentunya diharapkan tidak membebani perseroan.

“Dari sisi bisnis ada potensi carbon trading, saya pikir itu menjadi peluang. Tidak semua menjadi suatu yang memberatkan secara korporasi,” katanya dalam paparan kepada media, Jumat (27/8/2021).

Menurut dia, dari perdagangan karbon PLN bisa berpeluang mendapatkan pemasukan senilai Rp0,14 triliun per tahun. Adapun pendapatan itu dengan asumsi kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 3,6 gigawatt pada 2025 dengan total emisi karbon yang dikonsumsi pelanggan sebesar 1,99 juta ton co2 ekuivalen.

Potensi pendapatan PLN dari pemanfaatan PLTS atap juga dapat dimaksimalkan dari penjualan renewable energy sertificate (REC) yang telah dimulai PLN. Dari situ, potensi pendapat yang akan diterima PLN adalah Rp0,019 triliun per tahunnya.

“Di satu sisi revenue berkurang tapi di sisi lain potensi pendapatan yang lain meningkat,” jelasnya.

Tidak hanya itu, juga PLN dapat menjadi salah satu kontraktor pembangunan PLTS atap bagi industri-industri yang tidak memiliki kompetensi dalam pemasangannya.

Rida menilai PLN dapat berperan sebagai penyedia jasa pemeliharaan dan pengoperasian PLTS atap baik secara langsung maupun melalui anak usahanya yang terafiliasi.

“Bisa jadi PLN dengan anak perusahaannya menyediakan jasa pemasangan PLTS atap atau mungkin selain pemasangan ada usaha memelihara dan mengoperasikan PLTS atap,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.