Mencermati Risiko Keterlambatan RI Ratifikasi RCEP

Setidaknya harus ada 6 negara Asean dan 3 negara non-Asean dalam kemitraan tersebut yang merampungkan ratifikasi sebelum RCEP mulai berlaku pada 1 Januari 2022.

Iim Fathimah Timorria

13 Des 2021 - 18.27
A-
A+
Mencermati Risiko Keterlambatan RI Ratifikasi RCEP

Penandatanganan RCEP oleh 15 negara, Minggu (15/11/2020)./dok. kemendag

Bisnis, JAKARTA — Kendati dipastikan mulai berlaku per 1 Januari 2022, Indonesia hingga saat ini tidak kunjung meratifikasi Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP. Indonesia, padahal, merupakan inisiator dari pakta regional tersebut.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan syarat berlakunya RCEP telah terpenuhi, seiring dengan rampungnya proses ratifikasi di 7 negara anggota Asean dan 5 negara non-Asean.

Setidaknya harus ada 6 negara Asean dan 3 negara non-Asean dalam kemitraan tersebut yang merampungkan ratifikasi sebelum RCEP mulai berlaku.

“RCEP dipastikan akan berlaku atau entry into force pada 1 Januari 2022 karena 12 negara peserta RCEP yakni 7 negara Asean dan 5 negara mitra non-Asean telah menyelesaikan proses ratifikasinya,” kata Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (13/12/2021).

Lutfi mengatakan Filipina dan Malaysia akan menyelesaikan proses ratifikasi sebelum 31 Desember 2021.

Jika Indonesia tidak meratifikasi RCEP dalam masa sidang DPR RI pada 2021, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara peserta yang belum merampungkan ratifikasi RCEP, terlepas dari posisinya sebagai inisiator perundingan.

“Kami mohon dengan hormat kepada Komisi VI DPR RI agar menyetujui pengesahan melalui undang-undang dengan sistem yang cepat sehingga dapat diimplementasikan pada awal tahun depan dan pertimbangan Indonesia merupakan negara inisiator dan ketua perundingan RCEP, serta agar dapat memanfaatkan persetujuan ini secepatnya,” ujar Lutfi.

Proses pengesahan RCEP menjadi undang-undang sangat penting agar pemerintah dapat melanjutkan penerbitan aturan turunan dalam bentuk peraturan presiden sekaligus naskah penjelasan RCEP sebagai syarat penyelesaian ratifikasi.

Perundingan kerja sama komprehensif ini telah dimulai sejak 8 tahun lalu dan melalui 31 putaran.

Lutfi mengatakan proses penyelesaian RCEP bukanlah perkara mudah karena adanya perbedaan level pembangunan setiap negara peserta dan luasnya cakupan perjanjian. RCEP sendiri merupakan kerja sama paling modern yang disusun.

Sekadar catatan, implementasi RCEP diperkirakan bakal mengerek investasi sebesar 0,13 persen atau setara Rp24,5 triliun pada 2040. Jika Indonesia tidak bergabung dalam RCEP, investasi Indonesia bisa turun 0,03 persen atau setara Rp5,23 triliun.

RCEP juga diharapkan dapat membuka akses masuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia dalam rantai pasok kawasan. Di sisi lain, RCEP bisa mendukung pengembangan ekonomi digital melalui perdagangan dagang-el.

"Persetujuan RCEP dapat mendorong pemulihan ekonomi dan penguatan daya saing ekonomi nasional. Pemerintah saat ini juga terus mendorong deregulasi penyederhanaan perizinan sebagai mitigasi dari implementasi RCEP," ujarnya.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menggunakan masker saat akan menyampaikan paparan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kepala BKPM dan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/2/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

DOMINASI CHINA

Pada kesempatan yang sama, Komisi VI DPR RI mempertanyakan soal risiko dominasi China dan defisit perdagangan yang membesar, seiring dengan rencana pemerintah untuk segera meratifikasi RCEP.

Anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Elly Rachmat Yasin mencatat Indonesia telah mengalami defisit sebesar US$844,5 juta dengan China pada Juli 2021 karena nilai ekspor yang lebih rendah daripada impor.

Dia juga mengatakan alasan utama India menarik diri dari penandatanganan RCEP adalah risiko defisit dagang yang meningkat.

“Mengapa Indonesia seolah menjadi pelopor dalam RCEP ini meski nilai perdagangan dengan China terus mengalami defisit? Sementara dengan Amerika Serikat, Malaysia, dan Filipina surplus kita tidak fokus ke sana?” kata Elly.

Menanggapi hal itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membantah bahwa RCEP merupakan perjanjian yang mengakomodasi dominasi China.

Dia memastikan RCEP justru hadir sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan perdagangan global dengan menempatkan Asean sebagai pusat konektivitas kawasan.

“RCEP itu merupakan inisiasi Indonesia dalam menyeimbangkan global trading power. Jadi ini bukan China dominasinya. Kalau ada yang bilang RCEP didominasi China itu salah besar karena ini menggunakan sentralitas Asean untuk menyeimbangkan Amerika Serikat yang saat itu menginisiasi Trans Pacific Partnership,” kata Lutfi.

Lutfi mengatakan inisiasi RCEP mulanya muncul untuk melengkapi kesepakatan dagang yang telah dijalin Indonesia dan negara-negara Asean dengan para mitra non-Asean lainnya seperti Australia, Selandia Baru, Jepang, China, Korea Selatan, dan India.

Liberalisasi perdagangan dengan tarif 0 persen pada lebih dari 90 persen pos tarif juga bukan komitmen baru dan telah terjalin lewat kesepakatan perdagangan bebas yang telah ada.

“Kalau tadi disampaikan 90 persen pembebasan tarif adalah hal baru, bukan. Ini sudah ada. Namun, dengan perjanjian ini kita connect perjanjian yang sudah ada, misal China dengan India, Jepang dengan China akan terhubung dengan RCEP,” paparnya.

Dia juga menjelaskan bahwa neraca perdagangan Indonesia dan China terus mengalami perbaikan, terutama dalam dua tahun terakhir.

Lutfi mengatakan neraca perdagangan Indonesia dengan China per Oktober 2021 menyentuh US$1,5 miliar, nilai ini jauh turun daripada periode yang sama pada 2020 yang mencapai US$6,5 miliar.

Lutfi mengatakan defisit dengan China menyentuh level terendah sejak Asean-China FTA mulai berlaku pada 2004. Perbaikan struktur ekspor Indonesia menuju barang industri berteknologi tinggi disebutnya menjadi faktor berkurangnya drastis.

Neraca perdagangan Indonesia dengan mitra utama di Asean juga memperlihatkan tren surplus. Jika diakumulasi, neraca perdagangan Indonesia dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina masih menikmati surplus mencapai US$5 miliar per Oktober 2021.

“Kalau dihitung dengan 5 negara Asean kita surplus hampir US$5 miliar. Jadi Bapak dan Ibu, kita tidak perlu takut dengan negara Asean,” katanya.

TERTINGGAL

Di sisi lain, Indonesia berisiko tertinggal dari negara Asean lain dalam menangkap peluang ekspor dan investasi jika proses ratifikasi RCEP tak kunjung dirampungkan.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan Indonesia tidak bisa menerima manfaat RCEP dari negara peserta lainnya jika tidak segera meratifikasinya.

“Bila kita tidak segera ratifikasi per 1 Januari 2022, kita akan tertinggal dengan negara Asean lain dalam memanfaatkan ekspor dan investasi,” kata Shinta.

Shinta mengatakan keterlambatan ratifikasi bakal menimbulkan konsekuensi yang serupa ketika Indonesia terlambat meratifikasi Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas Asean-Australia-Selandia Baru atau Asean-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).

Keterlambatan tersebut membuat Indonesia kehilangan momentum merebut pangsa ekspor.

“Pangsa pasar di negara mitra yang harusnya bisa kita manfaatkan untuk ekspor malah direbut oleh kompetitor di kawasan sehingga jauh lebih sulit bagi kita untuk menggenjot dan mengambil alih pangsa pasar ekspor di negara tujuan,” lanjutnya.

Shinta memperkirakan dampak keterlambatan ratifikasi RCEP bisa lebih buruk karena kesepakatan dagang ini bakal menjadi penentu pembentukan rantai nilai kawasan, terutama antara Asean dan negara-negara Asia Timur.

Negara Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea Selatan merupakan mitra dagang dan investasi terbesar Indonesia.

Sementara itu,  pelaku industri alas kaki nasional meyakini  RCEP bakal membuka peluang untuk memperbesar pangsa ekspor. Negara-negara peserta RCEP tercatat sebagai salah satu pasar terbesar ekspor alas kaki.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie menjelaskan ekspor sepatu ke negara-negara RCEP mencapai 29 persen dari total ekspor pada 2020 yang mencapai US$4,80 miliar atau sekitar US$1,39 miliar.

Nilai ekspor ini menempatkan negara peserta RCEP sebagai destinasi ekspor alas kaki terbesar kedua setelah Uni Eropa.

“Uni Eropa tanpa Britania Raya menjadi tujuan ekspor 30 persen ekspor. Ternyata negara RCEP cukup besar mencapai 29 persen pada 2020 dan disusul Amerika Serikat 27 sekitar persen,” kata Firman.

Dia menyebut negara-negara RCEP menjadi pasar yang penting, terutama China yang memperlihatkan kenaikan impor cukup besar dalam kurun 2019 dan 2020.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan ekspor alas kaki ke China dan Hong Kong naik dari US$563,11 juta pada 2019 menjadi US$765,26 juta pada 2020.

“Jadi untuk industri alas kaki ratifikasi RCEP menjadi cukup urgent. Pasar yang tumbuh paling pesat adalah China dan pada 2020 mencapai 24 persen dan dari kontribusi ekspor ini kami cukup optimistis dalam peran RCEP untuk mendorong ekspor,” lanjutnya.

Firman juga tidak terlalu mengkhawatirkan persaingan dengan negara produsen lain seperti Vietnam dan China.

Dari sisi segmen pasar, produk alas kaki Indonesia memiliki segmen pasar sepatu olahraga bermerek, sementara China mendominasi ekspor alas kaki murah yang juga masuk ke berbagai negara.

Terlepas dari peluang peningkatan ekspor RCEP ke depan, Firman mengatakan industri alas kaki menghadapi tantangan dalam menjaga daya saing untuk pasar dalam negeri.

Komitmen perdagangan bebas yang tertuang dalam RCEP secara langsung bakal memungkinkan masuknya produk-produk murah dari luar negeri.

Upaya menjaga daya saing ini, lanjutnya, juga belum diikuti dengan kesiapan industri hulu dalam negeri dalam memasok bahan baku.

Firman mengatakan sebagian besar bahan baku masih didatangkan dari luar negeri karena industri tekstil dalam belum secara penuh memenuhi kebutuhan.

“Dari segi nilai kita sebenarnya masih surplus, tetapi di sisi lain ketika produk murah luar negeri masuk maka akan berhadapan dengan produk lokal. Tentunya dalam konteks meningkatkan ekspor, kita juga harus menjaga pasar dalam negeri dan salah satu cara dengan menjaga daya saing,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.