Meneropong Dampak Kenaikan Tarif Royalti Progresif Batu Bara

Langkah Kementerian ESDM menaikkan tarif royalti bakal menciptakan keadilan di industri pertambangan batu bara, meskipun dampak kenaikan tarif royalti progresif batu bara itu juga akan menambah beban pengusaha.

Ibeth Nurbaiti

11 Agt 2022 - 17.00
A-
A+
Meneropong Dampak Kenaikan Tarif Royalti Progresif Batu Bara

Aktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Kementerian ESDM menyiapkan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi atau Lemigas sebagai badan layanan umum (BLU) atau entitas khusus batu bara. JIBI/Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Keinginan pemerintah untuk mengenakan kebijakan baru terkait dengan penerimaan negara dan royalti ekspor batu bara diyakini mampu menciptakan keadilan usaha di industri pertambangan dalam negeri, meskipun dampak kenaikan tarif royalti progresif batu bara itu juga akan menambah beban pengusaha. 

Dari sisi pemerintah, penerimaan negara dari ekspor batu bara perlu dimaksimalkan terlebih ketika harga emas hitam itu sedang tinggi-tingginya. Salah satunya, dengan menaikkan tarif royalti yang berlaku progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan atau IUP.

Baca juga: Babak Baru Royalti Batu Bara dan Akhir Rezim Kontrak Tambang

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor mineral dan batu bara hingga 1 Agustus mencapai Rp87,72 triliun, telah melampaui target 2022 sebesar Rp42,36 triliun atau 207 persen.

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum Singgih Widagdo menyebutkan bahwa langkah Kementerian ESDM menaikkan tarif royalti itu bakal menciptakan keadilan di industri pertambangan batu bara.

Baca juga: Ancaman Krisis Batu Bara PLN, Ekspor 71 Perusahaan Terancam

Selama ini, tarif royalti yang berlaku bagi pengusaha tambang terbuka relatif kecil dibandingkan dengan pelaku lainnya seperti pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Merujuk pada aturan saat ini, tarif royalti untuk IUP dikenakan sebesar 3 persen untuk tingkat kalori kurang dari 4.700 Kkal per kilogram, kemudian 5 persen untuk tingkat kalori rentang 4.700 Kkal—5.700 Kkal per kilogram, dan 7 persen dikenakan untuk tingkat kalori lebih dari 5.700 Kkal per kilogram.


Padahal, kata Singgih, sebagian besar pasar batu bara saat ini masuk pada perdagangan dengan tingkatan kalori di antara 4.200 Kkal per kilogram sampai dengan 5.500 Kkal per kilogram. Artinya, perdagangan batu bara saat ini lebih menguntungkan IUP dengan tarif royalti pada tingkatan kalori yang lebih kecil.

“Jadi dapat dikatakan menjadi tidak fair jika IUP dengan royalti tersebut dan PKP2B dengan royalti 13,5 persen harus berkompetisi pada pasar yang sama, baik di dalam negeri maupun ekspor,” kata Singgih saat dihubungi, Rabu (10/8/2022).

Kenaikan tarif royalti pada IUP, imbuhnya, mesti dilakukan pemerintah di tengah momentum harga batu bara yang masih menguat hingga perdagangan tengah tahun ini. Dia memastikan perusahaan masih dapat menyambung operasi mereka kendati terdapat kenaikan pungutan berjenjang ke depannya, mengingat harga yang akan diperoleh masih cukup tinggi dibandingkan dengan biaya penambangan, meskipun dengan royalti revisi.

Baca juga: Dampak Kenaikan Harga Batu Bara, Pasokan Pembangkit PLN Mandek

Senada, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto seperti dikutip dari Antara, menyebutkan bahwa penegakan dalam penerapan royalti yang bersifat progresif akan lebih realistis dibandingkan dengan hanya berupa pengenaan pajak ekspor batu bara.

Dia bahkan mengusulkan agar jenjang royalti progresif ekspor batu bara ditambah 2 layer lagi sehingga jadi 6 layer. Penambahan itu, untuk Harga Batubara Acuan (HBA) di atas US$200 per ton dikenakan royalti 33 persen dan untuk HBA di atas US$300 per ton dikenakan royalti 38 persen.

Menurut dia, Peraturan Pemerintah (PP) No. 15/2022 tentang penerimaan negara dari royalti ekspor batu bara yang terbit pada April 2022 tidak mengantisipasi lonjakan HBA seperti saat ini. Padahal, sejak awal 2022 HBA terus naik dari US$158 per ton pada Januari menjadi sebesar US$319 per ton untuk Juli 2022.


Yang jelas, saat ini Kementerian ESDM telah merampungkan rancangan peraturan pemerintah atau RPP terkait dengan penerapan tarif royalti progresif bagi perusahaan pemegang IUP batu bara.

Pengesahan RPP hasil dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 tahun 2019 itu tinggal menunggu paraf dari otoritas fiskal. Rencananya, RPP itu dapat disahkan pada tahun ini. “RPP sudah disepakati. Tinggal sedikit, paraf keliling lah,” kata Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno, Rabu (10/8/2022).

Dalam RPP yang sudah dirampungkan ESDM itu, tarif royalti untuk pemegang IUP bakal berlaku progresif mengikuti fluktuasi HBA. Tarif royalti untuk pemegang IUP batu bara ditetapkan dengan rentang antara 4 persen—13,5 persen dari harga jual per ton, tergantung dari tingkatan kalori batu bara yang dihasilkan.

Adapun, tingkatan kalori yang menjadi tolok ukur pengenaan tarif royalti progresif itu juga diturunkan pada kisaran kurang dari 4.200 Kkal per kilogram (gross air received), 4.200 Kkal per kilogram sampai 5.200 Kkal per kilogram, dan lebih dari 5.200 Kkal per kilogram.


“Royalti yang progresif itu sudah kami usulkan untuk direvisi dalam PP 81. Jadi nanti mengikuti perkembangan harga,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (9/8/2022).

Arifin mengatakan kebijakan itu bakal diselesaikan pada tahun ini, berbarengan dengan komitmen pemerintah untuk segera merampungkan Badan Layanan Umum (BLU) Batu Bara. Harapannya, dua skema pungutan yang mengacu pada fluktuasi harga di pasar dunia itu dapat ikut mengoptimalkan kebijakan kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batu bara untuk industri domestik.

Di sisi lain, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai kenaikan tarif royalti yang berlaku progresif itu bakal memberatkan sejumlah perusahaan di masa mendatang. Alasannya, tarif anyar itu bakal berlaku dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan momentum kenaikan harga saat ini masih dinamis mengikuti mekanisme pasar.

Itu sebabnya, dia meminta Kementerian ESDM untuk lebih teliti menetapkan keputusan akhir menaikan tarif royalti progresif perusahaan pemegang IUP di angka 4 persen hingga 13,5 persen.

“Ini kan harga ga bertahan lama, bisa saja akan tertekan. Kalau harga mulai tertekan, ini kan tarif yang diterapkan tinggi, itu akan sangat terasa nantinya,” kata Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia saat dihubungi, Rabu (10/8/2022).

Baca juga: Rencana Buram BLU Batu Bara, PLN Terancam Merana

Di sisi lain, dia menggarisbawahi, biaya pokok produksi (BPP) pertambangan batu bara bakal terus mengalami kenaikkan setiap tahunnya. Tren itu ditopang oleh inflasi dan kondisi makro perekonomian yang ikut menekan margin dari usaha pertambangan emas hitam tersebut di masa mendatang.

“BBM naik terus, ini harus jadi bahan pertimbangan, inflasi segala biaya produksi meningkat, ini harus jadi pertimbangan. Kebetulan saja harga lagi bagus saat ini sehingga bisa ter-offset,” ujarnya.

Baca juga: Larangan Impor Batu Bara Rusia dan Risiko Harga yang Meroket

Sementara itu, sejumlah perusahaan bakal menghadapi dilema tersendiri untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan tarif royalti progresif tersebut, mengingat karakteristik perusahaan pemegang IUP relatif beragam dari sisi skala usaha dan cadangan batu bara yang dimiliki.

“Ada perusahaan yang skala besar, menengah, ada yang produksinya 30 juta setahun. Ada yang hanya 300.000 per tahun, cadangannya mungkin lebih dari 30 tahun ada yang hanya 3 tahun,” tuturnya.


Kendati demikian, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai arus kas perusahaan tambang batu bara relatif masih kuat di tengah upaya pemerintah untuk mengoptimalkan dua skema pungutan menyusul harga komoditas yang masih tertahan tinggi hingga pertengahan tahun ini.

“Dari sisi bisnis masih menguntungkan, tidak dalam posisi yang terlalu memberatkan bagi pengusaha,” kata Mamit saat dihubungi, Rabu (10/8/2022).

Menurut dia, skema pungutan yang belakangan tengah dioptimalkan pemerintah lewat BLU batu bara dan kenaikan tarif royalti progresif bagi perusahaan pemegang IUP tidak bakal berdampak signifikan pada arus kas perusahaan.

Sudah sewajarnya pemerintah mendapatkan penerimaan yang proporsional di tengah reli kenaikan harga batu bara yang sudah berlangsung cukup lama itu. “Saya kira memang pemerintah harus bisa menikmati hasil yang cukup signifikan dari kenaikan harga batu bara saat ini,” kata dia. (Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.