Mengebut Persiapan Indonesia Menuju RCEP Awal 2022

Keikutsertaan Indonesia dalam RCEP bisa memberikan tambahan surplus perdagangan sebesar US$256 juta pada 2022 dan US$979,3 juta pada 2040. Tanpa RCEP, surplus pada 2022 diprediksi stabil dan pada 2040 hanya bertambah US$386,03 juta.

Iim Fathimah Timorria

5 Okt 2021 - 19.54
A-
A+
Mengebut Persiapan Indonesia Menuju RCEP Awal 2022

Penandatanganan RCEP oleh 15 negara, Minggu (15/11/2020)./dok. kemendag

Bisnis, JAKARTA — Indonesia mematangkan rencana aksi atau peta jalan untuk memastikan kesiapan seluruh pemangku kepentingan guna mengantisipasi implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP yang ditarget pada awal 2022.

Data yang dihimpun oleh Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa komitmen Indonesia dalam pembebasan tarif di RCEP memang lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah FTA yang telah dijalin Asean dengan sejumlah mitra (Asean+1 FTA).

Namun, dari segi manfaat, Indonesia bisa menangkap peluang pendalaman dan penguatan rantai nilai kawasan.

“Pemerintah telah menyusun action plan atau peta jalan. Banyak adjustment dan kami mengidentifikasi apa saja tantangan di setiap bab [RCEP] yang memerlukan penyesuaian kebijakan di dalam negeri,” kata Direktur Perundingan Asean Kemendag Dina Kurniasari, Selasa (5/10/2021).

Dina mengatakan banyak persiapan yang harus dieksekusi Indonesia, terutama jika melihat struktur partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global atau gloval value chain (GVC) di RCEP yang masih didominasi oleh produk industri berteknologi rendah.

Kajian yang dilakukan oleh BPPP Kemendag juga memperlihatkan bahwa Indonesia lebih banyak berpartisipasi sebagai pemasok bahan baku penolong dan yang bersifat labour-intensive.

“Kita memerlukan transformasi ekspor, harus disiapkan ekspor yang berdaya saing dan bernilai tambah. Dengan regional value chain yang makin dalam dan kuat, kita harus memastikan Indonesia jadi pihak yang menang,” kata dia.

Sejauh ini, Singapura, Thailand, dan China menjadi negara peserta RCEP yang telah menyelesaikan proses ratifikasi. Perjanjian ini akan mulai efektif ketika 6 negara Asean dan 3 negara non-Asean telah menyelesaikan ratifikasi.

Di sisi lain, Kementerian Perdagangan berharap DPR RI dapat segera meratifikasi RCEP. Dengan demikian, kerja sama dalam blok perdagangan terbesar kedua di dunia itu bisa segera diimplementasikan.

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan dukungan lembaga legislatif diperlukan untuk memuluskan proses implementasi. Negara-negara peserta RCEP telah menyatakan komitmen agar kesepakatan dapat mulai diterapkan pada 1 Januari 2022.

“RCEP merupakan kesepakatan yang signifikan posisinya. Perjanjian dagang ini memiliki pangsa yang sangat besar. Kalau bisa ini bisa diratifikasi dalam waktu dekat dengan Komisi VI DPR RI agar bisa segera dirasakan manfaatnya,” kata Jerry.

Dokumen ratifikasi RCEP telah disampaikan ke DPR RI pada 14 April 2021. Sejauh ini, Kementerian Perdagangan dan Komisi VI DPR RI telah melaksanakan satu kali rapat kerja membahas ratifikasi pada 25 Agustus 2021.

Jerry mengemukakan potensi kumulatif perdagangan dalam RCEP setara dengan 27,4% nilai perdagangan dunia.

Kerja sama in juga mewakili 30,2% produk domestik bruto (PDB) dunia dan 29,8% penanaman modal asing langsung atau foreign direct investment (FDI).

Sementara itu, dari sisi pangsa pasar, RCEP menjangkau 2,2 miliar orang atau 29,6% dari populasi global.

“Saya kira ini bukan angka yang sedikit. Sehingga harus segera diutilisasi dan dikapitalisasi,” kata Jerry.

Anggota Komisi VI DPR RI Tommy Kurniawan mengatakan badan legislatif mendukung penuh keinginan pemerintah agar RCEP segera diratifikasi. Perjanjian dagang seperti RCEP dinilai bisa menjadi langkah strategis untuk meningkatkan perekonomian di tengah tantangan Covid-19.

Tommy mengemukakan Komisi VI DPR RI akan segera berdiskusi dengan pemerintah agar ratifikasi bisa dilakukan maksimal akhir tahun ini. Dia berharap pemerintah terus melakukan sosialisasi sehingga RCEP bisa dimanfaatkan pelaku usaha.

“Kami dukung dan harap proses ratifikasi segera diselesaikan akhir 2021. Kami dukung sepanjang bisa mendatangkan manfaat bagi banyak orang,” kata dia.

Kajian yang dilakukan pemerintah menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam RCEP bisa memberikan tambahan surplus sebesar US$256 juta pada 2022 dan US$979,3 juta pada 2040. Tanpa RCEP, surplus pada 2022 diprediksi stabil dan pada 2040 hanya bertambah US$386,03 juta.

Selain itu, ekspor diprediksi bisa bertambah US$5,01 miliar pada 2040 jika Indonesia menerapkan RCEP. Jika tidak diterapkan, tambahan ekspor hanya sebesar US$228 juta pada 2040.

DAYA SAING

Dari sisi industri, Indonesia dinilai memerlukan persiapan lebih besar menghadapi implementasi RCEP, terutama untuk produk makanan dan minuman (mamin) yang masih menghadapi defisit perdagangan.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan Indonesia merupakan pasar terbesar kedua setelah China ketika RCEP diterapkan. Untuk itu, daya saing produk makanan dan minuman perlu ditingkatkan demi memastikan Indonesia tak berakhir hanya sebagai negara tujuan ekspor peserta RCEP.

“Jika berkaca pada Indonesia-Australia CEPA, ekspor makanan dan minuman ada kenaikan, tetapi impor naik lebih tinggi. Kelihatannya kita perlu persiapan lebih besar lagi dan bagaimana meningkatkan daya saing kita,” kata Adhi.

Adhi mengatakan kehadiran kemitraan komprehensif sejatinya bisa membawa keuntungan bagi daya saing industri makanan dan minuman.

Dia memberi contoh soal penerapan konsep economic power house antara Indonesia dan Australia. Lewat implementasi konsep ini, Indonesia bisa menerima pasokan bahan baku murah dan transfer teknologi sehingga produk yang dihasilkan bisa menjangkau pasar yang lebih luas.

“Kaitannya dengan RCEP, nanti akan lebih berat. Kita pasar kedua terbesar. Kita harus siap, perlu daya saing,” imbuhnya.

Adhi juga memperingatkan soal risiko penerapan regulasi perdagangan yang lebih ketat dari negara-negara peserta RCEP, seiring dengan implementasi perjanjian tersebut.

Mengingat negara-negara telah berkomitmen menghapus tarif perdagangan barang, Adhi mengatakan restriksi teknis bisa muncul sebagai ganti.

“Teorinya dengan RCEP bisa menguntungkan kalau secara ideal semua membuka diri 100 persen sesuai perjanjian. Namun ada kecenderungan memunculkan kebijakan-kebijakan baru yang bisa menghambat. Misal di China mulai tahun depan ada syarat-syarat baru agar produk bisa masuk.”

Di sisi lain, Indonesia dinilai sudah siap menghadapi implementasi RCEP. Meski terdapat sejumlah pekerjaan rumah terkait peningkatan daya saing, Indonesia tetap berpeluang memetik keuntungan optimal dari kerja sama perdagangan tersebut.

“Dalam konteks rantai nilai memang masih tertinggal, tetapi RCEP bisa jadi leverage  daya saing kita. Kita berpeluang mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan China karena industri mereka bertransformasi ke yang berteknologi tinggi,” kata Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi.

Fithra berpendapat Indonesia bisa mengisi rantai industri yang mulai ditinggalkan China, yakni manufaktur dengan adopsi teknologi menengah ke bawah. Namun, dalam jangka panjang, Indonesia bisa mendapat berkah spill over teknologi dan peningkatan kapasitas.

“Misal Taiwan dan Hong Kong yang dahulu second tier manufaktur Jepang, sekarang punya basis sendiri dan bisa lebih berkualitas,” imbuhnya.

Dia mengatakan industri di Tanah Air yang bisa mulai mengisi kekosongan yang ditinggalkan China di antaranya adalah industri tekstil dan produk tekstil, komponen elektronik, dan komponen otomotif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.