Menggerakkan Roda Ekonomi Kerakyatan lewat Co-Firing Biomassa

Perputaran uang pada lini pasok biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU diproyeksikan dapat mencapai kisaran Rp6,1 triliun—Rp8,2 triliun pada 2025 mendatang. Saat itu, kebutuhan biomassa untuk co-firing PLTU ditaksir mencapai 10,20 juta ton.

Ibeth Nurbaiti

31 Des 2023 - 17.17
A-
A+
Menggerakkan Roda Ekonomi Kerakyatan lewat Co-Firing Biomassa

Kebijakan memperbesar biomassa bukan hanya sesuai dengan tren transisi energi, melainkan turut menjadi jalan keluar masalah limbah di perkotaan selain mengoptimalkan nilai tambah kawasan perdesaan. Istimewa-pln.co.id

Bisnis, JAKARTA — Komitmen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk memperkuat rantai pasok biomassa sebagai pengganti batu bara (co-firing) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kian kuat, kendati sejumlah tantangan masih mengadang.

Terlebih, program co-firing tidak saja dapat menurunkan emisi karbon yang selama ini dihasilkan dari batu bara sebagai bahan bakar PLTU, implementasinya juga diproyeksikan bakal mendatangkan nilai ekonomi yang besar dari rantai pasok biomassa.

Berkaca dari hitungan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), perputaran uang pada lini pasok biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU diproyeksikan dapat mencapai kisaran Rp6,1 triliun—Rp8,2 triliun pada 2025 mendatang. Saat itu, kebutuhan biomassa untuk co-firing PLTU ditaksir mencapai 10,20 juta ton.

Proyeksi itu berasal dari asumsi harga keekonomian biomassa yang di rentang angka Rp600.000 per ton—Rp800.000 per ton. Harga pembentuk produk itu sudah memperhitungkan biaya pengolahan serpih kayu serta transportasi dengan radius mencapai 50 kilometer. 

Perputaran uang yang relatif besar tersebut tentu saja berpeluang diserap masyarakat dan koperasi pengepul limbah biomassa setiap tahunnya. Hitung-hitungan itu malah bakal bertumbuh seiring dengan komitmen PLN untuk mengoptimalkan rantai pasok dan pemanfaatan biomassa ke depannya.

Baca juga:

'Amunisi' Baru Transisi Energi dari Negeri Paman Sam untuk RI

Membangun Tulang Punggung Listrik EBT Sumatra—Jawa Lewat JETP

Jalan Terjal Transisi Energi PLN Memuluskan Pembangkit EBT

Bagi PLN sendiri, co-firing biomassa menjadi salah satu langkah strategis dan program utama perseroan dalam upaya mendukung pengentasan kemiskinan melalui sektor ketenagalistrikan, selain pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash (FABA) dan peralihan dari energi berbasis fosil ke energi listrik.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa lewat program co-firing, PLN mendorong terciptanya ekosistem kerakyatan karena masyarakat juga diajak terlibat aktif dalam penyediaan bahan baku biomassa untuk co-firing.


Sampai saat ini, program biomassa setidaknya telah diimplementasikan pada 43 PLTU milik perusahaan setrum pelat merah itu. Secara umum, penyerapan biomassa dalam program co-firing PLTU batu bara telah mencapai 0,9 juta ton hingga akhir November 2023 dari target 1,05 juta ton. 

Pada 2025, ditargetkan terdapat 52 PLTU di Tanah Air yang melaksanakan co-firing biomassa. Selain berkontribusi terhadap penurunan emisi sebesar 1,7 juta ton CO2, program ini juga turut mendorong perekonomian masyarakat sekitar lokasi pembangkit.

“Sebagai contoh, PLN bersama Pemerintah Provinsi DIY mengembangkan Green Economy Village (GEV) yang menerapkan konsep circular economy. Lewat skema ini, lahan yang tidak produktif disulap menjadi lahan produktif dengan ditanami jati, kaliandra serta indigofera sebagai bahan baku biomassa dan pakan ternak,” kata Darmawan dalam sesi talkshow Green Leadership Extraordinary Turnarounds, Rabu (20/12/2023).

Dampak lanjutannya, imbuhnya, program tersebut sukses meningkatkan perekonomian masyarakat hingga 44% dan manfaat ekonomi mencapai Rp1,3 miliar per tahun untuk setiap desa.

Adapun, co-firing biomassa adalah pencampuran batu bara dengan biomassa yang berasal dari berbagai bahan baku alami, seperti serbuk kayu; pelet kayu; cangkang sawit; pelet sampah; serbuk gergaji; dan sekam padi, sebagai bahan bakar PLTU.

Keterlibatan masyarakat dalam program co-firing biomassa akan membantu meningkatkan perekonomian dan memastikan keberlanjutannya pasokan biomassa. Itu sebabnya, PLN akan terus menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendukung pemerintah mencapai target nol emisi karbon (Net Zero Emission/NZE) pada 2060, sekaligus mengupayakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan melalui program co-firing biomassa tersebut.

Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai kebijakan memperbesar biomassa bukan hanya sesuai dengan tren transisi energi, melainkan turut menjadi jalan keluar masalah limbah di perkotaan selain mengoptimalkan nilai tambah kawasan perdesaan.

“Pemerintah daerah akan punya peran besar untuk memetakan potensi biomassa di wilayahnya. Karena biomassa itu pada prinsipnya berasal dari limbah dan sampah sehingga justru bisa sekaligus mengatasi masalah sosial,” ujarnya ketika dihubungi, Sabtu (30/12/2023).


Menurutnya, potensi biomassa di kawasan perkotaan perlu didorong untuk mengatasi masalah tumpukan sampah rumah tangga. Namun, kepala daerah di wilayah yang bertumpu pada sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan juga harus mempunyai kesadaran untuk membawa daerahnya sebagai rantai pasok biomassa.

Sejumlah limbah atau residu tanaman yang bisa menjadi biomassa, antara lain sekam, jerami padi, bonggol jagung, bagasse, pucuk daun tebu, limbah aren, limbah sagu, residu kelapa, tandan kosong pelepah sawit, dan lain-lain.

Senada, Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menekankan bahwa program co-firing biomassa berpotensi menjadi bisnis besar yang bisa melibatkan petani atau peternak di daerah. “Maka dari itu, pemerintah harus bantu membangun ekosistem rantai pasoknya sampai bisa diserap oleh PLTU batu bara terdekat, karena biomassa ini sumber energi bersih termurah yang teknologinya tidak perlu impor dari luar negeri,” kata Iwa.

TIDAK MUDAH

Hanya saja, keinginan PLN untuk mengintensifkan co-firing biomassa pada PLTU batu bara tidaklah mudah. Kendati dapat menurunkan emisi karbon serta bahan bakunya mudah didapatkan dan tidak perlu membangun pembangkit baru, ada isu deforestasi yang membayangi program co-firing tersebut.

Terlebih, peningkatan porsi co-firing pada pembangkit batu bara belakangan juga membuat pasar hulu limbah biomassa makin ketat. Relaksasi bahan baku untuk pembangkit yang dapat langsung memanfaatkan serbuk kayu (sawdust) makin mempersempit pasokan ke industri lanjutan pengolahan limbah menjadi pelet. 

Di satu sisi, pasar yang ketat itu bisa menjadi peluang positif untuk mengerek perekonomian masyarakat setempat dengan pengembangan industri limbah biomassa, tetapi di sisi lain co-firing biomassa dikhawatirkan menjadi sumber deforestasi baru.

Seperti yang pernah disampaikan dalam laporan Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi hutan belakangan makin intensif terjadi menyusul komitmen pemanfaatan lahan kering dan kritis di Indonesia yang mencapai 318.000 hektare untuk pemenuhan target peta jalan bahan baku biomassa pada 2025 mendatang.

Namun, PLN juga tidak berdiam diri. Untuk menepis isu lingkungan, terutama menyangkut deforestasi yang membayangi implementasi program co-firing pembangkit listrik, PLN telah bersinergi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PTPN Grup dan Perhutani dalam hal penyediaan bahan baku biomassa.

Ke depannya, PTPN dan Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa tersebut, sesuai dengan kesepakatan kerja sama yang ditandantangani pada Juli 2021. PTPN Group mengestimasikan dapat menyuplai 500.000 ton tandan kosong segar kepada PLN, dan akan meningkat hingga 750.000 ton tandan kosong segar per tahunnya pada 2024 sesuai dengan RJPP PTPN Group.

Sementara itu, Perhutani akan menyediakan woodchip dalam sawdust. Perhutani sendiri, diketahui memiliki sumber daya kawasan hutan seluas 2,4 juta hektare (Ha) di Pulau Jawa dan Madura dan 1,3 juta Ha di luar Pulau Jawa yang dikelola oleh anak perusahaan, yang dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman energi (HTE). Dari rencana 70.000 Ha, setidaknya Perhutani telah mengembangkan HTE seluas 27.000 Ha.

Sejalan dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menerbitkan beleid yang mengatur spesifik ihwal pengembangan co-firing sebagai bahan bakar PLTU.

Melalui Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang disahkan pada 27 November 2023, pemerintah mengatur harga pembelian tertinggi (HPT) dan juga harga kesepakatan dalam negosiasi PLN dengan pemasok biomassa nantinya.

Secara terperinci, target pelaksanaan co-firing akhir tahun ini dipatok di level 1,05 juta ton. Selanjutnya, pada 2024 dan 2025, target realisasinya diharapkan mencapai masing-masing 2,83 juta ton dan 10,20 juta ton. Target yang disusun hingga 2030 itu tidak terpengaruh oleh penyesuaian rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN nantinya.

Adapun, lewat studi rantai pasok limbah biomassa yang dilakukan PT PLN Energi Primer Indonesia, potensi limbah pertanian yang dapat dihimpun petani dan koperasi di sejumlah daerah justru relatif lebih besar jika dibandingkan dengan potensi pengalihan HTE. 

Jika bahan baku biomassa dari jerami dan sekam di Pulau Jawa dapat dihimpun sebanyak 30,6 juta ton setiap tahunnya, dari pengolahan limbah pertanian itu dapat menciptakan 23 jenis usaha baru di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penyerapan tenaga kerja, efisiensi biaya produksi serta pemberdayaan masyarakat lokal. (Aziz Rahardyan/Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rayful Mudassir

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.