Menggugat Cukai Rokok yang Terus Naik

Tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang naik 10% pada 2023 dan 2024 sudah berimbas menurunkan produksi rokok.

Redaksi

12 Nov 2023 - 20.38
A-
A+
Menggugat Cukai Rokok yang Terus Naik

Ilustrasi rokok./Istimewa

Bisnis, JAKARTA - Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) memperkirakan penurunan produksi industri hasil tembakau (IHT) imbas kenaikan tarif cukai tembakau 10% pada 2023 dan 2024. 

Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi menyampaikan perhitungan total produksi tahun 2023 yang diperkirakan sekitar Rp300 miliar atau turun sekitar 10% dari Rp330,1 miliar pada tahun 2022. 

"Penurunannya ini karena cukai naik, otomatis harga jual eceran rokok naik sementara konsumen daya belinya lemah," kata Benny kepada Bisnis, dikutip Minggu (12/11/2023). 

Menurut Benny, kenaikan harga jual rokok di pasaran membuat konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah. Hal ini yang membuat produk Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami pertumbuhan positif. 

Sementara itu, Singaret Putih Mesin (SPM) mengalami penurunan mendalam dari tahun ke tahun sehingga optimalisasi penjualan diarahkan ke pangsa ekspor untuk mempertahankan eksistensinya. 

"Penurunan yang paling besar adalah SPM, tetapi ada produk yang cukainya naik kecil yaitu SKP sehingga pertumbuhannya cukup lumayan," tuturnya. 

Di sisi lain, dia pun mengungkap fenomena rokok ilegal yang lebih murah karena tidak membayar cukai. Konsumen yang mencari produk rokok murah pun beralih ke rokok ilegal. 

Kehadiran rokok ilegal ini memangkas pangsa pasar rokok legal, sehingga produksi rokok legal pun mengalami penurunan signifikan. 

"Produksi rokok legal turun, tetapi konsumsi perokok belum tentu turun, karena mereka downgrading turun ke level yang lebih murah, bahkan ke level yang ilegal," jelasnya.

Lebih lanjut, Benny menggambarkan kontraksi kinerja IHT yang tercerminkan dari pembelian cukai. Dia mencatat pembelian cukai pada semester I/2023  sebesar Rp139,4 miliar atau turun 9% dari Rp153,1 miliar pada semester I/2022.  

"Sudah barang tentu kenaikan cukai 10% kami anggap ketinggian ditengah ekonomi dan daya beli masyarakat yg masih belum pulih," pungkasnya. 

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap kondisi keyakinan usaha industri hasil tembakau (IHT) mengalami kontraksi. Hal ini dipicu naiknya cukai rokok dan sentimen Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana UU No.17/2023 Kesehatan tentang IHT. 

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo mengatakan kenaikan tarif cukai 10% membuat produsen menaikkan harga setelah sekian lama menahan demi mempertahankan konsumen. 

"Sejak pertengahan tahun ini, industri secara perlahan mulai menaikkan harga rokok, hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap rokok, sehingga pesanan baru makin turun menjelang akhir tahun ini,"  kata Edy dalam rilis IKI Oktober 2023, Selasa (31/10/2023).  

Para pelaku usaha di industri hasil tembakau kini memilih untuk menaikkan harga jual rokok lantaran margin keuntungan yang semakin menipis. Harga yang melonjak memicu penurunan permintaan dan pesanan baru hingga akhir tahun ini.


Pengamat Kebijakan Publik Bambang Haryo Soekartono menilai kebijakan Pemerintah yang secara terus menerus menaikkan cukai rokok sejak 2019 berdampak negatif terhadap ekonomi. Menurutnya, dampak kenaikan cukai rokok bisa berpengaruh terhadap efek domino ekonomi di masyarakat dan bahkan bisa berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan dan generasi stunting di Indonesia.

"Harusnya Kemenkeu paham dengan dampak kenaikan cukai rokok ini yang mengakibatkan kenaikan harga rokok yang sangat tinggi dari 2019 ke 2023 rata - rata berkisar 50%--80% kenaikannya dan berdampak terhadap 70,5% total penduduk laki-laki di Indonesia atau sekitar 97 juta rakyat Indonesia, karena masyarakat perokok yang berjumlah 97 juta tersebut sudah menjadikan rokok sebagai kebutuhan pokok," urainya.

Bahkan, lanjutnya, Indonesia pernah menjadi negara kunjungan wisata asing terbesar di dunia pada zaman Kolonial Belanda, penyebab salah satunya adalah wisatawan menikmati produksi rokok Indonesia yang tidak ada di negara lain, sehingga para wisatawan bisa merasa rileks atau segar kembali saat berada di Indonesia.

BHS menilai Kemenkeu mesti paham jumlah penerimaan negara yang sudah dibebankan kepada perokok sudah sangat besar totalnya 73 persen dari harga rokok untuk pajak, yang terdiri 60 persen cukai rokok, 10 persen PPN dan 3 persen pajak daerah. 

Padahal penerimaan cukai rokok saja satu tahunnya sudah besar sekitar Rp200 triliun di 2022 dan itu naik dari Rp164 triliun pada 2019. Pemasukan negara ini belum termasuk PPN dan pajak daerah.

Lebih lanjut kata Anggota Bidang Pengembangan Usaha dan Inovasi DPN HKTI ini, buruh pabrik rokok di Indonesia yang jumlahnya sekitar 5,9 juta dan petani tembakau yang berjumlah sekitar 600.000 akan terpengaruh kehilangan pekerjaan dan ekonomi sekitar kehidupan mereka akan hancur total.

"Kita harus melindungi ekonomi Indonesia secara komprehensif, jangan hanya memikirkan sub sektor saja, pikirlah untuk keberhasilan dan kepentingan bangsa Indonesia secara luas," tambahnya.

Baca Juga : Bermain Good Cop dan Bad Cop Kelola Inflasi 

KLAIM KEMENKEU

Kementeriaan Keuangan mencatat penerimaan kepabeanan dan cukai per Agustus 2023 senilai Rp171,6 triliun atau mencakup 56,6 persen dari target. 

Realisasi tersebut turun 16,8 persen (year-on-year/yoy), utamanya akibat cukai dan bea keluar yang turun masing-masing 5,6 persen dan 80,3 persen

Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo mengatakan hal tersebut akibat penurunan produksi golongan I.  

Sementara tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk golongan I dan II memang naik cukup tinggi menjadi 10 persen pada tahun ini

Wahyu mengungkapkan bahwa hal tersebut menjadi indikator positif karena pada dasarnya memang bertujuan untuk mengandalikan konsumsi rokok.

“Kalau cukai [CHT] turun berarti kan bagus, karena tujuan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok. Kalau itu diimplementasikan dengan tarif baru dan cukainya turun berarti itu kebijakannya efektif,” katanya beberapa waktu lalu.

Baca Juga : Perlunya Inovasi Mengelola Kepailitan Korporasi 

Pemerintah membukukan penerimaan CHT sampai dengan Agustus 2023 sejumlah Rp126,8 triliun, turun 5,8 persen (yoy). Kondisi ini disebabkan oleh produksi kumulatif hingga Juni yang turun 5,7 persen (yoy). 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikanya bahwa dari sisi tarif rata-rata tertimbang hanya naik 1,9 persen dari seharusya 10 persen, yang disebabkan penurunan produksi SKM dan SPM gol 1(tarif tinggi

“Tarifnya juga hanya naik 1,9 persen karena sebagian besar rokok yang terjual adalah di kelompok gol 3 yang kenaikan tarifnya jauh di bawah 10 persen, hanya 5 persen,” katanya

Melihat dari sisi tren penerimaan CHT, penurunan mulai terjadi sejak Maret 2023 yang terkontraksi sebesar 0,7 persen. Penurunan penerimaan terus berlanjut dan mencapai yang terdalam pada Juni 2023 yang anjlok 12,7 persen

Sebagaimana diketahui, pemerintah memiliki target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Meski penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai terkontraksi, pemerintah masih mencatat kinerja positif dari perpajakan meskipun melambat di angka Rp1.246 triliun, tumbuh 6,4 persen (yoy).(Afiffah Rahmah Nurdifa, Annasa Rizki Kamalina)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.