Menghitung Peluang Kembali Terulangnya January Effect di 2022

Setelah absen selama 2 tahun terakhir, pelaku pasar mulai berharap January effect bakal terjadi pada tahun ini, Setidaknya, pada pekan pertama Januari 2022, tanda-tanda pergerakan positif IHSG sudah mulai terlihat.

Lorenzo Anugrah Mahardhika & Dwi Nicken Tari

10 Jan 2022 - 15.25
A-
A+
Menghitung Peluang Kembali Terulangnya January Effect di 2022

Karyawan melintas di depan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (3/5/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis, JAKARTA — Setelah absen selama 2020-2021, pelaku pasar mulai berharap akan adanya January effect pada awal tahun 2022 ini. Apalagi, prospek pemulihan ekonomi makin menjanjikan, sedangkan dampak penyebaran Covid-19 varian Omicron relatif tidak begitu besar.

January effect merupakan fenomena musiman di awal tahun ketika harga-harga saham bergerak naik. Berdasarkan laporan mingguan Infovesta yang dirilis Senin (10/1), tren musiman January effect tengah dicermati pelaku pasar memasuki bulan pertama 2022.

Fenomena tersebut membantu kenaikan harga saham seiring dengan optimisme awal tahun dengan banyaknya pembelian saham yang sudah dijual pada akhir tahun dan alokasi investasi bonus akhir tahun.

Meski demikian, January effect tidak terjadi tiap tahun. Selama 2 tahun terakhir, tercatat indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Januari justru terkoreksi masing-masing 1,95 persen pada 2021 dan 5,71 persen pada 2020.

Namun, sebelum itu January effect memang kerap terjadi. Pada Januari 2018, terlihat IHSG mengalami kenaikan 3,93 persen. Begitu pula pada Januari 2019 ketika IHSG naik lebih tinggi lagi, yakni 5,46 persen. Sejak 2012 hingga 2018, hanya pada 2017 yang tidak terjadi January effect ketika IHSG turun tipis 0,05 persen.

"Kenaikan kasus Covid-19 melalui varian Omicron yang tengah mengalami kenaikan baik di dunia maupun dalam negeri, menambah kekhawatiran terhadap potensi terjadinya tren musiman tersebut," demikian kutipan riset Infovesta Utama.

Meski demikian, ekonomi yang berangsur pulih, otoritas pembuat kebijakan yang prudent, dan varian Omicron tidak berdampak sebesar yang dikhawatirkan, memberikan harapan terhadap terjadinya January effect di 2022.

Selain IHSG, potensi January effect juga terbuka bagi indeks-indeks acuan lainnya seperti LQ45, IDX30, dan Bisnis-27. Hal tersebut tentu saja menguntungkan bagi investor karena dapat berinvestasi pada indeks-indeks tersebut dengan membeli reksa dana indeks maupun produk exchange traded fund (ETF).

Di tengah pergerakan sektor saham yang fluktuatif dan dapat berotasi secara cepat seperti yang terjadi pada tahun 2021 yang lalu, investasi pada reksa dana indeks maupun ETF yang langsung meniru kinerja indeks secara keseluruhan dapat menjadi alternatif menarik bagi investor.

Adapun, pada periode 30 Desember 2021 hingga 7 Januari 2022, indeks reksa dana saham (IRDSH) mencatatkan return terbesar dengan 0,50 persen seiring dengan penguatan IHSG sebesar 1,82 persen.

“Kenaikan IHSG ditopang oleh sektor teknologi yang naik 5,52 persen, sektor keuangan (4,11 persen) dan sektor energi (2,93 persen),” demikian kutipan riset tersebut.

Menyusul di belakangnya adalah indeks reksa dana campuran (IRDCP) dengan kenaikan 0,25 persen. Kinerja positif reksa dana campuran terjadi di tengah penurunan indeks acuan surat berharga negara (SBN) atau Indonesia Government Bond Index (IGBI) sebesar 0,21 persen.

Sementara itu, indeks acuan obligasi korporasi tercatat masih menguat 0,3 persen. Seiring dengan hal tersebut, indeks reksa dana pendapatan tetap (IRDPT) menjadi satu-satunya instrumen yang mencatatkan return negatif selama sepekan kemarin dengan koreksi 0,33 persen.

Indeks lainnya, yakni indeks reksa dana pasar uang (IRDPU) tercatat masih lebih kuat, kendati hanya mampu meningkat tipis yakni 0,06 persen dalam sepekan.

“Nada hawkish the Fed yang akan mempercepat kenaikan suku bunga selepas kuartal I-2022 di tengah kenaikan kasus varian Omicron demi menahan lonjakan inflasi, cukup menekan pasar surat utang dan mengangkat pasar saham,” demikian kutipan laporan tersebut.

Untuk melihat potensi terjadi January effect pada awal tahun ini, investor telah melewati dua sentimen pada akhir tahun yaitu window dressing dan santa claus rally. Namun, kedua sentimen tersebut ternyata belum mampu mendongkrak IHSG menembus level support kuatnya pada 6.700.

PUNYA PELUANG

Head of Equity Trading MNC Sekuritas Frankie Wijoyo Prasetyo mengatakan tren January effects memiliki peluang untuk mengangkat IHSG pada awal tahun ini.

"Jadi, alasan di balik ini bisa saja karena banyak investor yang di akhir tahun lalu melakukan pembenahan portofolionya dengan menjualnya terlebih dahulu, lalu kembali entry di awal tahun ini," kata Frankie kepada Bisnis, Senin (3/1).

Tidak hanya investor, lanjutnya, kondisi tersebut juga dilakukan oleh para manajer investasi. Tentu saja, para investor bakal membidik saham-saham yang berkinerja baik.  

Dalam hal ini, Frankie merekomendasikan untuk mempertimbankan saham-saham sektor perbankan, yang akan didorong oleh ekonomi yang diproyeksikan lebih baik seiring seiring kasus Covid-19 yang  mulai terkendali, sehingga sektor finansial turut pulih.

Adapun, saham-saham pilihan yang menarik untuk dicermati antara lain saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).  

Sektor lainnya, investor juga dapat mempertimbangkan sektor infrastruktur seperti PT Jasa Marga Tbk. (JSMR) lantaran PPKM tidak diberlakukan pada akhir tahun ini, sehingga masyarakat dapat melakukan perjalanan wisata, khususnya melalui jalan tol.

"Selain itu juga bisa mempertimbangkan sektor CPO, setelah rata-rata saham CPO terkoreksi akhir tahun," kata Frankie.

Untuk itu dia merekomendasikan saham sektor CPO seperti PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI), PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP),PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG).

Adapun, melihat sejarahnya, January effect dipopulerkan oleh Sidney B. Wachtel pada 1942. Dia mencermati bahwa saham-saham berkapitalisasi kecil cenderung naik tinggi di bulan Januari dibandingkan dengan saham berkapitalisasi besar.

Dengan demikian, January effect juga disebut menjadi periode yang menguntungkan saham-saham berkapitalisasi kecil karena kenaikannya bisa lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan big caps, walaupun tidak selalu terjadi demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.