Mengurai Persoalan Peti dan Mencari Jalan Tengah Tambang Ilegal

Pelaku pertambangan tanpa izin tidak hanya dilakukan secara perorangan, tetapi para kelompok usaha diduga ikut terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.

Rayful Mudassir

13 Okt 2021 - 23.05
A-
A+
Mengurai Persoalan Peti dan Mencari Jalan Tengah Tambang Ilegal

Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, Minggu (15/11). Kawasan Gunung Botak mengalami kerusakan lingkungan akibat penggunaan merkuri dan sianida oleh ribuan penambang yang melakukan aktivitas penambangan ilegal sejak 2011./Antara

Bisnis, JAKARTA — Makin menjamurnya keberadaan pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin (Peti) perlu segera mendapatkan solusi. Tidak hanya merugikan negara, persoalan Peti sudah sangat mengganggu dan berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan negara sudah bekerja keras untuk menata lingkungan lebih baik. Di sisi lain, praktik Peti tidak memperhatikan dampak lingkungan.

“Dari data tidak resmi, kami perkirakan kerugian negara dari praktik ini mendekati atau hampir setengah dari penerimaan negara dari sektor Minerba,” katanya saat Rakernas Rapat Kerja Nasional PETI, Rabu (13/10/2021).

Sebagai gambaran, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) subsektor minerba pada tahun lalu mencapai Rp34,6 triliun. Adapun, hingga pekan pertama Oktober 2021, PNBP minerba telah mencapai lebih dari Rp51 triliun.

Oleh sebab itu, imbuhnya, permasalahan Peti menjadi hal yang sangat penting untuk segera diselesaikan. “Peti juga menggunakan bahan berbahaya, yakni merkuri. Kami sudah melarang merkuri, tapi praktik ini masih ada,” katanya.

Selain itu, kesehatan manusia juga memberi dampak. Dia menuturkan bahwa keberadaan Peti berkontribusi pada banyaknya kelahiran bayi cacat di wilayah Peti yang menggunakan bahan beracun.

“Peti selama ini sudah kami canangkan sebagai musuh bersama yang sama bahayanya seperti narkoba dan terorisme. Semoga bisa ditindaklanjuti lagi masalah ini,” katanya. 

Menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, pelaku pertambangan tanpa izin tidak hanya dilakukan secara perorangan, tetapi para kelompok usaha diduga ikut terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.

“Kegiatan Peti di lapangan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat perorangan, tapi juga terindikasi dilaksanakan secara koordinasi kelompok usaha,” katanya.

Dia menerangkan, UU Nomor 3/2020 menjelaskan bahwa setiap orang yang mengambil sumber daya mineral tanpa melalui mekanisme perizinan, merupakan kegiatan ilegal.

Saat ini, pemerintah mencatat bahwa lokasi Peti tidak kurang dari 2.741 titik, yang terdiri dari 96 lokasi Peti batu bara dan sekitar 2.645 Peti mineral yang melibatkan sekitar 3,7 juta orang pekerja.

Kementerian ESDM sendiri tengah melakukan upaya penanganan penambangan tanpa izin melalui penataan wilayah dan regulasi, pembinaan, pendataan dan pemantauan oleh inspektur tambang, serta formalisasi wilayah pertambangan rakyat atau izin pertambangan rakyat.

“IUPR [Izin Usaha Pertambangan Rakyat] ini sudah memiliki akses untuk seluas 100 hektare dibandingkan dengan IPL [izin penetapan lokasi] yang dulunya hanya 25 hektare. Kami harapkan IUPR ini bisa menjadi indukan bagi IPL,” terangnya.

Terkait dengan itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) merekomendasikan lima strategi utama untuk meningkatkan manajemen dan tata kelola izin pertambangan rakyat.

Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli menilai, rekomendasi tersebut perlu dijalankan untuk mempermudah alur perizinan dari Peti menjadi pertambangan resmi.

“Pertama, advokasi proses perizinan dan penguatan kelembagaan perizinan,” katanya saat Rakernas Rapat Kerja Nasional PETI, Rabu (13/10/2021).

Upaya tersebut dilakukan dengan membentuk panitia atau kelembagaan yang fokus dan khusus menangani pengelolaan izin pertambangan rakyat (IPR) di bawah Kementerian ESDM, serta di bawah Dirjen Mineral dan Batu Bara.

Kemudian, penyediaan fasilitas pengelolaan dan pemurnian untuk IPR yang terpusat dan terintegrasi. Fasilitas itu harus dibangun dengan menggunakan teknologi yang lebih aman bagi penambang dan lingkungan kerja.

Program tersebut dapat menggunakan pendanaan dari pemerintah dan swasta, sehingga mampu mendukung akses permodalan usaha untuk mengurangi risiko kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan (K3L).

Selanjutnya, Rizal menilai, perlu bantuan teknis dari perusahaan pertambangan skala menengah dan besar sebagai bagian dari kegiatan RIPPM dan CSR.

Langkah itu, kata dia, dapat mengurangi potensi konflik sosial antara penambang dan perusahaan, dan pada akhirnya mengurangi potensi kerusakan lingkungan dengan meningkatkan kesadaran praktik penambangan yang baik.

Bekas tambang ilegal emas di kawasan Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. /Kementerian LHK

“Bantuan teknis oleh universitas, asosiasi profesi, dan mahasiswa. Program pendampingan dengan melibatkan perguruan tinggi dan asosiasi profesi untuk memberikan dukungan teknis,” terangnya.

Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan penguatan regulasi maupun personel untuk penindakan dan penuntutan bagi pelaku Peti.

Menurut dia, langkah itu dimulai dengan menyusun dan mengatur kebijakan, penindakan, dan penuntutan untuk memberantas keberadaan operasi penambangan batu bara dan mineral ilegal.

Di sisi lain, Anggota Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai pemerintah perlu memfasilitasi Peti menjadi penambang pemegang izin pertambangan rakyat (IPR).

“Harus terlebih dulu ditetapkan wilayah penambangan rakyat [WPR]-nya, agar tidak terjadi pelanggaran di sektor penataan ruang dan sektor pertambangan,” katanya.

Selain itu, badan usaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) hendaknya memberdayakan masyarakat yang menambang di wilayahnya dalam bentuk kompensasi. Hasil dari kegiatan itu nantinya wajib dijual kepada pemilik izin resmi.

Eddy menegaskan perlu adanya pengaturan yang jelas yang disertai dengan sanksi tegas. Hal itu bertujuan agar pihak pemilik smelter tidak menampung atau membeli ore yang sumbernya berasal dari kegiatan penambangan tanpa izin.

Di sisi lain, penguatan kewenangan dan penambahan jumlah inspektur tambang diperlukan untuk meningkatkan infrastruktur pengawasan tambang. “Agar pengawasan yang lebih efektif dan efisien,” ujarnya.

Saat ini, DPR mencatat sekitar 5.600 lebih IUP serta beberapa kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Dari jumlah tersebut, Kementerian ESDM mencatat 2.350 izin usaha pertambangan di Indonesia tidak melakukan kegiatan sama sekali.

Sebab itu, pemerintah berencana melakukan pencabutan izin terhadap IUP IUPK, KK, dan PKP2B yang tidak melakukan aktivitas. Pasalnya, kondisi itu berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan aktivitas penambangan tanpa izin.

Aparat juga telah menelurkan ketentuan sanksi hukum bagi penambangan tanpa izin. Pelaku terancam penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

Sementara itu, kegiatan penambangan ilegal tersebar di sejumlah wilayah. Beberapa di antaranya Gunung Botak dan Gogrea di Pulau Buru, Maluku Utara, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Kecamatan Mataraman Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.