Menilik Agresivitas PLN Menghijaukan Pembangkit Listrik

Tuntutan energi yang lebih bersih di masa depan membuat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) harus lebih cermat dalam memproduksi listrik. Mau tidak mau, perusahaan listrik pelat merah itu harus lebih agresif untuk menghijaukan pembangkit listriknya.

Muhammad Ridwan

16 Des 2021 - 11.19
A-
A+
Menilik Agresivitas PLN Menghijaukan Pembangkit Listrik

Suasana Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, Selasa (12/10/2021). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2021-2030 mengamanatkan pengembangan energi baru terbarukan sebesar 51,6 persen dan energi fosil 48,4 persen. Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah telah menargetkan untuk menekan emisi karbon sebesar 1.500 juta ton karbondioksida (CO2) ekuivalen yang dihasilkan dari sektor energi hingga 2060.

Berkaca dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total emisi dari sektor energi pada tahun lalu tercatat sebesar 587 juta ton co2 ekuivalen. Emisi tersebut dihasilkan oleh pembakit fosil, kilang minyak, pengolahan batu bara dan emisi fugitif, kegiatan komersial, industri manufaktur, dan transportasi.

Tuntutan energi yang lebih bersih di masa depan membuat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) harus lebih cermat dalam memproduksi listrik. Mau tidak mau, perusahaan listrik pelat merah itu harus lebih agresif untuk menghijaukan pembangkit listriknya.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021—2030, perusahaan energi pelat merah itu telah menetapkan rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga diesel konversi dalam kurun waktu 5 tahun. Pembangkit berbasis bahan bakar minyak akan dipensiunkan secara bertahap.

Rencana PLN itu sebetulnya telah ditetapkan sejak tahun lalu sebagai salah satu upaya untuk mendukung pemerintah mengurangi emisi karbon dan mencapai bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23% pada 2025. Program konversi pembangkit EBT itu masuk dalam pilar Green yang ada di PLN.

Setidaknya ada sekitar 5.200 unit mesin PLTD PLN yang terpasang di wilayah Indonesia, tersebar di 2.130 lokasi dengan potensi untuk dikonversi ke pembangkit berbasis EBT sebesar ±2 GW.

Program Konversi PLTD menuju pembangkit EBT akan dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal di 200 lokasi ini, konversi akan dilakukan pada unit pembangkit dengan usia lebih dari 15 tahun.

Direktur Panas Bumi Direktorat EBTKE Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan bahwa pemerintah akan mencoba mengganti energi diesel dengan tenaga surya maupun baterai.

“Sudah ada rencana yang kami akan coba lakukan di 200 lokasi PLTD. Kriterianya dari diesel yang tidak lagi efisien, serta konsumsi minyak yang tidak terlalu efisien lagi. Jadi kami ganti,” katanya, belum lama ini.

Direktur Utama PLN yang saat itu dijabat Zulkifli Zaini menjelaskan bahwa selain meningkatkan bauran EBT, konversi PLTD ke EBT tersebut akan meningkatkan ketahanan energi nasional, karena tidak lagi mengandalkan bahan bakar minyak atau BBM yang sebagian besar masih diimpor.

Manfaat besar terutama di daerah terpencil setelah beralih ke EBT, imbuhnya, selain lebih ramah lingkungan, tersedianya listrik selama 24 jam akan membuka peluang pembangunan ekonomi baru dalam skala lokal.

Sejumlah potensi sumber daya alam yang menjadi komoditas andalan daerah dapat tumbuh karena ketersediaan listrik yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Industri wisata, perikanan, agrobisnis, terbukanya jaringan telekomunikasi akan hadir sampai ke pelosok.

“Konversi PLTD ini merupakan bagian dari upaya PLN mengeksplorasi sumber energi ramah lingkungan dan menggali potensi energi setempat, serta memperhitungkan potensi pengembangan dan konsumsi listrik di masa mendatang di wilayah tersebut,” tuturnya.

Zulkifli mengungkapkan bahwa selama kurang lebih 40 tahun PLTD beroperasi, biaya yang dikeluarkan cukup tinggi mengingat harga bahan bakar serta kendala geografis. Hal itu turut menjadi faktor yang membuat sejumlah titik tidak dapat teraliri listrik selama 24 jam.

Menurutnya, program konversi ini akan memberi dampak yang cukup besar terhadap masyarakat untuk bisa mendapatkan aliran listrik yang lebih lama. Selain itu, PLN dapat lebih menghemat biaya pokok yang dikeluarkan dengan mengurangi konsumsi bahan bakar yang masih harus diimpor.

"Konversi PLTD ke pembangkit berbasis EBT merupakan langkah paling masif dalam sejarah PLN. Ini jadi gerakan PLN untuk kurangi belanja di sektor BBM yang sebagian besar masih impor," jelasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan rencana konversi PLTD ke EBT tersebut tidak sekadar untuk meningkatkan bauran EBT, tetapi dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja keuangan PLN.

Menurut dia, harga biaya pokok penyediaan listrik dengan PLTD berkisar Rp3.000—Rp3.500 per kWh sehingga dengan menggunakan EBT nantinya bisa menimbulkan penghematan bagi PLN.

"Kalau bisa berhasil semuanya harusnya ada dampaknya. Kalau menyubstitusi diesel dan baterai, kalau disubtitusi di PLTS dan PLTD hanya sekitar separuhnya jadi akan ada mungkin penurunan BPP. Secara nasional tidak terlalu besar tapi lumayan karena PLN bisa menghemat bahan bakar itu kemungkinan bisa jadi ada dampak terhadap penurun BPP," katanya kepada Bisnis, Rabu (15/12/2021).

Sementara itu, rencana konversi itu berkontribusi besar terhadap peningkatan bauran EBT baik di PLN maupun secara nasional, mengingat jumlah kapasitas yang direncakan dalam RUPTL setidaknya ada 2.000 MW PLTD.

"Kalau kita lihat dari rencana yang sekarang itu akan menambah bauran EBT PLN yang dibilang sampai 2025 nanti bisa mencapai 23%. Jadi kembali bahwa sudah masuk perhitungan 23%," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.