Menilik Alasan Pengusaha Tolak Revisi PP 36/2021 soal Pengupahan

Menurut Apindo, jika terjadi perubahan substansi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan maka sektor padat karya, UMKM, dan pencari kerja akan dirugikan.

Ibeth Nurbaiti

19 Nov 2022 - 16.30
A-
A+
Menilik Alasan Pengusaha Tolak Revisi PP 36/2021 soal Pengupahan

Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis, JAKARTA — Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tetap kekeh meminta pemerintah untuk menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan dalam menetapkan upah minimum.

Pengusaha tetap menolak wacana revisi PP 36/2021 tetang pengupahan tersebut, meskipun dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menginginkan sebaliknya.

Baca juga: Formula UMP 2023 di Permenaker 18/2022, Maksimal Naik 10 Persen

“Terkait dengan UMP 2023, kami mengikuti PP No. 36/2022. Karena itu floor price-nya untuk jaring pengaman sosial,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, Rabu (16/11/2022).

Bila nantinya besaran UMP 2023 melebihi kemampuan bayar para pengusaha, imbuhnya, pihaknya terpaksa mengambil langkah efisiensi, salah satunya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Baca juga: UMP 2023 Dipastikan Naik, Buruh Bersiap Turun ke Jalan

Dikutip dari Antara, Hariyadi menjelaskan bahwa dengan adanya rencana penetapan formulasi baru dalam penghitungan kenaikan UMP/UMK 2023 berarti pemerintah menganulir upaya bersama yang dimotori pemerintah sendiri dalam penyusunan UU Cipta Kerja.

Selain itu, jika terjadi perubahan substansi dalam PP 36/2021 maka sektor padat karya, UMKM, dan pencari kerja akan dirugikan. Sektor padat karya seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kepatuhan atas ketentuan legal formal karena tidak memiliki kemampuan untuk membayar.


Demikian juga dengan para pelaku usaha UMKM yang akan menjalankan usaha secara informal, sehingga tidak mendapatkan dukungan program pemerintah dan akses pasar yang terbatas.

Di sisi lain, menurut Hariyadi, para pencari kerja akan sulit mencari kerja karena waktu tunggu makin lama untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak, mengingat sedikitnya penciptaan lapangan kerja akibat sistem pengupahan yang tidak kompetitif.

Baca juga: UMP 2023, Antara Tuntutan Buruh dan Ancaman Keras PHK

Untuk itu, Apindo mendesak agar dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP)/Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2023, pemerintah mengikuti ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, serta PP No.36 Tahun 2021 yaitu dengan mengikuti formula, variabel, dan sumber data pemerintah.

“Jika ketentuan dalam PP 36/2021 tentang pengupahan tersebut diabaikan, akan semakin menekan aktivitas dunia usaha bersamaan dengan kelesuan ekonomi global pada tahun 2023,” tuturnya.

Baca juga: PHK Marak, Upaya Penyelamatan Industri Tekstil Mendesak

Sebagai gambaran, Apindo sebelumnya mengungkapkan bahwa pada kuartal menjelang akhir tahun ini, industri padat karya khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT) termasuk pakaian jadi (garmen) serta produk alas kaki (footwear) mengalami tekanan besar akibat kelesuan pasar global yang telah dirasakan sejak awal semester II/2022.

Penurunan order akhir 2022 dan untuk pengiriman sampai dengan kuartal I/2023 sudah mengalami penurunan pada kisaran 30 persen—50 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. 


Kondisi tersebut telah memaksa perusahaan anggota Apindo di sektor-sektor tersebut untuk melakukan pengurangan produksi secara signifikan dan berdampak pada pengurangan jam kerja, bahkan PHK.

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan pandangan berbeda dengan Apindo terkait dengan pengupahan. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, beleid yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum penetapan UMP/UMK 2023 karena UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: Efektivitas Bantuan Subsidi Upah Mulai Dipertanyakan

Oleh karena itu, dalam penetapan upah bisa menggunakan dasar hukum PP No. 78/2015 tentang pengupahan (kenaikan upah minimum besarnya dihitung dari nilai inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi) atau Menteri Ketenagakerjaan bisa mengeluarkan Permenaker khusus untuk menetapkan UMP/UMK Tahun 2023.

Dia juga menekankan bahwa PP 36/2021 tidak bisa digunakan, mengingat kenaikan harga BBM sementara upah tidak naik 3 tahun berturut-turut telah menyebabkan daya beli buruh turun 30 persen. 

“Ketika menggunakan PP 36/2021, maka nilai kenaikan UMP/UMK di bawah inflasi, sehingga daya beli buruh akan semakin terpuruk,” ujar Said, Kamis (17/11/2022).

 

MAKSIMAL 10 PERSEN

Adapun, pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No. 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023 telah menetapkan kenaikan upah minimum maksimal 10 persen pada 2023.

Peraturan tersebut ditetapkan pada Rabu (16/11/2022) dan telah diundangkan pada Kamis (17/11/2022). “Penetapan atas penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat [1] melebihi 10 persen, Gubernur menetapkan Upah Minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen [sepuluh persen],” demikian dikutip Bisnis, Sabtu (19/11/2022).

Sementara itu, daerah yang telah memiliki upah minimum, penetapan upah minimum juga dilakukan dengan penyesuaian nilai upah minimum. Formulasi penghitungannya berdasarkan pertimbangan variable pertumbuhan ekonommi, inflasi, dan indeks tertentu.

“Jika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat [4] hanya mempertimbangkan variabel inflasi.” 

Baca juga: Mengejar Target Tinggi PDB 2023, Ekonomi Indonesia Harus Berlari

Di sisi lain, bagi kabupaten/kota yang belum memiliki upah minimum, maka terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk penetapan upah.

Pertama, rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang bersangkutan selama tiga tahun terakhir dari data yang tersedia pada periode yang sama, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi.


Kedua, nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kabupaten/kota bersangkutan selama tiga tahun terakhir selalu positif, dan lebih tinggi dari nilai provinsi.

“Dalam hal syarat tertentu, sebagaiman dimaksud pada ayat [2] tidak terpenuhi, Gubernur tidak dapat menetapkan Upah Minimum bagi kabupaten/kota yang bersangkutan,” tulis Kemenaker.

Upah Minimum Provinsi 2023, ditetapkan dan diumumkan paling lambat pada 28 November 2022. Tidak hanya Upah Minimum Provinsi, Gubernur juga memiliki kewenangan untuk menatur Upah Minimum Kabupaten/Kota.

“Upah Minumum Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat [2] dan pasal 5 ayat [2], mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.” (Annasa Rizki Kamalina/Dany Saputra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.