Menilik Kebijakan EBT Indonesia di Tengah Krisis Energi Dunia

Krisis energi yang terjadi di China dan Inggris semestinya menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk tidak gegabah dalam menyikapi transisi energi. Energi fosil dinilai masih sangat krusial dalam memenuhi kebutuhan energi.

Muhammad Ridwan

10 Okt 2021 - 18.47
A-
A+
Menilik Kebijakan EBT Indonesia di Tengah Krisis Energi Dunia

Suasana Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) yang ada di Teluk Kabung Padang, Sumatra Barat, Rabu (19/5/2021). Bisnis/Noli Hendra

Bisnis, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu membuat perencanaan yang lebih matang dalam menghadapi tren transisi energi yang tengah digaungkan oleh banyak negara di dunia agar nantinya tidak mengganggu pasokan energi di dalam negeri.

Krisis energi yang terjadi di China dan Inggris semestinya menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk tidak gegabah dalam menyikapi transisi energi. Energi fosil dinilai masih sangat krusial dalam memenuhi kebutuhan energi.

Gubernur Indonesia untuk OPEC periode 2015—2016 Widhyawan Prawira Atmadja mengatakan sejumlah negara di dunia seperti Inggris dan China tengah mengalami krisis energi yang ditandai dengan meroketnya harga gas dan batu bara, serta disusul dengan kenaikan harga minyak.

Menurut dia, kebijakan transisi energi yang hanya melihat pada kebutuhan jangka pendek dapat mendorong terjadinya penurunan investasi pada proyek-proyek energi fosil, padahal permintaan energi bersih maupun energi fosil ke depannya masih diprediksi akan terus meningkat.

"Implementasi energi transisi yang tidak matang dapat menyebabkan Indonesia menjadi rentan ketika terjadi gangguan pasokan, baik dalam negeri maupun konteks global seperti saat ini," katanya dalam sebuah webinar, Minggu (10/10/2021).

Tidak jauh berbeda, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Rudi Rubiandini menilai kendati aktivitas di sejumlah negara telah berangsur pulih di tengah pandemi Covid-19, tetapi permintaan komoditas energi sebelum pandemi Covid-19 tercatat belum kembali.

Dengan demikian, krisis energi yang terjadi tidak bisa dikaitkan secara mutlak disebabkan oleh bangkitnya industri pascapulihnya Covid-19.

Dia menambahkan bahwa jargon transisi energi yang terus dikumandangkan oleh negara penghasil teknologi energi baru dan terbarukan (EBT) seperti Eropa dan juga China, telah menyeret pada kondisi terlalu yakin terhadap dikuranginya pasokan dari energi fosil terutama batu bara dan minyak.

Akibatnya, ketika kebutuhan energi akibat pelonggaran Covid-19 membengkak dan telah mengakibatkan kekurangan pasokan yang mengkhawatirkan, harga minyak melambung sampai di atas US$70 per barel dan gas sampai di atas US$50 per MMbtu.

"Ketika awal Covid-19, harga energi sangat rendah tidak terlalu lama kembali normal karena proses supply demand, harga energi begitu tinggi pun tidak akan terlalu lama, tetapi cukup menjadi pelajaran para pengambil keputusan dalam bidang energi bahwa tidak bisa gegabah dan tergopoh-gopoh dalam membuat langkah-langkah strategis jangka panjang," katanya dalam keterangan resminya yang dikutip Minggu (10/10/2021).

Menurut Rudi, EBT perlu dikembangkan dan diberi jalan yang lebar untuk menyubstitusi kelangkaan energi fosil pada masa yang akan datang sangatlah benar dan bijak.

Namun, tidak bisa dilakukan secara terburu-buru karena dengan berbagai faktor teknis, ekonomis, dan infrastruktur serta teknologi penerima energi, masih perlu jalan panjang untuk mampu mengganti energi fosil yang 70%.

“Bahkan hanya bisa turun sampai 50% persen pun sudah merupakan prestasi yang luar biasa,” tuturnya.

Dia mengungkapkan bahwa secara global, sebanyak 70% energi saat ini dipasok oleh energi fosil, sedangkan di Indonesia masih sekitar 85% dipasok dari energi fosil. Dengan demikian, porsi EBT masih memiliki porsi yang kecil.

"Kalau mau disebut krisis, maka saat ini adalah krisis pemikiran dalam memandang energi secara menyeluruh, terlalu mendikotomikan jenis satu energi dengan energi lainnya, harusnya berjalan bersama," jelasnya.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan krisis energi yang dialami saat ini karena tingginya harga energi fosil menjadi momentum untuk mengkakselerasi pengembangan EBT.

Menurut dia, EBT tidak akan bisa berkembang apabila harga dari energi fosil rendah. Di samping itu, pengembangan EBT dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan hangat untuk bisa dipercepat.

"Kita lagi banyak bicara EBT, UU EBT mulai diselesaikan tahun ini, perpresnya juga, dunia membicarakan transisi energi. Ini kesempatan untuk EBT berinvestasi untuk mengembangkan EBT," jelasnya.

Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno mengatakan krisis energi yang terjadi pada saat ini disebabkan oleh komoditas batu bara dan gas yang dalam sejarahnya baru pertama kali terjadi di dunia karena sebelumnya hanya disebabkan oleh komoditas minyak bumi.

Dia menilai krisis ini tidak akan berlangsung lama dan akan mulai terjadi kembali pada kondisi yang seimbang dalam kurun waktu 2 bulan sampai dengan 3 bulan mendatang.

"Jadi apakah krisis ini akan memperlambat ke EBT? Ini tidak, ini akan mengakselerasi malah akan ada tuntutan mengakselerasi transisi energi ke arah EBT," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.