Menilik Kehebatan Arsitek RI Bangun Hotel Ramping Kedua Dunia

Hotel tertipis kedua di dunia dan juga pertama di Indonesia ini bernama PituRooms dengan ukuran lebarnya hanya 2,8 meter, panjang 9,5 meter dan tinggi bangunan 17 meter.

Yanita Petriella

5 Des 2023 - 00.01
A-
A+
Menilik Kehebatan Arsitek RI Bangun Hotel Ramping Kedua Dunia

Hotel PituRooms. /Dok PituRooms

Bisnis, JAKARTA – Indonesia rupanya memiliki hotel tertipis kedua di dunia dengan ukuran lebarnya hanya 2,8 meter, panjang 9,5 meter dan tinggi bangunan 17 meter. 

Adapun jika dilihat dari lebar bangunan, peringkat pertama diduduki oleh Eh'Haeusl yang berada di Amberg, Jerman, dengan lebar hanya 2,4 meter yang telah mencetak rekor dunia sejak tahun 2008 sebagai hotel terkecil. Hotel Eh'Haeusl hanya memiliki 1 kamar dengan luas bangunan 53 meter persegi. 

Jika dilihat dari lebar bangunan, PituRooms berhasil mengalahkan The Famous Star Hotel Moffat berada di Skotlandia yang memiliki lebar bangunan 6,1 meter dengan 8 kamar dan masuk dalam The Guiness Book of Records sebagai hotel tersempit dunia. 

Hotel tertipis pertama di Indonesia ini bernama PituRooms yang berada di antara gang dan sebuah rumah kota Salatiga, Jawa Tengah. Hotel ini berada di kaki Gunung Merbabu sehingga pemandangannya bisa dilihat dari hotel. 

PituRooms merupakan hotel pertama yang dibangun oleh pemilik studio arsitek Sahabat Selojene dan juga salah satu principal firma arsitek Aboday yakni Ary Indra.

Founder PituRooms Ary Indra mengatakan pembangunan hotel ramping ini dilakukan selama 1,5 tahun dari 2021 hingga akhirnya beroperasi penuh pada Desember 2022. 

Selama ini, dunia perhotelan sangat identik dengan kesan besar, mewah, dan tinggi, namun, justru Ary memilih lahan yang terbatas untuk dibangun sebuah hotel yang memiliki 7 lantai dengan 7 kamar. 

Dia membeberkan tantangan dalam pembangunan hotel langsing ini yakni secara teknis dan juga membuat para tamu yang tinggal bisa merasakan kenyamanan untuk bergerak dan cukup untuk tinggal di ruangan yang kecil. Setiap kamar di PituRooms memiliki ukuran 2,8 meter x 3 meter dengan tinggi 2,4 meter yang dilengkapi tempat tidur double bed dan kamar mandi bershower

“Kami berusaha memanfaatkan setiap benda multifungsi dan juga efisien mungkin. Misalnya, wastafel yang di bawahnya menyatu tempat sampah, pintu utama hotel yang juga digunakan sebagai tempat menaruh payung. Kami berusaha agar tamu dapat merasakan kemungkinan tinggal dan melakukan gerakan mereka di ruangan yang cukup,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (4/12/2023). 

Pada awal pembangunan hotel ramping ini memang menarik perhatian masyarakat di Salatiga karena bentuknya yang unik. Ary mengungkapkan pihaknya pernah disambangi oleh Satpol PP yang menanyakan kelengkapan izin pembangunan hotel. 

“Padahal sebagai arsitek, enggak mungkin kan saya membangun sesuatu tanpa hitungan struktur yang tepat dan benar.izin mendirikan bangunan (IMB) semua saya urus sendiri dan resmi. Bangunan kami ini tidak lebih tinggi dari tetangga, hanya terlihat lebih tinggi karena kurus saja,” tuturnya. 

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi yakni mendidik sumber daya manusia (SDM) lokal Salatiga untuk memiliki kemampuan dan kompetensi hospitality. Pasalnya, budaya hospitality di Salatiga ini belum terlalu maju jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Semarang, Yogyakarta, dan Bali. 

“Mendidik staf dan mempersiapkan standar operasional prosedur yang bagus ini juga menjadi tantangan tersendiri,” katanya. 

Baca Juga: Menerka Prospek Investasi Bisnis Hotel di Asia Pasifik

Hotel PituRooms yang menempati peringkat kedua di dunia sebagai hotel tertipis. /dok. PituRooms


Adapun selama setahun beroperasi, tamu PituRooms tidak hanya berasal dari Indonesia seperti Jakarta dan sekitarnya serta Jawa Tengah tetapi juga berasal dari Korea, Jepang, Amerika, dan Australia. 

Meskipun ramai dan viral di media sosial karena arsitektur yang unik, namun kinerja PituRooms sebagai flagship selama setahun cukup berjuang dan menantang. Pasalnya, pada bulan pertama beroperasi, hotel ini mampu menutup biaya operasional selama setahun. Kemudian, kondisi PituRooms sempat sepi dan berdarah-darah selama Februari hingga April. 

Kondisi PituRooms kembali membaik sejak Mei hingga saat ini dengan rerata okupansi atau tingkat keterisian kamar yang berkisar 30% hingga 40% sehingga cukup untuk menghidupi 9 karyawan dan operasional hotel meski secara bisnis tidak ada keuntungan.

“Jadi okupansi 40% itu baru bisa bayar gaji mereka sendiri, sedangkan kalau okupansi 60% hingga 70% itu overrated cost 2 hingga 3 kali baru untung. Untuk weekend memang penuh dan ramai, tetapi weekdays yang kami tengah mencari pola baru menarik orang untuk nginap dan kembali lagi tinggal,” terang Ary. 

Pihaknya mengakui tak mudah untuk memasarkan hotel meskipun hanya 7 kamar yang dimiliki oleh PituRooms. Selain menjual kamar yang unik untuk menarik wisatawan, PituRooms juga bekerja sama dengan desa sekitar untuk menawarkan aktivitas pariwisata seperti Gumuk Sidul Menul-menul. 

Destinasi ini berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut yang memiliki 154 anak tangga sehingga bisa melihat pemandangan Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Andong. Di puncak Gumuk ini memiliki atap dari ranting pohon jati yang dirangkai seperti sarang burung raksasa yang juga merupakan mahakarya dari Ary Indra.

“Saya lakukan pendekatan socioprenuer jadi tidak hanya bangun hotel tetapi bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar dan menggantungkan hidupnya misalnya menjual produk UMKM, bekerja sama persewaan mobil, parkir dikelola RT setempat, dan juga masyarakat desa di Salatiga untuk destinasi wisatanya,” ucapnya.


Ekspansi Hotel Ramping

Ary berharap ke depannya PituRooms dapat menjadi brand yang mengisi ceruk tempat penginapan yang berbeda. Selain di Salatiga, Pitu Rooms juga akan berekspansi di Getasan kabupaten Semarang Jawa Tengah dan juga Keliki Ubud Bali. Kendati demikian, pihaknya enggan membeberkan lebih jauh nilai investasi yang dirogoh untuk ekspansi di 2 wilayah tersebut.

PituRooms Getasan akan memiliki 9 kamar berukuran besar yang berada di kawasan perkebunan aktif sehingga nantinya bisa menjadi tempat staycation keluarga. Pitu Rooms kedua ini ditargetkan akan selesai dan beroperasi pada pertengahan tahun depan. 

Sementara itu, Pitu Rooms Ubud akan memiliki 7 kamar yang ditargetkan selesai dibangun dan beroperasi pada 2025 mendatang. Hal ini karena lokasi yang berada di kemiringan 60 derajat sehingga menjadi tantangan tersendiri.

“Di Getasan itu, Piturooms akan menjadi operatornya, sedangkan di Ubud sama seperti di Salatiga dimana tanah milik sendiri dan operator kami yang lakukan. Memang tidak ada beda biaya operasionalnya mau kamar banyak maupun sedikit, maka dari itu untuk 2 hotel baru nanti juga kamarnya sama 7 dan 9,” ujarnya. 

Baca Juga: Tumpuan Akhir Target Pariwisata Nusantara


Salatiga Tempat Petirahan

Dipilihnya Salatiga sebagai PituRooms pertama yang dimiliki Ary bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, Salatiga merupakan kampung masa kecilnya. Setelah melalang buana bekerja di Jakarta dan Singapura, pada 2019 pihaknya memutuskan untuk kembali ke Salatiga. 

“Niatnya kembali ke Salatiga untuk istirahat, namun ternyata saya menemukan karier kedua. Jadi di Salatiga saya punya waktu 5 jam yang biasa dihabiskan mondar-mandir di Jakarta, digunakan menemukan hal-hal baru mulai dari ikut bangun destinasi wisata desa hingga akhirnya bangun hotel Pitu Rooms,” katanya. 

Dia berharap kehadiran PituRooms di Salatiga dapat membuat wilayah ini semakin maju, dikenal dan dikunjungi oleh wisatawan. Pemerintah kota Salatiga juga diharapkan untuk tidak hanya membangun area komersial tetapi juga ruang publik yang dapat diminati oleh masyarakat setempat dan wisatawan. Selain itu, juga diharapkan adanya gebrakan penataan ruang dimana memperlebar trotoar tanpa mengurangi estetika sehingga bisa nyaman digunakan pejalan kaki. 

“Bersama anak-anak muda Salatiga memang kami tengah membuat event yang mampu menarik pengunjung. Karena Salatiga akrab dengan karnaval dan kirab,” ucap Ary. 

Sementara itu, Sejarawan dari Universitas Diponegoro Abel Jatayu Prakosa menuturkan pada awalnya Salatiga dikenal sebagai kota peristirahatan yang digunakan warga kelas atas sejak jaman penjajahan Belanda. 

Dia menerangkan Salatiga pernah menjadi tempat tinggal beberapa tokoh terkenal seperti Oei Tiong Ham yang merupakan raja gula dari Semarang yang villanya kini menjadi Puri Makutharama rumah dinas Komandan Korem 073. Kemudian, Kwik Djoeng Eng, pengusaha Tionghoa asal Taiwan pemilik istana Kwik Djoeng Eng yang saat ini menjadi rumah khalwat Roncalli.

Mantan Presiden RI Soeharto juga sempat tercatat pernah tinggal di Puri Makutharama Salatiga saat menjabat Komandan Resimen Salatiga tahun 1961.

Pada 1930, RA Kardinah yang merupakan adik kandung RA Kartini pernah tinggal di Toentangscheweg No. 50 sekarang kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). 

Selanjutnya, raja kretek dari Kudus Nitisemito juga sempat tinggal di Salatiga. 

“Saat ini Salatiga terus berubah menjadi kota pendidikan juga perlahan tumbuh menjadi kota destinasi wisata. Kota ini juga harus berjuang dan bersaing dengan kota lain yang berada di Kabupaten Semarang apalagi terletak di segitiga Jogja-Solo-Semarang (Joglosemar),” tuturnya. 

Untuk diketahui, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), luas wilayah kota Salatiga pada 2022 tercatat sebesar 54,98 kilometer persegi  yang terdiri dari 4 kecamatan dan 23 kelurahan. Adapun di tahun 2022, jumlah penduduk Kota Salatiga mencapai 195.055 jiwa. 

Salatiga merupakan kota yang diapit oleh Kabupaten Semarang. Selain itu, Salatiga berada di antara dua Kota Besar di Jawa Tengah seperti Kota Semarang dan Kota Surakarta. Meskipun objek wisata komersial di Salatiga tidak terlalu banyak, namun kota ini menjadi tujuan beristirahat bagi pekerja maupun wisatawan di daerah sekitarnya.

Di tahun 2022, terdapat 38 hotel berada di Salatiga dengan rerata tingkat hunian kamar mencapai 39,53% dengan tingkat hunian kamar tidur sebesar 39,38%. Jumlah tamu seluruh hotel di Salatiga sebesar 253.474 orang yang terdiri dari 1.196 tamu mancanegara dan 252.278 tamu domestik. 

Kendati tidak banyak tempat wisata komersial, namun Salatiga merupakan surga kuliner. Pada 2022 tercatat jumlah rumah makan dan restoran meningkat sangat tinggi dari 236 usaha menjadi 339 usaha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Nindya Aldila

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.