Menilik Urgensi Pembentukan Kementerian Perumahan Atasi Backlog

Sejumlah asosiasi pengembang properti hunian bersepakat meminta pembentukan kembali kementerian yang fokus bidang perumahan atau memisahkan diri dari kementerian pekerjaan umum pada periode pemerintahan baru. Hal ini adanya urgensi penyelesaian permasalahan bidang perumahan terutama backlog hunian.

Yanita Petriella

21 Jul 2023 - 23.45
A-
A+
Menilik Urgensi Pembentukan Kementerian Perumahan Atasi Backlog

Pembangunan rumah MBR bersubsidi. dok Bisnis

Bisnis, JAKARTA – Angka backlog hunian yang tinggi yakni berada di level 12,75 persen berdasarkan Susenas BPS tahun 2020 menjadi persoalan tersendiri yang harus diselesaikan. Apalagi setiap tahun ada penambahan sebanyak 740.000 hingga 800.000 keluarga baru yang tentu membutuhkan rumah. Padahal, pada 2004, backlog perumahan mencapai 5,2 juta unit rumah. Jumlah ini akan terus berubah seiring pertambahan kebutuhan sekitar 700.000 unit hingga 800.000 unit setiap tahunnya yang berasal dari pertumbuhan keluarga baru.

Untuk diketahui, backlog adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).

Adapun backlog hunian yang mencapai 12,75 persen terdiri dari non Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sedangkan sisanya 87,25 persen merupakan kalangan MBR yang terdiri dari 19,6 persen fixed income atau pekerja tetap dan 74 persen dari kalangan informal atau non fixed income.

Untuk kalangan MBR, sejak 18 tahun lalu, berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menekan angka backlog perumahan mulai dari program Sejuta Rumah, skema pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Bantuan Stimulant Perumahan Swadaya (BSPS), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), rumah susun (rusun) & rumah khusus (rusus) melalui Kementerian PUPR, dan lain sebagainya. 

Pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp79,77 triliun sepanjang 2010 hingga 2022 untuk program subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) dengan skema FLPP. Kucuran dana tersebut dimaksudkan untuk membantu pembiayaan perumahan kepada MBR sehingga dapat mengatasi persoalan backlog perumahan.

Pemerintah pun memiliki program sejuta rumah dimana dari tahun 2015 hingga 2022 telah membangun 7,99 juta unit rumah rakyat sebagai upaya mengurangi backlog. Namun rupanya angka backlog rumah pun masih tetap tinggi. 

Selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pengentasan masalah perumahan berada di bawah komando Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian PUPR selain mengurusi masalah perumahan juga bertanggung jawab membangun infrastruktur baik jalan tol, bendungan, jalan nasional, sistem penyediaan air minum (SPAM), dan lainnya di seluruh Indonesia.

Rupanya, selama 9 tahun digabungnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini tak signifikan bekerja dalam mengurai dan mengentaskan permasalahan bidang perumahan terutama backlog

Presiden Republik Indonesia (RI) yang nanti terpilih di 2024 didesak dapat memberikan perhatian besar terhadap program penyediaan perumahan nasional. Kehadiran kembali kementerian khusus yang fokus menanggani perumahan pun menjadi suatu keniscayaan yang sedang ditunggu-tunggu para pengembang properti.

Baca Juga: Mencari Cara Kaum Milenial Bisa Memiliki Properti Hunian Pertama

Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie mengatakan selama ini pengembang masih menghadapi banyak persoalan di lapangan. Kendala tersebut tidak hanya dirasakan oleh pengembang perumahan menengah bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tetapi juga dihadapi para pengembang properti hunian komersial.

Terlebih masalah perizinan yang sampai hari ini koordinasinya tidak berjalan dengan baik, meski pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

Beleid Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) beserta aturan turunannya yang dinilai menjadi hambatan pertumbuhan industri properti. Adapun salah satu kendala yang dihadapi anggota REI yakni masalah perizinan yang perlu diberesin dan dipecahkan solusinya.

Beberapa aturan yang di maksud, misalnya, kendala perizinan setelah diberlakukannya Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) yakni perizinan melalui sistem elektronik.

Kemudian, terkait peralihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Perizinan Bangunan Gedung (PBG) dan nomenklatur perizinan baru seperti Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dan persetujuan lingkungan. Selain itu, aturan lahan sawah dilindungi (LSD) turut menghambat pembangunan hunian.

“Meskipun ada UUCK tapi hingga saat ini masalah perizinan belum berjalan dengan baik. Dulu sebelum ada UUCK perizinan sangat mudah, tetapi semenjak ada UUCK ini perizinan semakin tidak jelas. Kami punya Helpdesk properti yang dimana mayoritas mengeluhkan masalah izin dan tata ruang. Kami baru saja bersama dengan Kementerian ATR membahas kendala tata ruang dalam pembangunan perumahan semoga segera ada solusinya,” ujarnya dikutip Jumat (21/7/2023). 

REI tengah berusaha mencari jalan solusi dan bersama-sama dengan pemerintah menyempurnakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan UUCK sehingga tak ada hambatan izin dalam membangun perumahan rakyat.

“Kami pengembang properti hunian masih menghadapi begitu banyak masalah. Kami butuh sesuatu dukungan pemerintah kelembagaan yang kuat dan fokus karena saat ini belum kuat sehingga perlu diperkuat koordinasi dan jobdesknya,” katanya.

REI berharap pada pemerintahan baru mendatang bisa fokus dalam mengurusi masalah perumahan rakyat. Hal itu dilakukan dengan membentuk kementerian khusus perumahan.

Hari menilai selama ini periode Jokowi, Kementerian PUPR memiliki beban kerja yang besar dan sudah terlalu berat. Pasalnya, hampir semua Program Strategis Nasional (PSN) yang berkaitan dengan pekerjaan infrastruktur fisik ditugaskan menjadi tanggung jawab Kementerian PUPR. Hal ini membuat pekerjaan rumah perumahan rakyat menjadi terabaikan. Padahal sesuai namanya, Kementerian PUPR seharusnya juga memberikan perhatian yang berimbang untuk sektor perumahan rakyat.

“Lihat sekarang semua effort kementerian PUPR ini luar biasa untuk menyelesaikan PSN dimana harus kelar di 2024, mereka kerja keras. Jakarta International Stadion (JIS) pun harus PUPR yang turun tangan. Belum lagi IKN dimana tahun 2024 seluas 2.800 hektare ini harus bisa didevelop dengan prasarana fisik penunjang yang menjadi tugas PUPR. Kita salah berharap dengan PUPR karena mereka ini harapan begitu banyak pihak sehingga enggak punya waktu untuk perumahan,” ucapnya. 

Oleh karena itu, para pengembang bersepakat memerlukan kementerian khusus yang fokus pada perumahan sehingga pekerjaan rumah masalah backlog hunian dapat terselesaikan.

“Sejauh ini, kami masih melihat adanya koordinasi yang kurang baik dan minim keterlibatan Kementerian PUPR terkait urusan di sektor properti terutama perumahan baik dari sisi perizinan, pembiayaan, perpajakan, infrastruktur perumahan, dan lain-lain,” tutur Hari.

Baca Juga: Seribu Jurus Menjinakkan Bom Waktu Angka Backlog Perumahan


Backlog Masih Menghantui

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah berharap agar pemerintahan selanjutnya dapat fokus menyelesaikan permasalahan perumahan beserta backlog. Dia menyayangkan bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tidak ada yang menyinggung rencana kerja atau visi misi di bidang perumahan rakyat. Padahal Indonesia tengah menghadapi masalah backlog hunian yang masih tinggi.

“Calon pemimpin bangsa di masa mendatang enggak ada yang bawa isu-isu perumahan. Saya yakin mereka para calon ini belum pernah lihat rumah subsidi seperti apa. Padahal ini penting perumahan itu terkait kesejahteraan rakyat,” ujarnya. 

Oleh Karena itu, menurut Junaidi, mutlak dibutuhkan kementerian yang fokus perumahan. Apalagi, sektor perumahan berbeda dengan infrastruktur sehingga tidak dapat disandingkan begitu saja, karena masalah perumahan tidak melulu urusan fisik semata. Pemerintah dinilai dalam satu dekade ini terkesan tidak fokus mengatasi persoalan backlog tersebut yang diperkirakan sudah lebih dari 13 juta unit.  

“Tidak ada yang tahu data pasti berapa jumlah backlog saat ini. Masalah justru timbul, dan seperti diciptakan. Aturan regulasinya sering berubah-ubah dan perizinan di tiap daerah berbeda-beda. Masyarakat yang ingin memiliki rumah, syaratnya juga dipersulit. Hantu backlog ini tidak pernah terselesaikan karena masih banyak hambatan dalam membangun hunian serta mendapatkan rumah. Lihat saja aturan harga baru rumah subsidi terselesaikan selama 3 tahun,” terangnya. 

Dia juga berharap pada pemerintahan baru mendatang dilakukan penguatan terhadap PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk sebagai bank fokus perumahan. Selama ini banyak masyarakat terutama MBR yang sangat bergantung pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi dari BTN untuk bisa memiliki rumah. BTN juga merupakan satu-satunya bank pemerintah yang bersedia mendapatkan margin kecil dari penyaluran pembiayaan perumahan. Oleh karena itu, diharapkan tidak hanya isu-isu peleburan atau merger Bank BTN.

“BTN itu memang marginnya kecil karena fokusnya ke perumahan. Labanya enggak secepat bank BUMN atau himbara lainnya. BTN marginnya tipis sekali. Jangan sampai bank BTN diganggu dengan isu-isu merger dengan bank lain.Bank BTN jangan terus diganggu, seperti akan diambil alih. Setiap kepemimpinan baru, selalu diganggu dengan isu-isu terus,” kata Junaidi. 

Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja berpendapat untuk menyelesaikan angka backlog hunian yang saat ini mencapai 12,75 juta dan juga penambahan kebutuhan hunian keluarga baru tiap tahun membutuhkan waktu selama 60 tahun. Apalagi saat ini, banyak hambatan yang menghantui pembangunan perumahan rakyat yani terkiat pertanahan dan perizinan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penguatan kelembagaan perumahan.

“Kita cetak 1 juta rumah baru tetapi ada 800.000 keluarga baru butuh rumah jadi baru terpenuhi 200.000 rumah dan menyelesaikan backlog yang ada 60 tahun baru kekejar. Selama ini banyak peraturan perizinan dan pertanahan yang dulu sebetulnya sudah kuat, tetapi sekarang justru menjadi lemah. Karena itu perlu diperkuat kembali,” tuturnya. 

Endang menyoroti dampak dari UUCK yang menghilangkan jejak panjang lex specialis perizinan rumah subsidi untuk MBR. Hal tersebut menyebabkan urusan perizinan dan pertanahan pengembang rumah subsidi semakin sulit. Dalam hal pembiayaan, saat ini program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dihapus untuk rumah bersubsidi tetapi justru dilanjutkan untuk rumah komersial atau non-subsidi

“Ini ibarat ada peluru, tetapi tidak ada sasarannya. Atau ada sasaran namun peluru tidak ada. Ya akhirnya jalan di tempat,” ucap Endang.

Baca Juga: Meramu Skema Sewa Beli Solusi Kepemilikan Rumah Bagi MBR 

Urgensi kebutuhan kementerian khusus perumahan pada periode pemerintahan mendatang juga diungkapkan oleh Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya. Ketua Umum Apernas Jaya Andre Bangsawan menyatakan dukungannya untuk dibentuk kembali kementerian khusus yang fokus mengurusi perumahan. Hal itu untuk membantu masyarakat untuk memiliki rumah layak huni dan mendorong penyediaan rumah oleh pengembang lewat regulasi yang efektif. 

Dia menilai saat ini Kementerian PUPR terlihat lemah dalam menjalankan fungsi di sektor perumahan rakyat. Selain itu, Kementerian PUPR yang merupakan gabungan dari kementerian pekerjaan umum dan kementerian perumahan rakyat itu juga kurang serius dalam mengatasi permasalahan backlog perumahan yang jumlahnya semakin melonjak.

“Kementerian PUPR terkesan kurang serius dalam menjalankan fungsinya di sektor perumahan. Badan dan lembaga yang dibentuk pun ternyata tidak bekerja secara maksimal. Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) misalnya, saat ini seolah mati suri, tidak ada action sebagaimana tujuan pembentukannya,” ujar Andre.

Senada, Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit menuturkan harus ada lembaga kementerian yang fokus untuk menyelesaikan backlog nasional. Sejak Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dilebur menjadi Kementerian PUPR di masa pemerintahan Jokowi, pemerintah dinilai tidak fokus dalam menyelesaikan masalah penyediaan rumah rakyat.

“Satu dekade ini di bawah PUPR tidak ada yang fokus. Pemerintah malah membuat peraturan-peraturan yang tidak pernah mereka ketahui sama sekali. Apa yang dikerjakan pemerintah di sektor perumahan rakyat itu kosong dan terlihat mereka bukan pelayan masyarakat. Ini kayak mental penjajah,” katanya. 

Dia mengaku dapat merasakan kekecewaan besar yang dirasakan asosiasi pengembang yang selama ini sudah bekerja membantu pemerintah dalam menyediakan perumahan untuk masyarakat. Apalagi, sektor properti ini memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian nasional dan memiliki dampak 175 industri turunan. Selain itu, sektor properti juga berkontribusi besar dalam penyediaan lapangan pekerjaan.

“Terdapat sekitar 13.000 perusahaan properti yang masing-masing mempekerjakan sekitar 30 hingga 1.000 orang pekerja. Tapi pengembang ini justru tidak diberi tempat yang layak oleh pemerintah. Mereka hanya diberikan seorang selevel dirjen (direktur jenderal) yang tidak powerfull untuk mengurusi perumahan dan properti. Ini langkah mundur dari yang sudah pernah dilakukan dan dicapai pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dulu,” ucapnya. 

Di sisi lain, dia berharap pada pemerintahan selanjutnya, dapat memperkuat Bank BTN dengan payung regulasi yang lebih jelas dan tegas. Menurutnya, BTN tidak bisa dilihat dari sudut pandang kapitalistik sehingga bank tersebut harus dilindungi dengan undang-undang yang spesial.   

“Penting untuk dijadikan bank khusus perumahan. Bank BTN jangan dibanding-bandingkan dengan bank lain,” tutur Panangian. 

 

Optimalkan Pembiayaan 

Subsidized Mortgage Division Head PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Teguh Wahyudi mengatakan untuk mengentaskan backlog hunian memang dibutuhkan kerjasama sejumlah pihak yakni pengembang dan pemerintah. Adapun sebesar 83 persen backlog kepemilikan rumah berasal dari masyarakat pada kelompok MBR dan miskin. 

Setiap tahunnya terdapat sekitar 1 juta supply hunian yang terdiri dari rerata hunian MBR sebanyak 750.000 unit dan non MBR sebanyak 250.000 unit per tahun. Penyaluran KPR subsidi sebesar 9 persen hanya dinikmati oleh MBR informal. Kalangan ini dinilai unbankable dan relative dianggap berisiko tinggi

Backlog sebesar 67,1 persen masyarakat tinggal di perkotaan. Pada 2045, pendudukan Indonesia 318,9 juta jiwa dan 67,1 persen tinggal diperkotaan,” ujarnya. 

Saat ini, Bank BTN merupakan bank perumahan dengan pangsa pasar KPR terbesar di Indonesia dan menjadi kontributor utama program sejuta rumah (PSR) terutama di segmen MBR. Dalam lima tahun terakhir, Bank BTN telah menyalurkan KPR subsidi lebih dari 1 juta unit dengan kapasitas penyaluran KPR Subsidi Bank BTN sekitar 230.000 unit. 

“Saat ini diperlukan pendefinisian fokus dan pemenuhan lembaga dari masing-masing stakeholder agar ekosistem perumahan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Butuh optimalisasi peran strategis stakeholder pada ekosistem perumahan nasional,” katanya. 

Baca Juga: Polemik Rumah MBR antara Backlog dan Hambatan Klasik Menghantui

Menurut Teguh, penyelesaian permasalahan backlog ini perlu dilakukan penyelarasan sejumlah peran stakeholder pada ekosistem perumahan nasional. Adapun dengan memprioritaskan anggaran pembiayaan perumahan kepada bank fokus perumahan dan penyaluran bantuan perumahan hanya dilakukan oleh bank penyalur, sehingga penyaluran akan jauh lebih efisien.

Selain itu, penting untuk mempercepat implementasi peran bank tanah untuk memastikan ketersediaan lahan untuk pembangunan hunian bersubsidi, menetapkan standarisasi Imbal Jasa Penjaminan (IJP) untuk pengendalian risiko, perolehan profit margin yang optimal, integrasi data pasokan, permintaan rumah antara Kementerian PUPR dan pemerintah daerah. 

“Juga perlu mempercepat implementasi BP3 untuk melakukan monitoring keterhunian dan offtaker. BP3 diharapkan dapat mengawasi keterhunian dari hunian subsidi yang telah disalurkan serta melakukan dan mengurus tindak lanjut atas hunian-hunian subsidi yang tidak dihuni,” kata Teguh.

Kepala Divisi Riset Pengembangan Kebijakan dan Skema Pembiayaan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Luwi Wahyu Adi menuturkan sebagai Operator Investasi Pemerintah (OIP) yang ditunjuk dan ditetapkan Menteri Keuangan dalam pengelolaan Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), BP Tapera sejak berdiri selalu melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai tugas dan fungsinya.

Dalam upaya pengurangan angka backlog perumahan, BP Tapera berada pada demand side untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan. Kebijakan pemerintah dalam melakukan penyesuaian harga rumah bersubsidi kami harapkan bisa kembali memacu sisi pasokan dengan mengembangkan rumah berkualitas sesuai aturan yang berlaku. 

“BP Tapera jadi operator pemerintah sehingga hal yang dilakukan merupakan amanat dari regulator. Kami koordinasi dengan Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan terkait pembiayaan perumahan untuk mengatasi backlog,” ucapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.