Menimbang Untung Rugi Meroketnya Harga Batu Bara bagi Indonesia

Permintaan dari sejumlah negara, termasuk dari China, Korea Selatan, dan Eropa diyakini membawa berkah bagi industri batu bara nasional. Di sisi lain, dengan terus melonjaknya harga batu bara acuan berpotensi mengancam keamanan pasokan ‘emas hitam’ itu untuk kebutuhan dalam negeri.

Rayful Mudassir

23 Sep 2021 - 20.52
A-
A+
Menimbang Untung Rugi Meroketnya Harga Batu Bara bagi Indonesia

Pekerja beraktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Lonjakan harga batu bara yang terus meroket sejalan dengan pemulihan ekonomi dan meningkatnya permintaan di sejumlah negara, menjadi angin segar bagi produsen emas hitam itu.

Permintaan dari sejumlah negara, termasuk dari China, Korea Selatan, dan Eropa diyakini membawa berkah bagi industri batu bara nasional.

Di sisi lain, dengan terus melonjaknya harga batu bara acuan berpotensi mengancam keamanan pasokan ‘emas hitam’ itu untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Harga batu bara acuan (HBA) yang terus melambung ke level US$150,03 per ton membuat disparitas harga dengan DMO sebesar US$70 per ton kian besar.

Dengan kenaikan HBA September 2021, harga batu bara DMO bahkan tidak sampai setengah atau hanya 46,65% dibandingkan dengan harga batu bara untuk pasar ekspor.

Di tengah kondisi kian tingginya disparitas harga batu bara inilah, tidak menutup kemungkinan pengusaha batu bara akan lebih memilih untuk melakukan ekspor.

Perusahaan bank investasi dan jasa keuangan multinasional asal Amerika, Goldman Sachs Group, Inc. memproyeksikan harga batu bara thermal coal Newcastle dan coking coal melonjak tajam pada kuartal IV/2021.

Bank tersebut memperkirakan harga komoditas tersebut untuk jenis thermal coal terus membengkak hingga US$190 per ton pada kuartal IV/2021. Angka ini bahkan naik US$100 per ton dari perkiraan sejumlah analis.

Jenis berbeda yakni coking coal juga diproyeksi melejit hingga US$230 per ton pada kuartal IV/2021. Sementara pada 2020, harga coking coal berkisar US$175 per ton.

Sebagai gambaran, dua jenis ini menjadi acuan perdagangan batu bara dunia. Umumnya thermal coal digunakan sebagai bahan baku pembangkit listrik dengan tingkat kalori sekitar 5.000 kkal/kg. Thermal coal juga sering menggunakan acuan batu bara dari Australia. 

Sementara itu, coking coal jamak digunakan untuk kebutuhan produksi industri seperti baja. Tingkat kalori yang diperlukan untuk industri ini sekitar 7000 kkal/kg. 

Proyeksi ini menyusul ekspor batu bara global dari produsen utama naik sekitar 8% pada Mei dan Juni akibat rebound pasokan dari Indonesia meski pasokan dari Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia masih rendah. 

Sementara itu, pembelian batu bara terbesar dilakukan sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Rerata kenaikan permintaan dari negara tersebut mencapai 16% pada Juni meski harga terus melejit.

Permintaan ini agaknya menjadi sentimen positif bagi kalangan pengusaha di Indonesia. Sempat mengalami tekanan harga global pada tahun lalu, kali ini dimanfaatkan untuk mendapatkan profit margin lebih besar. 

“Bagi pengusaha dengan harga tinggi cukup positif, secara profit margin lebih bagus,” Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kepada Bisnis, Rabu (22/9/2021).

Kenaikan ini cukup disyukuri APBI setelah tahun lalu harga batu bara anjlok hingga sekitar US$50 per ton. Alhasil, kenaikan kali ini menjadikan pengusaha dapat menutupi kerugian pada tahun lalu.

Indonesia masuk 10 besar negara dengan penghasil batu bara terbesar di dunia. Produksi batu bara Indonesia menyentuh 565,8 juta ton pada 2020 dengan 331,94 juta ton di antaranya diekspor. 

Berdasarkan Minerba One Data Indonesia, realisasi produksi batu bara Indonesia mencapai 429,87 juta ton, sekitar 211,51 juta ton di antaranya diekspor ke pasar global sepanjang 2021. 

Tahun ini, produksi batu bara dalam negeri diproyeksikan mencapai 525 juta ton serta rencana ekspor hingga 487,50 juta ton. Dari target ini, dapat diartikan realisasi produksi menyentuh 68,78% serta realisasi ekspor baru 43,39%. 

PERUBAHAN HARGA

Perubahan harga cukup dipengaruhi oleh suplai dan permintaan komoditas itu sendiri. Hendra memaparkan bahwa kebutuhan batu bara saat ini cukup tinggi setelah perlahan pemulihan ekonomi mulai terjadi di sejumlah negara.

Kendati demikain, pasokan batu bara terhadap permintaan dari negara produsen mandek. Kondisi ini disebabkan oleh terbatasnya produksi batu bara akibat cuaca buruk yang terjadi di sebagian belahan dunia. 

China sebagai negara produsen batu bara terbesar bahkan terpaksa memenuhi permintaan dalam negerinya dengan cara mengimpor dari negara lain. Dari sederet negara produsen, Indonesia menjadi salah satu pemasok ke Negeri Panda itu. 

Tahun lalu, Beijing sempat mengumumkan rencananya membeli batu bara thermal dari Indonesia pada 2021. Nilai kesepakatan ekspor batu bara RI ke China dapat mencapai US$1,467 miliar atau sekitar Rp20 triliun. 

APBI dalam pernyataannya tahun lalu juga mengonfirmasi kenaikan ekspor baru bara ke China dengan perkiraan 200 juta ton pada 2021. Jumlah target yang disepakati juga akan ditinjau setiap tahun. 

Kerja sama RI—China ini menyusul hubungan buruk Presiden Xi Jinping dengan Australia. China sempat menolak sekitar 60 kapal pengangkut batu bara yang datang dari Australia dengan dalih terkait dengan kualitas lingkungan hidup pada Oktober 2020. 

Buruknya hubungan kedua negara sudah terjadi sejak 2018 saat Australia melarang Huawei Technologies Co. membangun jaringan 5G dengan alasan keamanan. Canberra juga sempat menyerukan penyelidikan tentang asal usul virus Corona pada tahun lalu sehingga kian memperburuk keadaan. 

“Bisa saja kalau hubungan mereka sudah baikan harga akan turun lagi [karena pasokan mulai lancar]. Sedang hubungannya sedang tidak baik,” kata Hendra. 

Dia memperkirakan harga tetap stabil tinggi hingga akhir tahun ini seiring dengan kebutuhan batu bara di Eropa untuk persiapan musim dingin.

Sementara itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menjabarkan setidaknya terdapat empat alasan meroketnya harga batu bara sepanjang 2021.

Pertama, mulai menggeliatnya ekonomi China. Situasi ini berimbas pada peningkatan produksi industri dan menjadikan permintaan energi di negara itu meningkat. 

Kedua, penolakan batu bara dari Australia ke China juga berimbas pada mandeknya pasokan internasional untuk komoditas ini. Hal tersebut menyebabkan supply batu bara dunia macet. 

Sebuah kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (15/2/2021).  ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Ketiga, cuaca buruk turut mempengaruhi produksi dunia terhadap batu bara menurun tahun ini. China bahkan mengalami banjir di beberapa daerah sehingga mempengaruhi produksi. 

Indonesia juga merasakan kondisi yang sama. APBI mengakui hal itu dalam beberapa kesempatan, bahkan minimnya alat berat yang memadai ikut berkontribusi pada persoalan pasokan.

Keempat, naiknya biaya pengapalan pada Maret 2021 menjadi salah satu faktor pendukung peningkatan harga ekspor batu bara. Musababnya terjadi penumpukan di sejumlah pelabuhan utama dunia hingga menyebabkan macetnya arus barang. “Empat parameter ini mempengaruhi kenaikan ini harga batu bara dunia,” katanya.

Di sisi lain, IMEF berharap agar harga komoditas ini tidak berada di atas US$200 per ton agar tidak terlalu memberatkan negara pengimpor meski memberi keuntungan besar bagi eksportir. 

Menurutnya, perlu disepakati antara pembeli dan penjual untuk harga batu bara. Langkah ini perlu diambil agar terjadi keberlanjutan perdagangan emas hitam tersebut. Pun demikian, peningkatan harga ekspor secara otomatis memberikan keuntungan bagi negara.

Realisasi penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara tumbuh 118,52% sepanjang 2021. Dari target Rp39,10 triliun, negara telah menerima pendapatan dari sektor ini Rp46,35 triliun. 

Meski memberi keuntungan bagi pengusaha dan negara, korporasi tidak menaikkan jumlah produksinya tahun ini, PT Bukit Asam Tbk. menjadikan produksi batu baranya mencapai 30 juta ton pada 2021. 

“Tentunya ini dengan mempertimbangkan kenaikan harga komoditas dan potensi permintaan pasar yang meningkat tahun ini,” kata Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie C. 

Senada, PT Adaro Energi, Tbk. juga tidak mengubah target produksinya dengan tetap mengacu pada target awal tahun yakni berkisar 52 juta ton—54 juta ton. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.