Meniti Jalan Terjal Demi Mengejar Ambisi Energi Hijau

Untuk pertama kalinya, rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan mayoritas atau sekitar 51,6% berasal dari pembangkit berbahan bakar EBT, sedangkan porsi energi fosil 48,4%.

Rayful Mudassir, Muhammad Ridwan & Ibeth Nurbaiti

5 Okt 2021 - 17.46
A-
A+
Meniti Jalan Terjal Demi Mengejar Ambisi Energi Hijau

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulubelu Unit 3 milik PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terlihat dari ketinggian di Ulubelu, Lampung, Rabu (3/8/2016). Melalui PLTP Unit 3 yang telah beroperasi secara komersial pada 15 Juli 2016, PGE memberikan tambahan listrik sebesar 55 Megawatt, setara penerangan bagi 110.000 kepala keluarga di Propinsi Lampung. JIBI/Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah mempunyai ambisi untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 demi mewujudkan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Kendati tidak mudah dan penuh tantangan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya agar proses transformasi dari energi fosil ke energi hijau tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Apalagi, investasi di energi yang lebih ramah lingkungan ini diyakini bisa menjadi penggerak roda perekonomian pascapandemi Covid-19, selain karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan EBT.

Keseriusan pemerintah itu ditegaskan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021—2030. Untuk pertama kalinya, rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan mayoritas atau sekitar 51,6% berasal dari pembangkit berbahan bakar EBT, sedangkan porsi energi fosil 48,4%. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan RUPTL kali ini lebih hijau karena porsi untuk mengembangkan pembangkit berbasis EBT lebih besar dibandingkan dengan fosil.

Hal itu sejalan dengan ratifikasi Paris Agreement bahwa arah kebijakan energi ke depannya adalah transisi dari energi fosil menjadi EBT sebagai energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan.

“Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi, kecuali yang saat ini yang sudah committed sudah dalam konsumsi. Hal ini juga untuk membuka peluang, membuka ruang besar untuk pengembangan EBT,” katanya saat webinar diseminasi RUPTL PLN 2021—2030, Selasa (5/10/2021).

Adapun, kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 MW, sedangkan total tambahan kapasitas pembangkit energi fosil adalah 19.652 MW. Secara keseluruhan, pemerintah membidik penambahan kapasitas listrik hingga 40.575 MW pada 2030. 

Menteri ESDM menyebut bahwa salah satu tantangan yang dihadapi menuju net zero emission adalah menyediakan listrik dari sumber energi rendah karbon serta mengurangi dominasi energi fosil terutama batu bara. Meskipun diakui pembangkit dengan bakar tersebut masih relatif murah. 

Dia mendorong agar industri ikut dalam penggunaan energi rendah karbon sehingga mempermudah penyerapan produk di pasar internasional. 

Terkait dengan RUPTL 2021–2030, Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini memaparkan, sejumlah langkah ditempuh perusahaan setrum negara itu untuk mencapai pengembangan pembangkit listrik hingga 40,57 gigawatt (GW) pada 2030.

Pertama, meningkatkan keberhasilan commercial operation date (COD) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang berkontribusi besar terhadap bauran energi bersih.

Kedua, program dedieselisasi PLTD yang tersebar menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 1,2 gigawatt peak (GWp) dengan baterai. Ketiga, pembangunan PLTS 4,7 GW, dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) 0,6 GW. Keempat, implementasi co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

“Setelah 2025, pembangkit dasar yang sebelumnya dirancang menggunakan PLTU batu bara diganti dengan PLT EBT Base 1 GW, serta melakukan retirement 1,1 GW PLTU subcritical di Muara Karang, Tanjung Priok, Tambak Lorok, dan Gresik pada 2030,” katanya, Selasa (5/10/2021).

Selain itu, pengembangan pembangkit energi terbarukan juga harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, serta keekonomian. Upaya tersebut harus diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi EBT. “Sehingga ke depan Indonesia tidak menjadi hanya negara pengimpor EBT belaka,” terangnya.

Ke depan, Zulkifli optimistis EBT tidak hanya sebatas energi bersifat intermiten. Energi terbarukan nantinya dapat menjadi pemikul beban dasar atau base load yang akan bersaing dengan energi fosil.

“Dan saat itulah development and application renewable energy akan menjadi kekuatan PLN untuk menjamin seluruh pelosok negeri menyala dengan listrik yang ramah lingkungan. PLN pun optimistis dapat mengurangi emisi karbon sebesar 100 juta metrik ton dari proyeksi sebesar 280 juta metrik ton pada 2030 melalui RUPTL hijau ini,” sebutnya.

Namun demikian, optimalisasi pengembangan EBT juga masih harus melalui jalan yang cukup terjal mengingat sejumlah tantangan yang masih mengadang. Pengembangan EBT tidak mudah, khususnya bagi Indonesia yang saat ini masih sangat bergantung pada sumber energi fosil.

Hingga kini, pemanfaatan EBT di Indonesia baru mencapai sekitar 2,5% dari total potensi EBT yang diperkirakan mencapai lebih dari 400 gigawatt (GW).

Sejumlah tantangan dalam pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik, antara lain, keekonomian EBT yang dinilai masih belum kompetitif dibandingkan dengan harga pembangkit berbahan bakar fosil.

Presiden Joko Widodo mengamati turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Abriawan Abhe

Selain itu, dibutuhkan waktu yang relatif lama dalam pembangunan, mulai dari perizinan, kendala geografis, hingga keadaan kahar (longsor). Tak hanya itu, pemanfaatan EBT juga masih dibayangi sifat intermiten pada energi tersebut.

Sifat intermiten pada pembangkit listrik berbasis EBT ini disebabkan oleh ketergantungannya pada cuaca. Penyerapan daya hanya akan bisa maksimal bila dalam cuaca yang mendukung, seperti matahari untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin pada pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai bauran EBT yang lebih dominan dalam RUPTL PLN 2021—2030 akan menimbulkan masalah baru bagi ketersediaan pasokan dan juga harga listrik bagi masyarakat.

Menurut dia, dalam pengembangan EBT sampai dengan saat ini masih terdapat sejumlah masalah yang belum bisa diselesaikan, terutama terkait dengan harga yang masih lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil.

Mamit berpendapat, dengan harga listrik EBT yang lebih mahal maka terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) atau penambahan subsidi kelistrikan khusus EBT dari pemerintah.

"Kedua opsi ini akan memberikan dampak kepada masyarakat jika naik dan negara jika harus ditambah subsidi. Belum lagi pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak signifikan akan terus menyebabkan PLN kelebihan pasokan apalagi skema selama ini selalu TOP dimana PLN harus membeli," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Dia menambahkan, sifat intermittensi pada EBT juga dinilai akan menimbulkan masalah bagi ketersediaan pasokan listsrik ke depannya. Dengan porsi EBT yang lebih dominan, maka perlu adanya cadangan pasokan yang bisa diandalkan.

Sebagai contoh, kejadian krisis energi di Eropa menunjukkan bahwa pasokan listrik dari pembangkit EBT masih belum dapat diandalkan untuk menjadi energi primer. Pada saat sumber EBT tidak tersedia, maka akan menimbulkan kekacauan pada pasokan listrik dan akhirnya kembali menggunakan energi fosil sebagai energi primer.

Menurut Mamit, pengembangan EBT harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian masyarakat. Pengembangan EBT dinilai perlu dilakukan secara realistis agar dalam pelaksanaannya tidak mengorbankan banyak pihak.

"Terakhir, terkait dengan pengembangan industri dalam negeri terkait dengan EBT ini jangan sampai nanti kita hanya menjadi pasar impor untuk peralatan EBT sama seperti saat ini menjadi net importir minyak. Jadi harus ada pengembangan industri dalam negeri," jelanya.

Senada, anggota Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Anton S. Wahjosoedibjo pernah mengatakan bahwa perlu adanya sinergi dan integrasi antara EBT dan non-EBT untuk memenuhi kebutuhan listrik yang berkeekonomian, rendah emisi karbon, dan berkelanjutan.

“Pangsa EBT dalam bauran energi nasional sampai dengan 2020 masih di bawah 10%. Sulit mengandalkan hanya pada EBT untuk menurunkan emisi karbon mencapai target 29% pada 2030,” ujarnya.

Sinergi EBT dan non-EBT dibutuhkan karena hanya pembangkit jenis tertentu saja yang dapat menghasilkan listrik secara berkelanjutan, seperti PLTP, PLTA, dan PLTbio. Sementara itu, PLTS dan PLTB menghasilkan listrik secara intermiten sehingga perlu didukung oleh cadangan energi baterai atau dikombinasikan dengan EBT lain, atau didukung oleh pembangkit fosil.

Selain itu, Anton juga menilai bahwa menggantikan PLTU dengan pembangkit EBT hampir tidak mungkin, mengingat lokasi sumber EBT yang dapat memikul beban besar tidak sesuai, sifat sejumlah EBT yang intermiten, serta biaya tinggi dan kebutuhan lahan luas untuk PLTS dan PLTB.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan tren transisi energi perlu disikapi secara hati-hati agar pasokan energi untuk masyarakat tetap terjamin. Indonesia disebut tidak perlu terburu-buru untuk melakukan perpindahan energi.

Menurut dia, krisis energi yang terjadi di Inggris dan China menunjukkan negara yang sudah lebih siap dalam banyak aspek masih menghadapi risiko. Dia menilai Indonesia sangat berpotensi menghadapi risiko yang sama dengan negara-negara tersebut.

"Indonesia perlu lebih hati-hati dalam menyikapi proses transisi energi," katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Menurut dia, krisis energi di China dan Inggris memberikan pelajaran keberlanjutan pasokan adalah kunci transisi energi. Sepanjang EBT belum bisa menjamin keberlanjutan pasokan, maka perna energi fosil tetap harus dikelola dengan baik secara paralel.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa rencana dalam 10 tahun ke depan tersebut merupakan langkah penting untuk menuju dekarbonisasi 2060 atau bahkan lebih awal.

Menurutnya, bauran pembangkit berbasis EBT masih dapat ditingkatkan, khususnya mulai 2026–2030. Dia optimistis bauran energi terbarukan dapat mencapai 23% sepanjang 2021–2025 sesuai dengan target pemerintah.

“Kami menyambut gembira RUPTL dengan kapasitas EBT yang lebih besar, 51,6% dari total kapasitas yang direncanakan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Meski begitu, dia menyebut bahwa masih ada gap secara nasional sekitar 2–4 gigawatt (GW) yang harus dipenuhi oleh pemegang wilayah usaha non-PLN dan kontribusi masyarakat.

Selain itu, IESR juga menyoroti kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang mencapai 4,68 GW hingga 2030, padahal potensinya 3,4 terawatt (TW) sampai 20 terawatt peak (TWp) dan bisa dibangun dengan cepat, khususnya PLTS atap dan floating PV.

Namun demikian, pemerintah telah mempertimbangkan secara matang terkait dengan peningkatan permintaan, pembangkitan, transmisi maupun distribusi listrik.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan bahwa dalam penyusunan RUPTL PLN 2021—2030, pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan diskusi dengan lembaga nasional maupun internasional untuk mengatasi berbagai macam tantangan ke depan.

Beberapa di antaranya adalah International Energy Agency, National Renewable Energy Laboratory, hingga Asean Centre Energy dari Asean.

“Diskusi ini juga dilakukan dengan perguruan tinggi nasional, khususnya mengenai dampak masuknya pembangkit intermiten terhadap sistem kelistrikan di Indonesia,” katanya, Selasa (5/10/2021).

RUPTL PLN kali ini juga merencanakan pembangunan transmisi untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik.

Dalam prosesnya, pemerintah berupaya menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, serta membawa energi listrik dari daerah oversupply kepada wilayah yang defisit energi.

Selain itu, pemerintah juga merencanakan penyaluran listrik ke kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), lokasi industri smelter, hingga peningkatan sumber daya EBT ke pusat beban. “Mengingat pada umumnya potensi EBT terletak jauh dari pusat beban listrik,” terangnya.

Secara global, China sudah serius menggalakkan penggunaan EBT setelah World Research Institute menobatkan Negeri Panda itu sebagai negara penghasil karbon nomor wahid dengan 12.399 juta metrik ton karbondioksida pada awal 2018. Jumlah itu setara dengan 26,1% dari total yang dihasilkan secara global.

Data terakhir Union of Concerned Scientist yang diperbarui 12 Agustus 2020 menyebut, Negeri Tirai Bambu telah menghasilkan 10,06 metrik gigaton karbondioksida. Jumlah tersebut berkontribusi 28% terhadap total emisi dunia.

Negara penyumbang emisi terbesar kedua adalah Amerika Serikat (AS). Namun, Negeri Paman Sam ‘hanya’ menyumbang setengah dari apa yang dihasilkan China, yakni 5,41 metrik gigaton emisi karbon.

Dilansir Bloomberg yang dikutip Bisnis.com, pemanfaatan energi surya kian berkembang di negara itu. Instalasi PLTS atap misalnya, telah melonjak hingga 161% sepanjang tahun ini dibandingkan dengan periode sama pada 2020.

Masifnya pemanfaatan energi surya ikut didorong oleh subsidi yang diberikan pemerintah hingga akhir tahun. China mematok bauran energi bersih mencapai 200 GW pada 2025 dan menjadi 1.000 GW dalam jangka panjang.

Hingga kini, sedikitnya 12 negara tidak lagi menggunakan PLTU. Beberapa di antaranya Austria, Swedia, Albania, Belgia, hingga Lithuania. Belgia adalah negara pertama yang melakukan transisi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.