Menuju Renegosiasi Tarif Bea Keluar Tembaga Freeport

Pemegang saham Freeport Indonesia, Freeport McMoran Inc mengajukan keberatan dan meminta agar dapat mengajukan negosiasi ulang perkara tarif bea keluar konsentrat tembaga seiring progres pembangunan smelternya yang sudah melampaui 74 persen.

Rinaldi Azka

11 Agt 2023 - 14.59
A-
A+
Menuju Renegosiasi Tarif Bea Keluar Tembaga Freeport

Bisnis, JAKARTA - Munculnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 mengenai Perubahan Ketiga Atas PMK Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dinilai telah memberikan kesan adanya ketidakpastian usaha.

"Padahal, investasi dan usaha di bidang pertambangan itu membutuhkan kepastian hukum dan perpajakan," ujar Hendra Sinadia, anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bidang ESDM sub komite Tambang dan Mineral, dikutip Jumat (11/8/2023).

Menurutnya ini dalam merespons rencana negosiasi PT Freeport Indonesia terkait aturan baru Kementerian Keuangan Nomor 39/PMK.010/2022. Media sebelumnya sempat memberitakan pihak Freeport ingin menggugat pemerintah. 

Namun, pihak perusahaan tambang yang kini saham mayoritasnya dipegang BUMN MIND ID ini justru mengklarifikasi bahwa Freeport tidak berniat menggugat, hanya ingin mengajukan keberatan dan banding terhadap aturan baru yang membebani biaya dalam proses ekspor.

Hendra mengatakan ada tiga kunci dalam menarik datangnya investasi ke Indonesia, yakni cadangan sumber daya alam, kepastian hukum, dan perpajakan. Sejauh ini, kata dia, Indonesia  mempunyai cadangan mineral yang besar. 

"Namun kuncinya dua, kepastian hukum dan perpajakan, yang terjadi adalah seringnya berubah-ubah aturan. Padahal investasi sektor tambang jangka panjang," ujar pria yang juga menjabat sebagai Direktur Ekskutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) ini.

Hendra menilai, keberatan yang diajukan Freeport ini sesungguhnya hal lumrah dilakukan oleh setiap pengusaha dan perusahaan. Di dalam aturan kepabeaan, bahkan perpajakan, itu telah mengatur mekanisme pengajuan keberatan.

"Jadi [keberatan Freeport] itu memang hal yang lumrah. Itu diatur dalam perundang-undangan dan di Direktorat Jendral Pajak (DJP) itu juga ada layanan pengaduannya. Jika pengusaha melihat ada tarif pajak atau bea keluar yang dianggap memberatkan dan dianggap tidak sesuai dengan kesepakatan ya mereka bisa mengajukan keberatan," kata Hendra.

Hendra menyarankan pengusaha dan pemerintah harusnya dapat duduk bersama untuk membicarakan jalan tengah dari aturan baru Kemenkeu ini.

Hendra memahami pemerintah tentunya ingin mendapatkan pemasukan bagi negara dengan diterbitkannya aturan baru ini. Namun, di sisi lain, pemerintah diminta mempertimbangkan berbagai aspek.

"Pemerintah perlu memahami bahwa investasi di bidang tambang seperti Freeport dan lainnya itu mahal, jangka panjang dan risikonya tinggi sehingga perubahan material harus dibahas. Karena skemanya bisa berubah dan berdampak panjang sehingga Freeport itu (sebagai perusahaan terbuka) memiliki keterbukaan informasi juga kepada bursa. (Keberatan) ini sebuah (sikap) keterbukaan juga. Jadi ini bentuk keterbukaan informasi, bukan gugatan," ujar Hendra.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai dalam perjanjian business to busines itu sangat wajar jika perusahaan mengajukan keberatan kepada mitra bisnisnya. Keberatan itu pada dasarnya bertujuan untuk membuka dialog, meluruskan atau klarifikasi suatu hal hingga mendapatkan kejelasan.

Baca Juga : 5 Fakta Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2023

Dengan analogi seperti itu, ekonom Indef ini menilai keberatan dari pihak Freeport itu harusnya dilihat sebagai permintaan penjelasan.

“Freeport mungkin ingin mendapatkan kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak selaras atau sinkron,” ujar Tauhid Ahmad. 

Tauhid juga menyarankan dalam merespons permintaan Freeport tersebut sudah sepatutnya pemerintah membuka ruang dialog guna menemukan titik temu. Ia sangat mengapresiasi jika pemerintah bisa terbuka untuk berdiskusi, menerima masukan dan mencari solusi bersama. Menurut dia, hal tersebut dapat menjadi contoh baik kepada para investor. 

“Apalagi perusahaan-perusahaan tambang itu rata-rata merupakan investor besar dengan nilai investasi yang tidak sedikit dan telah menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar,” ujar Tauhid.

Baca Juga : Sinyal Kuat Deindustrialisasi di Ekonomi Paruh Pertama

Sebelumnya, PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam pernyataannya menyiratkan keberatan terhadap ketentuan baru pemerintah soal tarif bea keluar konsentrat mineral logam yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 12 Juli 2023 lalu.

Sejumlah fakta pun mengemuka setelah bos tambang asal Amerika Serikat, Freeport McMoRan Inc. (FCX) menyampaikan keberatannya dalam laporan kuartalan Freeport-McMoRan Inc. (FCX) per 30 Juni 2023 kepada US Securities and Exchange Commision pada Kamis (4/8/2023).

Pemegang 48,8 persen saham PTFI yang memiliki izin usaha pertambangan khusus (IUPK) di tambang Grasberg, Papua itu dalam pernyataannya menyiratkan keberatannya dengan ketentuan baru soal bea keluar tersebut.

Seiring dengan progres pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga Manyar PTFI di Gresik, Jawa Timur yang telah mencapai lebih dari 50 persen, Freeport-McMoRan menyatakan bahwa PTFI seharusnya tidak lagi dikenakan tarif bea keluar konsentrat tembaga.

Sesuai dengan ketentuan IUPK PTFI yang efektif pada 2018 lalu, kata President Freeport-McMoRan Kathleen Quirk, bea keluar konsentrat tidak lagi dikenakan setelah progres smelter mencapai 50 persen. 

“Berdasarkan IUPK kami, yang memberikan ketentuan yang stabil untuk pajak, royalti, dan bea [keluar], bea dihapuskan secara bertahap setelah kemajuan [smelter] 50 persen,” ujar Quirk dalam conference call FCX kuartal II/2023.

Saat ini, imbuhnya, PTFI tengah mendiskusikan penerapan revisi tarif bea keluar tersebut dengan Pemerintah Indonesia. “Kami sedang meninjau ketentuan IUPK dengan Kementerian Keuangan dan kami terlibat dalam diskusi tentang masalah ini [bea keluar],” katanya.

Baca Juga : Sinyal Asa Pemulihan Ekonomi China Makin Pudar

Respons Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati angkat bicara mengenai keberatan yang diajukan PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait dengan kebijakan bea keluar ekspor konsentrat tembaga.

Sri Mulyani memilih irit bicara saat dihadapkan dengan pertanyaan tersebut dan hanya mengatakan urusan itu akan didiskusikan kemudian hari.

"Nanti ya, kita diskusikan," katanya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (10/8/2023).

Keberatan Freeport muncul pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang baru saja diterbitkan pemerintah.

Baca Juga : Hilangnya Peredaran Beras Bulog di Pasar Induk 

Adapun, aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Berdasarkan beleid ini, tarif bea keluar untuk konsentrat tembaga dengan kadar lebih dari atau sama dengan 15 persen Cu dikenakan sebesar 7,5 persen pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 10 persen pada periode 1 Januari-31 Mei 2024 bagi perusahaan dengan kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter 70-90 persen.

Untuk perusahaan dengan progres smelter di atas 90 persen, bea keluar yang dikenakan sebesar 5 persen pada periode 17 Juli-31 Desember 2023 dan naik menjadi 7,5 persen pada periode 1 Januari-31 Mei 2024.(Akbar Evandio, Denis Riantiza Meilanova)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.