Menyiasati Perubahan Iklim dari Sektor Konstruksi

Kenaikan suhu dan perubahan iklim global setidaknya berdampak terhadap 3 hal bagi sektor konstruksi, sehingga pemain di dalamnya pun mesti turut beradaptasi.

Rinaldi Azka

8 Jul 2023 - 13.12
A-
A+
Menyiasati Perubahan Iklim dari Sektor Konstruksi

Bisnis, JAKARTA - Kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang terjadi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana di seluruh belahan bumi ini. Untuk itu, berbagai kebijakan global guna mengontrol emisi karbon, didorong untuk segera diimplementasikan di seluruh dunia. 

Di Indonesia, pada 2023 ini pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29 persen menjadi 31,8 persen untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna. 

Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2). Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi. 

“Pemerintah tentunya sudah punya tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi hal ini. Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7 persen,” terang Nico dikutip Sabtu (7/8/2023).

Nicodemus menjelaskan ada 3 dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Pertama, adanya peningkatan atau penurunan curah hujan. Kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrim. Terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di tanah air. 

“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” katanya. 

Sementara itu, Vice President Tatalogam Group Stephanus Koeswandi menyebut masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah saja. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang. 

“Jadi ini bukan tanggungjawab pemerintah saja. Semuanya harus terlibat. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa ancaman pemanasan global dan perubahan iklim itu nyata dan sudah bisa dirasakan sekali belakangan ini. Untuk itu kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bergabung bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan kita,” urainya.

Stephanus menambahkan, kolaborasi antara pelaku industri dan saling berbagi informasi adalah penting untuk memetakan emisi yang dilepaskan dalam ekosistem rantai nilai agar dapat merumuskan langkah-langkah berbasis sains untuk mengambil tindakan dekarbonisasi. Hal yang sama dilakukan Tatalogam Group bersama Pusat Industri Hijau (PIH), Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian. 

Baca Juga : Top 5: IPO Bioskop XXI Hingga Maraknya IPO di Tahun Politik 

Herman Supriadi, Kepala Pusat Industri Hijau (PIH) menerangkan saat ini regulasi pemberlakuan Sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk Baja Lapis Lembaran sedang dalam proses penetapan oleh Menteri Perindustrian. PT Tata Metal Lestari berperan aktif dalam perumusan SIH. Jadi ada 4 pilar yang kami fokuskan dalam menyusun rumusan SIH ini. 

"Pertama mengenai pembatasan penggunaan energinya, lalu pelepasan karbon atau Gas Rumah Kaca (GRK), kemudian bagaimana manajemen limbahnya, dan yang terakhir dan paling penting adalah batasan OEE sebagai indikator peningkatan daya saing industri. Empat poin ini yang perlu diukur dan dimonitor secara berkelanjutan supaya kita bisa mengurangi efek dari perubahan iklim,” terangnya. 

Stephanus kembali menambahkan hal lain yang penting dilakukan adalah berinovasi. Dengan terus berinovasi, industri dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, efisiensi dan produktivitas, kualitas hidup, serta yang terpenting juga mendukung keberlanjutan lingkungan. 

Baca Juga : Jelajah BUMN 2023; Melihat Taji ASDP Memoles Pelabuhan Merak

Industri baja, semen dan bahan kimia diketahui merupakan tiga industri penghasil emisi teratas dan termasuk yang paling sulit untuk didekarbonisasi. Karena itu penggunaan teknologi ramah lingkungan, hingga inovasi-inovasi perlu dilakukan agar bisa mengurangi penggunaan energi serta mengontrol emisi yang ditimbulkan.

“Sebagai contoh, untuk menekan penggunaan energi dan mengurangi emisi, kami PT Tata Metal Lestari berinovasi dengan memproduksi Baja Lapis Aluminium Seng (BLAS) yang kami beri nama Super Nexalum dan Super Nexium. Kedua produk ini memiliki ketahanan hingga 100 tahun. Dengan begitu, baja yang seharusnya dalam beberapa tahun sudah di daur ulang dengan memakan energi yang besar, bisa kami perpanjang usia pakainya sehingga lebih tahan lama,” kata Stephanus. 

Kemudian ada juga inovasi Domus Fastrack. Rumah berbasis baja ringan yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen mulai dari gambar hingga terbentuk panel-panelnya yang sudah sesuai ukuran. Dengan teknologi terbaru ini, tidak ada limbah yang dihasilkan selayaknya proses pembangunan rumah pada umumnya. 

Baca Juga : MedcoEnergi-PLN Kerja Sama Lakukan Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca

Di Tatalogam Lestari hal yang sama juga dilakukan. Sebagai produsen atap dan genteng metal terbesar di tanah Air, PT Tatalogam Lestari juga telah berinovasi dengan menghasilkan produk-produk akhir dari baja lapis yang lebih ramah lingkungan.

"Kami bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung melalui penelitian Dr. Eng Beta Paramita, mengembangkan teknologi cool roof yang dapat mengurangi panas hingga 6 derajat dan juga bisa merefleksikan sinar matahari tersebut jadi tidak terjebak di dalam kota sehingga tidak terjadi Urban Heat Island Effect,” terang Stephanus.  

Baca Juga : BMW CE02 eParkourer, Bukan eMotorcycle atau eScooter 

Stephanus menjelaskan, Urban Heat Island merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu lingkungan suatu wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Kondisi ini dampak banyaknya radiasi matahari yang terpantulkan dan terserap oleh lingkungan dari bidang-bidang infrastruktur sebuah wilayah, seperti permukaan jalan, permukaan dinding, dan permukaan atap sebuah bangunan. 

“Untuk itu pembangunan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan pengguna bangunan. Semua elemen yang terlibat dalam pembangunan, baik itu pemerintah, pengusaha, hingga masyarakat luas sudah seharusnya bergerak bersama untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, dengan cara mengetahui bagaimana memilih produk konstruksi yang berkualitas baik dan ramah lingkungan, terutama dalam pembangunan IKN nantinya. Dengan begitu dampak negatif yang timbul akibat pembangunan infrastruktur yang memperparah kondisi lingkungan dan kesehatan pengguna bangunan, dapat dicegah,” paparnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.