Menyibak Fakta-Fakta di Balik Kenaikan Harga BBM Subsidi 2022

Berbagai pertanyaan pun menyeruak ke tengah masyarakat ikhwal keputusan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi, apalagi sebelumnya masyarakat juga dibuat bimbang karena banyaknya isu yang berkembang menjelang kebijakan harga baru BBM itu diumumkan.

Ibeth Nurbaiti

7 Sep 2022 - 20.30
A-
A+
Menyibak Fakta-Fakta di Balik Kenaikan Harga BBM Subsidi 2022

Pengendara mengisi bahan bakar di salah satu SPBU di Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar subsidi, dan Pertamax mulai Sabtu (3/9/2022)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis, JAKARTA  Kendati pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar subsidi, dan Pertamax pada Sabtu (3/9/2022), hingga kini masih banyak pihak yang menyayangkan keputusan tersebut.

Berbagai pertanyaan pun menyeruak ke tengah masyarakat ikhwal keputusan tersebut, apalagi sebelumnya masyarakat juga dibuat bimbang karena banyaknya isu yang berkembang menjelang kebijakan harga baru BBM itu diumumkan.

Terlebih, pemerintah juga masih berkeinginan untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang kian tinggi terhadap Pertalite dan Solar subsidi, dengan tetap menambah kuota BBM bersubsidi tersebut.

Baca juga: Polemik BBM: Kuota Jebol, Subsidi Mental, Bakar Uang Jalan Terus

Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkapkan bahwa sebanyak 80 persen subsidi BBM dikonsumsi oleh masyarakat mampu secara finansial dan hanya 20 persen saja subsidi BBM yang dinikmati oleh masyarakat kelas bawah.

Nyatanya, penambahan kuota Pertalite dan Solar subsidi dilakukan untuk menjamin ketersediaan BBM bersubsidi di tengah masyarakat.

Lantas, apa yang membuat pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan yang tidak populis tersebut? Apa saja fakta-fakta yang ada di balik kenaikan harga BBM 2022?


Untuk diketahui, dengan kebijakan harga baru BBM, Pertalite dipatok naik menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650 per liter. Kemudian, harga Solar subsidi naik menjadi Rp6.800 per liter dari sebelumnya Rp5.150 per liter. Sementara itu, untuk BBM nonsubsidi jenis Pertamax, pemerintah menaikkan harganya menjadi Rp14.500 per liter dari sebelumnya Rp12.500 per liter.

Sebenarnya, kebijakan yang menaikkan ataupun menurunkan harga BBM bukan hanya kali ini saja diambil Presiden. Pada awal jabatannya, Jokowi juga sempat menaikkan harga BBM subsidi meskipun 1,5 bulan setelahnya kembali menurunkan harga komoditas subsidi tersebut.

Baca juga: Fakta Kondisi APBN dan Sinyal Kuat Harga BBM Subsidi Naik

Hanya saja, menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, pemerintah acap kali terlambat melakukan kebijakan antisipatif dalam menghadapi persoalan BBM. 

Untuk itu, pemerintah harus bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan keputusan menaikkan harga BBM. Wajar saja masyarakat tidak sepakat naik. Persoalan di belakang itu, masyarakat tidak mau tahu. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyampaikan hal-hal yang berkaitan, kenapa BBM naik. Lalu, bagaimana pemerintah mengatasi pangan,” katanya seperti dikutip Antara, Senin (5/9/2022).

Aviliani memahami keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM karena memang anggaran subsidi BBM yang terus membengkak, utamanya karena ada sentimen akibat perang Rusia-Ukraina.

Pemerintah dalam asumsi makro APBN 2022 sudah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$80  per barel. Namun, perang membuat suplai BBM tersendat dan membuat harganya meroket hingga US$105 per barel.

Sehingga mau tidak mau harga BBM itu harus naik. Apalagi kebijakan pemerintah tentang harga minyak itu sebenarnya tidak disubsidi lagi, jadi akan naik dan turun sesuai harga minyak dunia dimana kita tidak miliki sendiri. Kita masih tergantung impor,” katanya.

Baca juga: Menanti Matangnya Aturan Pembatasan BBM Bersubsidi

Kenaikan BBM juga dinilai tidak bisa dihindari lantaran sebanyak 80 persen yang menggunakan BBM bersubsidi adalah mereka yang tidak membutuhkan. Kalangan industri, imbuhnya, bahkan juga masih banyak menggunakan BBM bersubsidi, selain juga rumah tangga mampu.

Aviliani tidak menampik kemungkinan inflasi yang akan naik akibat kenaikan harga BBM. Itu sebabnya, pemerintah perlu menjaga pasokan pangan agar jangan sampai menimbulkan kenaikan harga yang tidak wajar.

Presiden Jokowi sebelumnya menyebutkan bahwa pemerintah telah berupaya kuat melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia dan ingin menjaga agar harga BBM tetap terjangkau dengan memberikan subsidi.

“Tetapi anggaran subsidi dan kompensasi 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,2 triliun menjadi Rp502,4 triliun dan itu akan meningkat terus. Dan lagi, lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi,” kata Jokowi dalam keterangan resminya secara virtual, Sabtu (3/9/2022).

Menurutnya, keputusan untuk menaikkan harga BBM subsidi merupakan hal yang sulit dan opsi terakhir yang akan dilakukan pemerintah. Namun, beban subsidi yang terus meningkat memaksa pemerintah untuk mengalihkan subsidi sehingga harga BBM yang selama ini mendapatkan subsidi akan mengalami penyesuaian.

Baca juga: Apa Saja Faktor yang Mempengaruhi Harga BBM Naik atau Turun?

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan subsidi energi masih akan tetap naik dari Rp502 triliun menjadi Rp653 triliun jika rata-rata harga ICP US$99 per barel. Sementara itu, jika harga ICP sebesar US$85 per barel sampai Desember 2022 maka kenaikan subsidi menjadi Rp640 triliun.

“Ini adalah kenaikan Rp137 triliun atau Rp151 triliun, tergantung dari harga ICP. Perkembangan dari ICP ini harus dan akan terus kami monitor, karena memang suasana geopolitik dan suasana dari proyeksi ekonomi dunia masih akan sangat dinamis,” ungkapnya.

Di sisi lain, Energy Watch menilai kenaikan harga BBM bersubsidi adalah suatu keharusan dan mengibaratkannya sebagai pil pahit yang harus ditelan.


Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan tidak menampik banyaknya pihak yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan harga Pertalite, Solar subsidi, dan Pertamax karena ada risiko kenaikan inflasi.

Memang nggak bisa dinikmati semua orang, tinggal pemerintah gimana caranya pil pahit itu nggak terlalu pahit, misalnya dengan BLT [bantuan langsung tunai],” katanya, Senin (5/9/2022).

Menurutnya, kebijakan tersebut bisa menahan beban subsidi energi yang mencapai Rp502 triliun. Apabila tidak dilakukan kenaikan harga BBM, beban subsidi bisa melonjak sebesar Rp200 triliun.

Baca juga: Pil Pahit yang Sulit Ditelan Meski Subsidi BBM Kian Meradang

Menurut dia, akan lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke sektor produktif lainnya, mengingat subsidi BBM saat ini 80 persen tidak tepat sasaran.

Mamit juga mendorong adanya bantuan di sektor transportasi umum, UMKM, nelayan, petani, dan lainnya. Besarnya tekanan harga BBM terhadap keuangan negara salah satunya bisa terjadi karena BBM dalam negeri saat ini sebagian besar dipenuhi dari minyak mentah impor.


Ditambah lagi, produksi migas nasional terus mengalami penurunan, yang pada 2021 hanya mencapai 660.000 barel per hari, jauh dari cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang mencapai lebih dari 1 juta barel per hari.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad berpendapat bahwa anggaran pemerintah tidak akan cukup mampu jika menahan subsidi terlalu lama. “Pemerintah harus pandai menyiasatinya, apalagi harga minyak dunia saat ini sudah mengalami penurunan, ujarnya.

Tauhid juga menyebut tidak semua anggaran pemerintah terserap. Artinya, ada kemungkinan keuangan pemerintah surplus dan masih ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa).

Baca juga: Perbandingan Harga BBM Indonesia dan Malaysia, Cek Faktanya!

Namun demikian, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pernah mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya bisa menggunakan surplus APBN untuk menambal subsidi energi, ketimbang menaikkan harga BBM subsidi. 

Sepanjang Januari—Juli 2022 subsidi energi baru terserap Rp88, triliun berdasarkan data APBN Kita, sementara APBN tengah surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen dari PDB pada Juli 2022.

Itu artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk mendorong penerimaan negara sehingga surplus tersebut dapat digunakan untuk menambal subsidi energi.

“Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi,” katanya.

Menurut dia, solusi terbaik adalah dengan merevisi aturan untuk menghentikan Solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar. Dengan menutup kebocoran Solar, kata dia, negara bisa menghemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi Solar adalah jenis subsidi.

Baca juga: Konsumsi BBM Bersubsidi Makin Tak Terkendali, Salah Siapa?

“Atur dulu kebocoran Solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis Pertalite,” tegasnya.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga dapat secara paralel memangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

 

Reportase: (Annasa Rizki Kamalina/Ni Luh Anggela/Nyoman Ary Wahyudi/Wibi Pangestu Pratama/Fitri Sartina Dewi/Rio Sandy Pradana)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.