Menyingkap Biang Kerok Mahalnya Harga Gula di Indonesia

Kebijakan nontarif dalam proses impor gula dinilai tetap diperlukan guna menjaga harga di petani, meskipun konsumen di Tanah Air harus membayar lebih dibandingkan dengan rata-rata harga di luar negeri.

13 Mei 2021 - 01.38
A-
A+
Menyingkap Biang Kerok Mahalnya Harga Gula di Indonesia

Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub-Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (3/4/2020)./ANTARA

Bisnis, JAKARTA — Sengkarut kebijakan harga acuan di tingkat petani dan konsumen menyebabkan harga gula konsumsi di Indonesia tercatat sebagai salah satu yang paling mahal di Asean.

Mengacu pada data indeks harga bulanan rumah tangga yang dihimpun Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), rerata harga gula di toko modern di Jakarta berada di level Rp12.200 per kilogram (kg).

Sebagai perbandingan, harga komoditas manis tersebut hanya berada di kisaran Rp10.250—Rp10.500 per kg di tingkat eceran di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kendati demikian, harga gula di beberapa kota besar juga terpantau lebih tinggi dibandingkan dengan harga di Jakarta. Di Manila, Filipina, misalnya, harga rata-rata gula konsumsi adalah Rp19.300 per kg. Sementara itu, di Singapura sekitar Rp16.000 per kg.

Menanggapi anomali tersebut, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Supriadi tak menampik harga gula kristal putih (GKP) di Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di beberapa lokasi di Asean.

Namun, dia menyebutkan hal ini tak lepas dari penetapan harga pokok produksi (HPP) gula di tingkat petani sebagai upaya perlindungan petani tebu.

“Benar harga GKP di dalam negeri lebih mahal, tetapi kembali lagi kita ada HPP. [Ketetapan] HPP saja sudah Rp9.100 per kg untuk melindungi petani dan ada HET [harga eceran tertinggi] untuk menjaga harga di konsumen,” kata Supriadi.

Dia juga menyebutkan harga di setiap negara tidak bisa langsung dibandingkan karena kondisi industri gula berbasis tebu cenderung berbeda-beda.

Belum lagi, harga gula rafinasi dengan bahan baku gula mentah impor lebih murah dibandingkan harga GKP.

“Kita tidak bisa membandingkan dengan negara lain karena tidak semua punya pabrik gula berbasis tebu. Mungkin mereka gula mentahnya impor semua sehingga bisa rendah, sementara kita kan harus melindungi petani juga. Selain itu, intinya memang produktivitas kita di pabrik berbasis tebu yang belum cukup baik sehingga harga tebu mahal,” imbuhnya.

Supriadi mengatakan Indonesia merupakan satu dari segelintir negara yang melakukan segregasi pasar gula, yakni GKP untuk konsumsi dan gula rafinasi untuk industri. Umumnya, lanjut dia, gula yang beredar di tengah masyarakat negara lain hanyalah gula rafinasi.

Karyawan bekerja di dalam gudang penyimpanan stok gula pasir milik PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar, Jawa Timur./Antara 

KEBIJAKAN NONTARIF

Di sisi lain, pemerintah juga disarankan untuk meninjau kembali sejumlah kebijakan nontarif atau nontariff measures (NTM) yang diberlakukan dalam importasi gula. Sejumlah kebijakan dinilai mengurangi akses industri pengguna dan mengerek harga di tingkat konsumen.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan setidaknya terdapat beberapa NTM dalam perdagangan gula, salah satunya adalah klasifikasi jenis importir sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula.

Dalam beleid tersebut, impor gula mentah untuk bahan baku maupun impor gula rafinasi hanya dilakukan oleh usaha dengan angka pengenal importir produsen (API-P).

Sementara itu, impor gula dalam rangka stabilisasi harga dan pemenuhan stok hanya bisa dilakukan oleh usaha dengan API-P dalam bentuk gula mentah dan bagi badan usaha milik negara (BUMN) dalam bentuk GKP siap konsumsi.

Felippa mengelaborasi pula NTM berupa kuota dan lisensi nonotomatis yang ditentukan melalui proses panjang.

Mulai dari penerbitan rekomendasi di kementerian teknis sampai dengan keputusan kuota melalui rapat koordinasi terbatas (rakortas) di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Selain itu, terdapat kebijakan inspeksi prapengiriman di pelabuhan muat serta ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk GKP dan dan gula rafinasi.

“Pemberlakuan NTM ini berdampak pada pasokan, dia membatasi akses industri dalam memperoleh bahan baku. Sebagaimana diketahui, produksi tebu kita makin berkurang. Namun, kebutuhan terus naik setiap tahunnya dan mereka [industri] memerlukan bahan baku ini,” katanya. 

Dia mencatat kebijakan lisensi nonotomatis kerap diikuti dengan keterlambatan penerbitan izin impor. Proses yang membutuhkan waktu lama mengakibatkan kedatangan gula mentah terlambat.

Izin yang lambat terbit ini setidaknya dirasakan dampaknya pada awal pandemi 2020 ketika harga gula di tingkat konsumen menembus Rp17.000 per kg.

Mengutip laporan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), keterlambatan penerbitan izin impor turut memberi andil terhadap fluktuasi harga.

“Kebijakan NTM juga tercatat menambah biaya impor. Beberapa penelitian menunjukkan inspeksi yang diberlakukan serta ketentuan kemasan dan label membuat importir harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memenuhi syarat tersebut. Biaya impor juga diasosiasikan dengan keterlmbatan tadi. Kalau makin lambat maka menambah biaya,” lanjut Felippa.

Untuk itu, Felippa mengusulkan agar pemerintah dapat meninjau kembali serangkaian NTM yang diberlakukan. Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan regulatory impact assessment.

“Mungkin bisa dilihat keuntungan dan kerugian dari kebijakan NTM sehingga tidak memberatkan industri,” kata Felippa.

Dia juga menyampaikan usul agar pemerintah mempertimbangkan penggunaan sistem perizinan impor otomatis untuk mempersingkat proses perizinan.

Selama ini, keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan diambil melalui rapat koordinasi terbatas antarkementerian dan juga harus memenuhi berbagai persyaratan.

Felippa juga menyebutkan sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor. Penggunaan sistem ini dia nilai akan mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi serta menghilangkan peluang korupsi.

“Importir yang memenuhi persyaratan dapat mengimpor kapan saja, tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah,” katanya.

Buruh mengangkat gula rafinasi ke lambung kapal di Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan./Antara

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menilai mekanisme importasi gula untuk memenuhi pasokan yang selama ini berlaku sudah sesuai dan mengakomodasi upaya perlindungan harga di sisi petani. Namun, akurasi data menjadi tantangan dalam implementasi.

“Jika melihat kondisi sekarang, rakortas yang konsisten waktu pelaksanaannya tidak akan menjadi masalah. Namun, apakah angkanya benar? Volume yang diterbitkan apakah sudah sesuai dengan kapasitas industrinya?” tanyanya.

Dia menyebutkan kebijakan nontarif dalam proses impor gula tetap diperlukan guna menjaga harga di petani, meskipun konsumen di Tanah Air harus membayar lebih dibandingkan dengan rata-rata harga di luar negeri.

Budi menyampaikan pula bahwa harga gula di tiap negara Asean tidak bisa serta-merta dibandingkan, begitu pula dengan harga antarsesama negara produsen.

“Di Thailand, harga bisa murah di konsumen karena pemerintah menjaga harga di petani dan memberi subsidi output. Karena itu, insentif produksi terjaga dan produksi mereka tinggi dan bisa tetap ekspor,” paparnya.

Budi mencatat harga gula yang cenderung tinggi di Indonesia tak lepas dari belum berhasilnya kebijakan teknis budidaya dalam mengerek produktivitas tebu di Tanah Air.

Data Departemen Pertanian Amerika Serikat menunjukkan bahwa rendemen tebu di Indonesia hanya berkisar di angka 7,56%—8,07%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 9,2%, Thailand 10,7%, dan Australia 14,12%.

“Pabrik yang modern itu hanya berfungsi mengurangi risiko kehilangan saat proses giling, tetapi kuncinya tetap di kebun,” ujarnya. (Iim F. Timorria)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.