Meramu Skema Sewa Beli Solusi Kepemilikan Rumah Bagi MBR

Pemerintah terus berupaya memperluas fasilitas pembiayaan bagi MBR. Salah satunya lewat skema sewa beli (rent to buy) atau sewa milik (RTO) rumah bersubsidi dimana dilakukan dengan sewa terlebih dahulu lalu kemudian dapat menjadi milik melalui proses pembelian dalam jangka waktu tertentu.

Yanita Petriella

24 Jun 2023 - 00.48
A-
A+
Meramu Skema Sewa Beli Solusi Kepemilikan Rumah Bagi MBR

Pembangunan rumah MBR bersubsidi. dok Bisnis

Bisnis, JAKARTA – Backlog hunian yang mencapai level 12,75 juta berdasarkan data Susenas BPS pada 2021 menjadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Padahal, pada 2004, backlog perumahan mencapai 5,2 juta unit rumah. Jumlah ini akan terus berubah seiring pertambahan kebutuhan sekitar 800.000 unit setiap tahunnya yang berasal dari pertumbuhan keluarga baru.

Untuk diketahui, backlog adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).

Adapun backlog hunian yang mencapai 12,75 persen terdiri dari non Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sedangkan sisanya 87,25 persen merupakan kalangan MBR yang terdiri dari 19,6 persen fixed income atau pekerja tetap dan 74 persen dari kalangan informal atau non fixed income.

Untuk kalangan MBR, berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menekan angka backlog perumahan mulai dari program Sejuta Rumah hingga dukungan fiskal yang berupa pemberian Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang saat ini disinergikan dengan Tapera. Namun rupanya sejumlah jurus tersebut belum mampu mengurangi angka backlog hunian.

Baca Juga: Dilema Harga Baru Rumah Subsidi: Tekanan MBR & Berkah Pengembang

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur (DJPI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna tak menampik sulitnya kalangan MBR informal untuk memiliki rumah. Pasalnya selama ini, skema bantuan pembiayaan perumahan yang diberikan pemerintah sebagian besar menyasar kalangan formal. 

“Saat ini, pembiayaan perumahan MBR informal masih tersisih dan tertinggal dalam target realisasi pembiayaan bersubsidi perumahan MBR. Ketertinggalan ini terutama terjadi pada kelompok MBR desil 1 sampai dengan 3. Perlu langkah nyata dalam bentuk kebijakan, instrumen, dan alokasi guna mewujudkan kebijakan publik ekosistem pembiayaan mikro perumahan bagi MBR non formal,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Jumat (23/6/2023). 

Kementerian PUPR akan menata penerima program subsidi disesuaikan per segmennya. Pasalnya, selama ini program pembiayaan rumah subsidi yakni FLPP, SSB, BP2BT menyasar segmen yang sama yakni kalangan MBR sehingga menjadi tak optimal.

“Memang produk pembiayaan ini pada dasarnya niatnya baik agar masyarakat punya rumah. Namun kami akan tata produknya karena selama ini antar produk saling mematikan dan cenderung bank memilih FLPP. Kami akan tata agar semua program pembiayaan ini dapat terserap maksimal,” tuturnya.

Dia memaparkan terdapat 59,95 persen masyarakat bekerja pada sektor non formal, lalu sebanyak 74 persen diantaranya belum memiliki rumah. Sementara itu, dari 26 persen yang sudah memiliki rumah, sebesar 87 persen memerlukan perbaikan rumah. Lalu dari 74 persen yang belum memiliki rumah itu, sebanyak 41 persen diantaranya ingin membangun rumah sendiri.

“Karena itulah pembiayaan mikro perumahan bagi MBR informal merupakan tantangan yang serius ke depan. Bagaimana kita bisa membangun lewat skema program yang sudah ada dan terus dikembangkan. Jenis hunian juga perlu menjadi perhatian. Sementara itu urbanisasi yang semakin tinggi dan berpusat di kota juga harus diselesaikan biar tidak terjadi defocusing,” terang Herry.

Menurutnya, perlu perangkat yang harus disiapkan, agar sektor informal bisa masuk ke formal. Namun demikian, pilihan pembiayaan yang sudah ada harus terus dikembangkan dan jangan sampai bertabrakan satu sama lain.

“Segmentasi harus dirancang secara benar dan terstruktur,” ucapnya.

Pihaknya terus berkomitmen untuk meningkatkan kemudahan bagi MBR agar mendapatkan rumah layak melalui inovasi program bantuan pembiayaan perumahan. 

Sepanjang tahun ini, Kementerian PUPR mengembangkan pembiayaan perumahan yang menyasar beberapa kelompok masyarakat yaitu MBR informal melalui skema Rent to Own (RTO) yang dikombinasikan dengan contractual saving housing, masyarakat perkotaan yang diarahkan ke hunian vertikal dengan skema Staircasing Shared Ownership (SSO), dan generasi milenial melalui skema KPR dengan jangka waktu lebih panjang yang disesuaikan dengan housing career.

“Pemerintah terus berupaya untuk menyelesaikan backlog perumahan melalui program bantuan perumahan yang tidak hanya affordable tetapi juga equitable serta mendukung sustainabilitas bagi pihak yang terlibat dalam penyaluran bantuan subsidi perumahan. Tahun 2023, kami akan fokus pada pembiayaan perumahan untuk MBR informal melalui saving plan dengan BP Tapera. Jadi, para pekerja mandiri atau komunitasnya bisa memperoleh rumah apabila menabung selama 3-6 bulan di Tapera,” kata Herry. 

Baca Juga: Ketika Backlog Rumah Jadi Momok Menuju Indonesia Emas 2045


Butuh Agregator Skema Sewa Beli

Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Ditjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Haryo Bekti Martoyoedo menuturkan pemerintah terus berupaya memperluas fasilitas pembiayaan bagi MBR. Salah satunya lewat skema sewa beli (rent to buy) atau sewa milik (RTO) rumah bersubsidi dimana dilakukan dengan sewa terlebih dahulu lalu kemudian dapat menjadi milik melalui proses pembelian dalam jangka waktu tertentu.

“Skema RTO ini pengembangan kepemilikan, melihat dari masyarakat dimana kemampuan masyarakat terbatas di awal. Jadi saat ini masih sewa dulu dalam periode tertentu, kemudian di KPR kan,” ucapnya. 

Selama ini, skema sewa beli telah diterapkan di beberapa bank dan lembaga keuangan pembiayaan yang menyasar segmen pasar komersial atau non subsidi MBR. Kendati demikian, mekanisme sewa beli ini masih perlu dimatangkan dengan perbankan dan lembaga keuangan termasuk pengkajian dan pencarian entitas agregator yang menguasai atau mengelola aset hunian selama masa sewa berlangsung.

Untuk diketahui, agregator merupakan perusahaan yang sebagai pemilik aset serta menghubungkan penyewa kepada lembaga keuangan yang memiliki jasa pembiayaan sewa beli. Agregator juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembelian kembali atas objek sewa beli apabila penyewa wanprestasi. 

Adapun agregator ini sangat dibutuhkan agar masa sewa dalam skema RTO ini lebih panjang, tidak hanya berlangsung dalam jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun saja. Agregator ini bisa berasal dari pengembang maupun lembaga keuangan.

“Agregator akan bertindak sebagai pihak yang memiliki aset dan menghubungkan penyewa kepada lembaga keuangan yang memiliki produk pembiayaan sewa beli. Kemudian, juga bertindak sebagai pihak yang melakukan pembelian atas objek sewa beli jika terjadi wanprestasi oleh penyewa. Ini sangat penting fungsi aggregator, sehingga tidak hanya sewa di bawah 6 bulan saja tetapi bisa mencapai 15 tahun kemudian berpindah kepemilikannya melalui KPR karena ini bukan cicilan uang muka,” terangnya. 

Untuk itu, Kementerian PUPR hingga kini masih menggodok skema pembiayaan sewa beli tersebut. Menurutnya, hingga saat ini belum ada kesepatan sehinga membutuhkan pembahasan yang mendalam.

“Kami sekarang sudah memiliki ekosistem pembiayaaan, dan ekosistem sewa beli ini juga sudah mendesak untuk dibuat. Entitas-entitas tersebut perlu duduk bersama, termasuk siapa yang berperan menjadi agregator sampai dengan di level masyarakat berpenghasilan rendah. Kalau di level rumah komersial, kan, sudah ada agregator, ya, sudah mau,” ujar Haryo. 

Selain itu, Kementerian PUPR juga tengah menggodok skema pembiayaan SSO untuk syariah. Saat ini, Kementerian PUPR tengah mencari stakeholder baik dari lembaga keuangan dan pengembang syariah yang dapat diajak bekerjasama dalam pilot project untuk memudahkan kalangan MBR memiliki rumah. 

“Skema sudah ada tapi memang masih diskusi lagi dan diyakinkan kembali. Lembaga keuangan yang bisa jadi agregator terlebih tidak banyak margin di subsidi,” ucapnya. 

Terkait model sewa beli yang disiapkan, Haryo mengaku banyak model yang sebenarnya dapat diterapkan. Contohnya di Inggris, sistem kepemilikannya tidak mencapai 100 persen tetapi hanya 50 persen saja sehingga tidak terlalu tinggi harga rumahnya. Kendati demikian, sistem kepemilikan yang tidak mencapai 100 persen ini tidak bisa diterapkan di Indonesia. 

Sewa dulu, sampai nanti dalam waktu tertentu dia memiliki porsi kepemilikan 100 persen, Jadi prosesnya bertahap dan itu bisa diatur sesuai kemampuan masyarakat,” katanya. 

Di sisi lain, Haryo mendorong skema sewa beli diterapkan untuk hunian vertikal di perkotaan yang lebih dekat dengan tempat kerja dan fasilitas moda transportasi massal. Terlebih, lahan perkotaan yang terbatas dan berbanding terbalik dengan jumlah penduduk di kota yang terus meningkat. Hal itu juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus mendorong pembangunan hunian vertikal termasuk di simpul-simpul berbasis transit oriented development (TOD).

“Fokus kita ke depan adalah bagaimana mempersiapkan skema rent to own ini menjadi lebih menarik dan diminati masyarakat,” tuturnya. 

Baca Juga: Menilik Skema Rent to Own Bank BTN Berikan Kemudahan Punya Rumah

Deputi Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Ariev Baginda Siregar berpendapat skema sewa beli rumah sudah berjalan di perbankan syariah, yakni akad sewa dan beli rumah menjadi satu kesatuan. Bank syariah mendapat kuasa memegang aset sehingga apabila konsumen tidak sanggup membayar sewa dan tidak jadi membeli, aset rumah dapat dialihkan ke konsumen lain.

“Sewa beli itu, sebenarnya ada di bank syariah karena bank syariah bisa membeli aset dan aset tersebut bisa disewakan atau dijual kepada kepada nasabah,” ujarnya. 

Perbankan di Malaysia, lanjutnya, telah menerapkan skema akad sewa beli. Namun, akad sewa beli tersebut tidak bisa diadaptasi di Indonesia karena akan menyebabkan pajak berganda (double taxation). Berbeda dengan di negara seperti Malaysia, pajak berganda ini bisa ditiadakan. Di beberapa negara yang penerapan lembaga keuangan syariahnya sudah kuat seperti Malaysia, double tax tidak terjadi, karena masuk dalam skema sewa beli syariah.

“Kemudian saat diterapkan, konsep sewa-beli ada masalah yakni terjadi pajak ganda (double tax). Kenapa? Karena pengembang dengan alasan cashflow pasti tidak mau unit merek disewa, tetapi dijual kepada satu entitas sehingga terjadilah transaksi jual beli dan dikenakan pajak. Kemudian unit disewakan dan dibeli lagi dan dikenakan pajak kembali,” tuturnya. 

BP Tapera juga sudah mengadopsi konsep sewa beli tersebut ke dalam sistem konvensional dengan nama graduated payment mortgage (GPM) atau lebih dikenal dengan istilah angsuran atau cicilan berjenjang. Dalam skema angsuran berjenjang ini, suku bunga KPR subsidi dipatok tetap 5 persen, namun besaran cicilan pokok konsumen secara bertahap akan meningkat. Konsep itu sedang dimatangkan.

“Berjenjang artinya cicilan pokoknya yang naik berjenjang, sementara bunganya flat. Ini cara kami dari BP Tapera membantu masyarakat yang memiliki masalah dengan kemampuan mencicil. Kami tidak masuk ke RTO tetapi kami punya angsuran berjenjang,” kata Ariev. 

Baca Juga: Mengenal Staicasing Ownership agar Kalangan MBR Punya Hunian 


Pilot Project

Sementara itu, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Heliantopo menuturkan skema ini merupakan alternatif pembiayaan perumahan untuk masyarakat yang belum terjangkau oleh lembaga keuangan. 

Program RTO ini ditujukan untuk MBR yang belum memiliki pendapatan tetap dan memiliki keterbatasan dalam menyediakan dana awal serta masih belum dapat mengakses sistem perbankan untuk mendapatkan rumah yang aman dan terjangkau.

“Solusi ini ditujukan untuk menjembatani kebutuhan masyarakat, terutama MBR non-fixed income yang memiliki keterbatasan dalam menyediakan dana awal yakni uang muka dan biaya transaksi dan masih belum dapat mengakses system perbankan untuk mendapatkan rumah yang aman, nyaman, dan terjangkau,” ucapnya. 

Pihaknya tengah melakukan proyek percontohan pembelian rumah tapak dengan skema pembiayaan sewa beli di Tangerang, Banten. Dengan harga rumah berkisar Rp150 juta-an, skema RTO ini menyasar konsumen dari sektor informal yakni pedagang sate yang sulit untuk mengumpulkan DP.

SMF menggandeng perusahaan agregator yang membeli rumah, menyewakan kepada konsumen selama tiga tahun, kemudian menjualnya setelah konsumen melakukan akad KPR dengan perbankan.

“Skema sewa beli ini dapat diterapkan untuk rumah tapak maupun rumah susun vertikal. Isunya tinggal mempertemukan agregator dan permintaan penyewa,” tuturnya. 

Perusahaan agregator itu berperan membeli rumah tapak, menyewakan rumah ke konsumen selama tiga tahun. Kemudian, aset akan dilepas menjadi milik konsumen setelah konsumen melakukan akad KPR dengan perbankan.

Heliantopo menambahkan dalam skema sewa beli yang telah dilakukan pilot project oleh SMF, perusahaan agregator sebagai pemilik rumah melakukan perjanjian sewa beli langsung dengan end user (masyarakat).

Kemudian, lembaga keuangan akan melakukan pencairan pembiayaan untuk melunasi kewajiban sewa beli end user kepada perusahaan aggregator dimana atas hal tersebut, end user memiliki kewajiban pelunasan hutang kepada lembaga keuangan. Perusahaan agregator wajib memberikan agunan berupa buy back guarantee sepanjang jangka waktu pembiayaan sewa beli. 

Perusahaan agregator mengagunkan dengan hak tanggungan peringkat pertama atas rumah yang dimiliki oleh perusahaan agregator kepada lembaga keuangan. Lembaga keuangan mengajukan refinancing kepada SMF setelah pembiayaan sewa beli (RTO) berjalan, minimal telah diterima deklarasi kolektabilitas debitur berstatus lancar dari lembaga keuangan kepada SMF. Selanjutnya, SMF melakukan pemeriksaan kelayakan dan melakukan refinancing dan lembaga keuangan mitra SMF. 

Baca Juga: Menilik Skema Sewa-Milik Agar Masyarakat Mudah Punya Rumah 

Departemen Head Kredit Pemilikan Rumah PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk. Cesar AB mengatakan Bank BTN bersama dengan Kementerian PUPR saat ini tengah mempersiapkan skema pembiayaan RTO dan SSO untuk kalangan MBR.

“Kami mengusulkan skema fasilitas RTO untuk MBR informal ini dapat diberikan periode waktu mencicil maksimal 6 bulan, jika terbukti lancar maka MBR informal dapat menikmati KPR subsidi selama 20 tahun. Dalam periode mencicil, fasilitas KMK talangan bagi developer,” ujarnya.

Untuk diketahui, RTO bukanlah skema baru. Di negara Malaysia telah menerapkannya terlebih dahulu. RTO merupakan skema sewa beli rumah yang memungkinkan konsumen menyewa rumah yang dipilih dengan menyewanya untuk jangka waktu tertentu sebelum membelinya. Sederhananya, seperti rumah gratis tetapi disewa dengan harga yang terjangkau. Skema RTO mungkin terdengar rumit tetapi dapat memudahkan konsumen dengan kemampuan finansial terbatas untuk membeli rumah. 

Cara kerja skema ini yakni konsumen memilih properti yang menawarkan RTO. Lalu konsumen kemudian menandatangani dokumen sewa dengan skema yang diberikan pengembang atau bank untuk jangka waktu tertentu. Konsumen harus membayar uang jaminan yang dapat dikembalikan kemudian, biasanya sekitar 5 persen dari harga properti yang ditawarkan. 

Konsumen kemudian dapat menempati properti yang dipilih setelah seluruh formalitas dan legalitas terpenuhi. Setelah membayar sewa untuk jangka waktu tertentu dan kemudian masa sewa jatuh tempo sesuai perjanjian sewa, konsumen akan dihadapkan pada dua pilihan yakni menggunakan haknya untuk membeli properti dengan harga yang dikunci pada saat sewa ditandatangani atau melepaskan haknya untuk tidak membeli properti tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.