Misi Sulit RI Berkelit dari Intrik Perdagangan Maritim Global

UNCTAD dalam laporannya mengenai perdagangan maritim menyebutkan lonjakan biaya logistik global bisa memicu kenaikan harga barang impor sampai 10,6 persen dan barang di tingkat konsumen naik 1,5 persen secara global.

Iim Fathimah Timorria

24 Nov 2021 - 15.38
A-
A+
Misi Sulit RI Berkelit dari Intrik Perdagangan Maritim Global

Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Pelaku industri di Indonesia tidak memiliki banyak opsi solusi untuk menghadapi isu perdagangan maritim global yang memicu naiknya biaya logistik laut. Masalah ini, padahal, dikhawatirkan memengaruhi permintaan pada produk ekspor di negara tujuan. 

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan benang kusut perdagangan global yang dirasakan sejak akhir 2020 kerap membuat proses pengiriman barang terlambat.

Masalah ketersediaan kontainer dan ruang kapal membuat biaya pengiriman bisa membengkak sampai lima kali lipat.

“Karena ekspor beberapa produk industri menggunakan FOB [freight on board], kembali lagi apakah buyer mau menanggung atau tidak karena biaya mereka yang arrange,” kata Benny, Rabu (24/11/2021).

(BACA JUGA: Saatnya Indonesia Panen Tuah Ekspor Nonmigas)

Situasi ini, kata Benny, membuat importir yang menjual kembali barangnya melakukan penyesuaian harga. Nilai jual produk yang diekspor dari RI cenderung sama, kecuali pada produk dengan komponen impor yang tinggi.

“Harga produk yang mulai naik di tingkat konsumen saya perkirakan akan memicu inflasi global. Kemampuan beli bisa saja menurun. Kalau demikian dalam jangka panjang order produk RI bisa ikut turun,” katanya.

Namun, dia meyakini bahwa daya saing produk ekspor RI di negara tujuan juga tidak banyak berubah, mengingat benang kusut logistik global tidak hanya dirasakan Indonesia.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporannya mengenai perdagangan maritim menyebutkan lonjakan biaya logistik global bisa memicu kenaikan harga barang impor sampai 10,6 persen dan barang di tingkat konsumen naik 1,5 persen secara global.

Risiko lebih besar mengancam negara kecil dan negara berkembang (SIDS) dengan kenaikan harga barang impor mencapai 24 persen dan di tingkat konsumen naik 7,5 persen. Simulasi UNCTAD memproyeksi situasi ini berlangsung di 198 negara sampai 2023.

Adapun, barang-barang di tingkat konsumen yang bakal terimbas biaya logistik merupakan barang jadi impor dan produk manufaktur berbahan baku impor.

Lima kelompok produk yang mengalami kenaikan signifikan mencakup komputer, elektronik, dan produk optik (11,4 persen); furnitur (10,2 persen); tekstil dan produk dari tekstil (10,1 persen); produk karet dan plastik (9,4 persen); dan produk farmasi serta peralatan listrik (7,5 persen).

(BACA JUGA: Euforia Reli Penguatan Ekspor Jelang Tutup Tahun)

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan isu logistik global mengganggu eksportir karena berdampak ke pembengkakan biaya ekspor dan penurunan daya saing.

Hal ini paling dirasakan ketika beban biaya melampaui anggaran buyer di negara tujuan ekspor.

“Umumnya eksportir kita mengekspor dengan sistem FOB sehingga biaya logistik ekspor ditanggung oleh buyer. Kalau biaya logistik di luar kemampuan bayar, biasanya ekspor akan ditunda atau reschedule hingga harga logistik lebih terjangkau, bahkan dibatalkan,” kata Shinta.

Dia mengatakan kasus ini cukup banyak terjadi pada ekspor manufaktur, terutama pada produk yang belum masuk rantai nilai global atau global value chain (GVC) dengan kontrak pasokan jangka panjang.

Menurut Shinta, hal ini jugalah yang membuat ekspor manufaktur cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan ekspor komoditas mentah, terlepas dari permintaan di pasar global yang tinggi.

Dia juga mengatakan bahwa eksportir nasional tidak memiliki banyak solusi untuk mengurai permasalahan ini.

Satu-satunya strategi yang dijalankan, kata Shinta, adalah intensifikasi komunikasi dengan para importir atau buyer untuk menentukan jadwal pengiriman dan pembiayaan.

“Komunikasi dengan penyedia jasa logistik juga dilakukan untuk memastikan kelancaran dan ketersediaan kontainer agar ekspor tetap berjalan sesuai kesepakatan dengan buyer,” katanya.

TIDAK KHAWATIR

Dari sisi sektoral, pelaku industri meyakini permintaan pada tekstil dan produk tekstil (TPT) tetap akan tumbuh, terlepas dari risiko kenaikan harga di tingkat konsumen imbas dari biaya logistik global yang masih tinggi.

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto mengatakan kondisi logistik global tidak mempengaruhi daya saing Indonesia dibandingkan dengan produsen lain.

Komitmen Indonesia untuk menjamin keberlanjutan produksi di tengah pandemi dan masalah logistik yang terjadi secara merata membuat pengiriman produk tekstil cenderung tak terganggu.

“Masalah logistik ini tak hanya Indonesia yang merasakan, tetapi juga pada ekspor negara-negara produsen lainnya. Jadi dari sisi daya saing tetap sama,” kata Anne, Selasa (23/11/2021).

Dia juga mengatakan faktor geopolitik membuat buyer menjadikan Indonesia sebagai pemasok produk utama. Menurutnya, posisi Indonesia yang tidak condong pada blok ekonomi atau politik tertentu menempatkan perdagangan RI pada situasi yang relatif aman.

“Tren permintaan masih terus naik sampai 2022. Tahun ini mungkin tumbuh satu digit, tetapi tahun depan kami perkirakan bisa dua digit,” katanya.

Anne yang juga menjabat sebagai Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) menjelaskan kontribusi pakaian medis dalam ekspor TPT Indonesia mulai menurun pada 2021 dibandingkan dengan 2020.

Hal ini menjadi sinyal bahwa permintaan di luar perlengkapan medis mulai meningkat.

Mengutip data Kementerian Perdagangan, ekspor barang-barang rajutan dalam kode HS 61 meningkat 24,92 persen dalam kurun Januari sampai September 2021, dari US$2,47 miliar menjadi US$3,04 miliar.

Sementara itu, ekspor pakaian jadi bukan rajutan dalam kode HS 62 naik 3,36 persen dari US$2,84 miliar menjadi US$2,93 miliar.

Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat./JIBI-Rahmatullah

Adapun, Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur justru menyatakan kekhawatiran soal risiko permintaan yang turun akibat biaya logistik yang tinggi.

Pada saat yang sama, eksportir sejatinya tengah menikmati peluang terbukanya pasar Amerika Serikat, seiring dengan akses produk China yang masih menghadapi kendala di Negeri Paman Sam.

“Di pasar tujuan ekspor harga bisa naik 10 sampai 15 persen karena buyer yang menanggung biaya logistik. Ini sudah mulai berpengaruh ke order ke depan, kalau biaya logistik tidak bisa mereka ikuti bisa dihentikan [pemesanannya],” kata dia.

Abdul Sobur berpendapat masalah ini hanya bisa diurai jika Indonesia memiliki shipping line sendiri. Selama bertahun-tahun, perusahaan pengelola pengapalan lintas benua berasal dari luar negeri. Abdul Sobur menduga ada praktik kesengajaan dalam penetapan biaya pengapalan.

“Saya menduga ada semacam kartel. Sejauh ini yang mengeluh baru dari negara produsen, bukan negara maju yang jadi tujuan ekspor meski yang dirugikan dengan kondisi logistik ini adalah buyer,” katanya.

Ekspor kayu dan barang dari kayu tercatat naik 22,36 persen dari US$2,77 miliar menjadi US$3,39 dalam kurun Januari sampai September 2021.

KUMPULKAN DATA

Sementara itu, pemerintah menyatakan terus berupaya mengakomodasi kebutuhan pengapalan untuk ekspor, di tengah tantangan logistik global yang berlanjut.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait terus berkoordinasi mencari solusi agar eksportir Indonesia tetap bisa melaksanakan ekspor.

“Untuk jangka pendek pemerintah lewat kolaborasi antarlembaga berbicara dengan MLO [main line operator] membahas mitigasi bersama soal biaya logistik yang tinggi. Jangan sampai terus merangkak dan berkepanjangan,” kata Didi.

Didi mengatakan bahwa sejauh ini pemerintah telah melakukan pendataan mengenai kebutuhan ruang kapal sampai ke tingkat perusahaan ekspor. Hal ini dilakukan dalam rangka sinkronisasi dengan jadwal pengapalan dan jumlah ruang yang disediakan masing-masing MLO.

Dampak pandemi yang sempat menekan perdagangan global pada 2020 telah membuat banyak MLO melakukan penyesuaian operasional. Menghadapi permintaan ruang pengapalan yang belum normal, lanjut Didi, banyak operator yang memutuskan melakukan efisiensi operasional.

“Misal untuk kapak yang space kapalnya rendah, daripada menarik biaya tinggi, MLO memutuskan tidak mengoperasikannya. Namun sekarang permintaan ruang kapal mulai naik, hanya saja supply belum pulih,” katanya.

Didi meyakini ketidakseimbangan ketersediaan ruang kapal dan permintaan bakal terurai secara bertahap mengikuti normalisasi perdagangan global.

Selama kondisi logistik dunia belum mencapai keseimbangan baru, dia mengatakan pemerintah akan berupaya mengakomodasi akses ruang kapal bagi eksportir.

“Terutama bagi ekspor UMKM. Pada dasarnya MLO memerlukan kepastian berapa kebutuhan ruang agar mereka bisa menyesuaikan schedule kapalnya,” kata Didi.

Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Dari perspektif ekonom, masalah logistik global yang belum terurai sampai saat ini berisiko menekan kinerja perdagangan dan ekonomi secara agregat. Pemerintah perlu memetakan produk-produk ekspor yang rentan terimbas situasi ini.

 “Perlu dipetakan mana produk ekspor yang rantai pasoknya paling rawan, apa perlu insentif agar harga tetap bersaing, misal dengan insentif nonpajak atau mungkin diversifikasi produk,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.

 Bhima berpendapat bahwa gangguan logistik bisa memicu penundaan pengiriman barang, bahkan pembatalan ekspor jika harga terlalu tinggi. Meski demikian, dia melihat ada potensi untuk menghadirkan investasi baru di dalam negeri.

 “Mungkin rantai pasok yang panjang membuat investor mempertimbangkan memusatkan produksi di sumber bahan baku, Indonesia berpeluang mendapatkan kesempatan ini,” katanya.

 Sementara itu, hasil perhitungan Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Indef memperlihatkan bahwa penurunan produktivitas pengapalan global berdampak pada kinerja investasi agregat dan juga perekonomian.

Selain itu, produktivitas pengapalan yang turun juga berimbas pada ekspor impor sejumlah sektor.

“Dengan asumsi produktivitas pengapalan dunia turun 5 persen, investasi agregat Indonesia turun 0,17 persen berdasarkan perhitungan kami. Dan ekonomi bisa berkurang 0,011 persen,” kata  Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio.

Dari sisi impor, penurunan produktivitas pengapalan sebesar 5 persen bisa memicu kontraksi impor komoditas pertanian sampai 0,97 persen dan hewan ternak sebesar 1,14 persen. Impor manufaktur berat juga turun sekitar 0,65 persen dan makanan olahan turun 0,97 persen.

Untuk ekspor, kontraksi pada pengiriman produk pertanian mencapai 0,53 persen. Sementara pada produk manufaktur berat turun 0,28 persen dan makanan olahan turun 0,46 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.