Momok Stagflasi Global, Akankah Ekspor RI Terpental?

Di tengah ancaman stagflasi di banyak negara mitra dagang, langkah darurat yang perlu diambil Indonesia saat ini bukanlah meningkatkan produksi untuk mengejar pemenuhan ledakan permintaan, tetapi meningkatkan produktivitas atau output industri berorientasi ekspor.

Iim Fathimah Timorria

28 Okt 2021 - 20.23
A-
A+
Momok Stagflasi Global, Akankah Ekspor RI Terpental?

Sejumlah truk membawa muatan peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Kinerja ekspor Indonesia berpotensi terganggu risiko stagflasi, sebagai imbas naiknya permintaan global pascakarantina wilayah di berbagai mitra dagang yang terjadi bersamaan dengan belum pulihnya pasokan barang di banyak negara.

Sekadar catatan, stagflasi merupakan rentang di mana inflasi dan kontraksi ekonomi terjadi secara bersamaan. Biasanya, situasi ini dibarengi dengan ledakan pengangguran.

Melihat risiko tersebut, Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani menilai pelaku usaha berorientasi ekspor belum bisa meningkatkan kapasitas produksi untuk mengimbangi kenaikan permintaan pasar global. Kapasitas produksi yang terpakai menjadi penyebabnya.

“Kapasitas produksi kita sekarang belum tentu sudah dipakai semuanya untuk ekspor. Contohnya di besi dan baja yang menjadi rising star dalam 3 tahun terakhir. Utilisasinya baru di kisaran 40%—50%, padahal idealnya dipakai 80%,” kata Shinta, Kamis (28/10/2021).

Dia menjelaskan masih ada jurang antara kapasitas produksi terpasang dan yang telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja ekspor.

Dia juga menilai langkah yang perlu diambil saat ini bukanlah meningkatkan produksi, tetapi meningkatkan produktivitas atau output industri berorientasi ekspor.

“Ini juga akan terkait dengan seberapa jauh pemerintah Indonesia bisa memfasilitasi eksportir kita untuk memperlancar proses impor  dan ekspor,” tambahnya.

Produktivitas ekspor nasional juga akan ditentukan dengan kelancaran dan efisiensi biaya logistik perdagangan, stabilitas nilai tukar, peningkatan pembiayaan ekspor, dan dukungan penetrasi di pasar tujuan.

Menurutnya, eksportir nasional sejatinya sigap menyambut permintaan ekspor yang tinggi, asalkan didukung dengan sistem yang akomodatif.

Dalam momentum menuju pemulihan, Shinta mengatakan dukungan paling krusial mencakup perluasan pembiayaan ekspor yang terjangkau dan fasilitasi perdagangan dari sejumlah kendala seperti harga bahan baku dan kesulitan logistik.

Untuk diketahui, ancaman stagflasi mengintai berbagai destinasi ekspor sejalan dengan hambatan rantai pasok global, lonjakan harga komoditas, serta besarnya permintaan setelah kebijakan karantina wilayah (lockdown) perlahan dilonggarkan di tengah terbatasnya jumlah tenaga kerja.

Situasi ini membuat otoritas moneter di sejumlah negara diterpa dilema dalam menentukan kebijakan. Salah satunya adalah Amerika Serikat yang sejatinya akan memulai kebijakan pengurangan pembelian aset menjelang pergantian tahun.

Laporan terbaru menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Amerika Serikat mencapai 5,4% pada September 2021, tertinggi sejak 2008.

Di sisi lain, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di AS hanya 194.000 pada September, angka ini menjadi pertumbuhan yang paling rendah sepanjang tahun ini.

Dalam perspektif berbeda, ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi masih optimistis industri berorientasi ekspor nasional bisa mengejar kenaikan permintaan global di tengah ancaman stagflasi.

“Negara besar ramai mengeluarkan stimulus untuk mengakselerasi demand, tetapi kecepatan pulihnya permintaan tidak diikuti sisi pasokan. Sisi produksi menghadapi layoff [pemutusan hubungan kerja/PHK]pengistirahatan mesin, dan penurunan kapasitas sehingga perlu waktu untuk pulih,” kata Fithra.

Truk melintas di kawasan pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Namun, dia memperkirakan kondisi inflasi di berbagai negara ini tidak mengarah ke stagflasi yang biasanya ditandai dengan kontraksi di sisi pasokan maupun permintaan. Kondisi ini, kata dia, lebih bersifat transisi karena sisi pasokan tengah mengejar kenaikan permintaan.

“Namun, tetap perlu diwaspadai. Paling penting adalah memacu supply. Jika tidak bisa mengejar tren kenaikan permintaan bisa menjadi runaway inflation atau inflasi berkepanjangan yang makin tinggi,” kata dia.

Sebagai salah satu negara eksportir intermediate goods maupun barang konsumsi ke negara-negara yang permintaannya memperlihatkan kenaikan, Fithra berpandangan industri berorientasi ekspor Indonesia memiliki ketahanan yang kuat.

Hal ini terlihat dari indeks manufaktur yang terus melanjutkan ekspansi setelah sempat tertekan ketika terjadi lonjakan kasus Covid-19.

“Kita beberapa kali menghadapi shock, tetapi langsung naik lagi. Dari sisi energi untuk produksi kita juga oversupply sehingga kita bisa tetap memanfaatkan kenaikan permintaan,” katanya.

Namun, dia memberi catatan soal situasi ini. Terlepas dari kemampuan pemenuhan energi yang terjaga saat kenaikan permintaan, Indonesia tetap perlu berhati-hati menetapkan kebijakan ekspor.

Dia mengatakan keseimbangan jaminan pasokan di dalam negeri dan ekspor komoditas energi tetap perlu dijaga.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti terkait fenomena lonjakan inflasi yang terjadi di dunia. Sri Mulyani mencatat proyeksi inflasi global yang dirilis World Economic Forum (WEF) melonjak dari level 3,5% secara tahunan menjadi 4,3%.

"Ini yang perlu kita waspadai. Global inflation melonjak sangat tinggi dari level di 3,5%, menjadi 4,3%. Ini merupakan suatu tekanan yang harus benar-benar kita antisipasi dan waspadai," kata Sri Mulyani awal pekan ini.

Menurutnya, kenaikan inflasi dipicu oleh sejumlah faktor seperti harga komoditas, harga pangan, dan disrupsi suplai. Sementara itu, peningkatan dari permintaan secara agregat (aggregate demand) dinilai turut berkontribusi terhadap kenaikan inflasi global.

SESUAIKAN VOLUME

Sejumlah industri berorientasi ekspor  menyesuaikan kapasitas produksi, seiring dengan naiknya permintaan di negara destinasi. Meski demikian, volume ekspor belum menyamai level sebelum pandemi.

“Kami sudah mulai menaikkan produksi, tetapi untuk menyamai level sebelum pandemi kami perkirakan baru tahun depan,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto, Kamis (28/10/2021).

Anne mengatakan rata-rata utilisasi industri garmen berorientasi ekspor mencapai 100%. Sejumlah pelaku usaha bahkan menambah kapasitas.

Dia juga memastikan ekspor garmen Indonesia tidak mengalami penyesuaian harga imbas dari masalah logistik global yang belum terurai. Sebagian eksportir, kata dia, melakukan pengiriman dengan skema freight on board (FOB) alias biaya kontainer dibayar oleh pembeli.

“Jadi misal ada penyesuaian harga karena logistik, itu keputusan buyers ke pasar masing-masing,” tambahnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa volume ekspor produk tekstil dengan kode HS 61 selama Januari sampai Agustus 2021 mencapai 160.854 ton, jauh lebih tinggi dari pada periode yang sama pada 2019 dan 2020 yang masing-masing sebesar 152.474 ton dan 147.982 ton.

Sementara itu, untuk kode HS 62 yang merupakan pakaian atau aksesoris pakaian bukan rajutan, volume ekspor selama Januari sampai Agustus 2021 sebesar 105.993 ton.

Volume ini lebih rendah dari pada capaian pada periode yang sama di 2019 dan 2020 yang masing-masing sebesar 126.598 ton dan 111.163 ton.

 

Terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo memastikan ekspor untuk produk turunan CPO dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan domestik.

Sementara itu, dari sisi penyesuaian kapasitas produksi untuk mengimbangi permintaan yang naik, dia mengatakan pelaku usaha tetap mempertimbangkan kondisi pasokan bahan baku.

“Sejauh ini kendala produksi [produk turunan] tidak ada. Namun, kapasitas tentu sejalan dengan pasokan bahan baku,” katanya.

Data pelaku industri yang dihimpun oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperlihatkan bahwa produksi CPO pada Agustus 2021 sebesar 4,21 juta ton, naik dari pada produksi Juli 2021 yang berjumlah 4,05 juta ton.

Secara total, produksi pada Januari sampai Agustus 2021 mencapai 33,57 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 32,53 juta ton pada periode yang sama.

Dari sisi ekspor, akumulasi volume produk olahan CPO yang dikirim ke luar negeri  selama Januari sampai Agustus 2021 adalah 16,99 juta ton. Volume ini jauh meningkat dibandingkan dengan ekspor olahan CPO periode yang sama tahun lalu sebesar 12,89 juta ton.

Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

TERKENDALI

Dari sisi pemerintah, Kementerian Perdagangan menilai dampak inflasi di berbagai negara sebagai imbas dari tidak seimbangnya kenaikan permintaan dengan kondisi pasokan memiliki dampak yang terkontrol bagi perdagangan luar negeri Indonesia.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag Kasan menjelaskan inflasi terjadi karena kenaikan yang cepat pada kurva permintaan.

“Sementara penyesuaian terhadap faktor-faktor produksi yang membentuk kurva supply  [pasokan] belum tentu secara cepat dapat direspons oleh pelaku usaha dan industri untuk meningkatkan pasokan,” kata Kasan kepada Bisnis, Kamis (28/10/2021).

Kasan memperkirakan situasi ini akan berdampak lebih berat bagi pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor, dibandingkan dengan usaha yang dengan ketergantungan rendah pada bahan baku asal luar negeri.

Menurutnya, industri manufaktur yang memerlukan bahan baku impor seperti tekstil dan otomotif akan memerlukan waktu lebih lama untuk menaikkan kapasitas produksi. Sementara itu, industri berbasis bahan baku dalam negeri akan merespons kenaikan permintaan global dengan lebih cepat.

Dengan demikian, Kasan mengatakan perdagangan luar negeri Indonesia cenderung menghadapi dampak yang terkendali.

Ekspor dengan sumbangan besar pada kinerja luar negeri tercatat tidak tergantung pada pasokan bahan baku impor yang besar. Industri terkait bisa langsung melakukan penyesuaian produksi untuk mengimbangi situasi.

“Menurut kami kenaikan inflasi di destinasi ekspor memiliki dampak yang terkontrol dan terbatas bagi kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Karena ekspor komoditas Indonesia cenderung tidak terlalu memiliki ketergantungan dengan bahan baku impor,” katanya.

Selain itu, dia mencatat negara tujuan ekspor Indonesia merupakan negara-negara yang memiliki mekanisme pasar yang cukup baik.

Dia juga meyakini intervensi kebijakan otoritas perdagangan bisa mendukung mekanisme pasar tersebut sehingga stagflasi kemungkinan tidak akan terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.