Mutu Tes PCR Anjlok Akibat HET, Deteksi Omicron Bakal Menantang

Sejak pemerintah membanting HET tes PCR, pengusaha mengalihkan impor alat tes usap ke China dan Korsel, yang lebih murah tetapi mutu dan akurasinya dipertanyakan. Fenomena ini menjadi masalah manakala Indonesia dikejar waktu untuk bersiaga mendeteksi risiko penyebaran varian Omicron di dalam negeri.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

6 Des 2021 - 13.42
A-
A+
Mutu Tes PCR Anjlok Akibat HET, Deteksi Omicron Bakal Menantang

PTFI menyiapkan dua alat tes PCR dan sekitar 50.000 alat rapid test untuk memperluas jangkauan pemeriksaan Covid-19 di Papua. Istimewa/PTFI

Bisnis, JAKARTA — Pengelola rumah sakit swasta mengebut penguatan jejaring laboratorium untuk mendeteksi potensi maskunya kasus Covid-19 varian B.1.1.529 atau Omicron, di tengah terpaan polemik penurunan mutu dan akurasi alat tes PCR pascapenerapan kebijakan HET yang baru.

Dalam kaitan itu, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menyatakan telah menggandeng jejaring laboratorium pemeriksa Covid-19 milik Kementerian Kesehatanuntuk mengidentifikasi potensi kasus Omicron di tengah masyarakat. 

Sekretaris Jenderal ARSSI Ichsan Hanafi menjelaskan langkah itu diambil lantaran rumah sakit swasta terkendala pengadaan alat tes usap polymerase chain reaction (PCR) yang harga eceran tertinggi (HET)-nya dipatok pemerintah di kisaran Rp275.000 hingga Rp300.000.

Akibat kebijakan tersebut, kata Ichsan, kebanyakan rumah sakit swasta tengah menekan biaya pokok produksi pelayanan jasa tes usap tersebut. 

“Karena penyesuaian harga, kami juga berusaha mencari bahan-bahannya yang bisa menyesuaikan sehingga bisa lebih ekonomis lagi. Artinya, agak berat sebelumnya dengan tarif HET seperti itu,” kata Ichsan, Senin (6/12/2021).

Dengan demikian, dia mengatakan, rumah sakit swasta bakal berkoordinasi dengan laboratorium jejaring pemeriksa Covid-19 untuk menjaga kualitas deteksi Covid-19 di tengah merebaknya varian Omnicron di sejumlah negara. 

“Untuk Omnicron ini kami harus bekerja sama dengan laboratorium kesehatannya Kemenkes. Kami di rumah sakit swasta hanya melihat bisa di gejala klinisnya saja,” kata dia. 

Ihwal upaya antisipasi sebaran varian Omnicron, dia mengatakan rumah sakit swasta bakal merujuk pasien bergejala ke laboratorium jejaring milik kementerian kesehatan.

Di tempat terpisah, perwakilan Kementerian Kesehatan mengeklaim alat tes usap PCRyang dipatok di kisaran Rp275.000—Rp300.000 tetap bermutu optimal, kendati pelaku usaha sektor kesehatan melaporkan sebaliknya.

Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan kepastian mutu itu diperoleh dari hasil penilaian berkala oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) terhadap alat tes usap PCR yang beredar di tengah masyarakat.

“Mengenai kualitas laboratorium sudah dilakukan penilaian oleh Balitbangkes. Demikian juga dengan semua alat tes PCR yang telah mendapatkan izin edar. Artinya, sudah dipastikan kualitasnya baik oleh produsennya,” kata Nadia melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Minggu (5/12/2021).

Hal itu sekaligus disampaikan Nadia untuk memastikan pelacakan kasus Covid-19 tetap terjaga kualitasnya di tengah potensi penyebaran kasus Covid-19 akibat varian B.1.1.529 atau Omicron akhir tahun ini.

Nadia menyebut Kemenkes tengah mempersiapkan kembali kapasitas oksigen cair, tabung gas, dan konektor oksigen untuk mengantisipasi potensi gelombang Covid-19 berikutnya.

“Kami juga memastikan ketersediaan obat-obatan untuk tepat perawatan konversi masih diberlakukan sebagai antisipasi lonjakan [kasus baru],” ujarnya.

Seorang warga mengikuti tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) secara Drive Thru di Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (26/10/2021). /Antara Foto-Muhammad Iqbal

Dihubungi secara terpisah, Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan & Laboratorium (Gakeslab) menyatakan mayoritas alat tes usap PCR yang beredar di tengah masyarakat memiliki teknologi yang rendah, terutama sejak HET-nya disesuaikan pemerintah.

Sekretaris Jenderal Gakeslab Randy Teguh menyebut hal itu terjadi lantaran rumah sakit dan laboratorium melakukan penyesuaian harga setelah HET alat tes usap PCR dipatok di kisaran Rp275.000 hingga Rp300.000 pada akhir Oktober.

Randy mengkhawatirkan rendahnya kualifikasi tes usap PCR itu bakal berdampak serius pada akurasi pemeriksaan kontak erat Covid-19 menyusul merebaknya varian Omicron.

Akan tetapi, Randy menegaskan, akurasi alat tes usap itu mesti disimpulkan setelah adanya postmarketing surveillance atas produk-produk yang beredar di tengah masyarakat saat ini.

“Dengan harga yang hanya sekitar Rp290.000, [alat tes PCR] teknologi tinggi yang akurasinya lebih tinggi sudah tidak bisa bermain di Indonesia karena cost-nya sudah ditekan. [Alat] yang ada [di pasaran sekarang] adalah produk-produk tes usap dengan reagen dan PCR yang teknologi rendah.”

Randy menuturkan sebagian anggota Gakeslab sudah berhenti menyalurkan alat tes usap dan reagen yang memiliki kualifikasi mutakhir kepada rumah sakit dan laboratorium.

Alasannya, penyesuaian harga akibat kebijakan HET itu tidak memberi selisih keuntungan kepada perusahaan penyalur alat kesehatan dan laboratorium.

Menurutnya, rumah sakit dan laboratorium belakangan membeli alat tes usap dan reagen dari produsen-produsen asal China dan Asia dengan harga yang relatif murah.

Terkait dengan isu itu, dia meminta Kemenkes memperketat pengawasan terhadap perusahaan penyalur dan produk alat tes usap setelah implementasi kebijakan HET tersebut. Dengan demikian, komitmen pemerintah untuk menjaga masuknya varian baru Covid-19 itu tetap terjaga.

“Harus dievaluasi apakah pemantauan Kementerian Kesehatan sudah berjalan atau tidak, demi menjamin produk-produk yang ada di rumah sakit dan laboratorium kita kualitasnya baik atau tidak untuk memastikan program pelacakan berjalan,” kata dia.

PENYESUAIAN HARGA

Pada perkembangan lain, para pelaku industri tak menampik kebijakan HET tes PCR telah memaksa mereka menyesuaikan harga dan kualitas produk.

Penyesuaian harga itu terlihat dari intensitas impor reagen dan alat tes usap PCR yang beralih dari Amerika Serikat dan Eropa ke China. (Lihat grafik)

Peralihan impor itu disinyalir untuk menekan harga bahan baku alat tes usap PCR di tengah kebijakan HET yang baru. Konsekuensinya, kualitas produk yang diimpor dari China relatif lebih rendah ketimbang barang yang dibeli dari Amerika Serikat dan Eropa.

Sekretaris Jenderal Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) Indri Wulandari mengatakan alat tes usap PCR yang didatangkan dari China atau kawasan Asia lainnya menggunakan sistem terbuka (opened system).

Artinya, antara alat tes usap dengan reagennya itu diproduksi di dua pabrik yang berbeda. Misalnya, alat tes usap diproduksi di China, tetapi reagennya diproduksi di Korea Selatan.

“Bisa dipakai di reagen apapun sehingga risikonya seringkali ekstraksi dilakukan di luar sehingga mudah terkontaminasi karena ekstraksinya di tempat yang berbeda,” kata Wulandari.

Di sisi lain, produksi alat tes usap PCR dengan sistem tertutup (closed system) banyak dijumpai di AS dan sebagian negara Eropa. Sistem itu memungkinkan produksi reagen dan alat tes usap dilakukan di satu pabrik yang sama.

Dengan demikian, kualitas alat tes usap PCR itu terjamin lantaran tidak mudah terkontaminasi.

Wulandari menuturkan pasokan alat tes usap PCR dari Eropa dan AS sempat mendominasi ketika harga PCR dalam negeri masih relatif tinggi pada tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.