Nasib Industri Keramik Digantung Kegamangan Kelanjutan Safeguard

Dengan besaran impor keramik bulanan rata-rata senilai Rp500 miliar, negara berpotensi kehilangan Rp90 miliar hingga Rp100 miliar jika kebijakan BMTP atau safeguard produk keramik tak kunjung diperpanjang.

Reni Lestari

6 Okt 2021 - 18.38
A-
A+
Nasib Industri Keramik Digantung Kegamangan Kelanjutan Safeguard

Asisten Manajer Toko Bangunan (TB) Panorama Solo, Surani (kiri), menata contoh keramik di etalase TB Panorama Solo, Jumat (29/3/2019). Selama penyelenggaraan Material Expo 2019 TB Panorama Solo memberikan diskon hingga 70% untuk produk tertentu yang digelar hingga 7 April. /BISNIS

Bisnis, JAKARTA — Besaran bea masuk tindakan pengamanan atau safeguard produk keramik pada periode kedua hampir dapat dipastikan bakal turun lantaran menyesuaikan dengan aturan World Trade Organization atau WTO.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) akan turun pada masa perpanjangan setelah masa berlaku periode sebelumnya berakhir pada 11 Oktober 2021.

Menurutnya, besaran BMTP atau safeguard selanjutnya akan turun menjadi 13%—17% dari sebelumnya 19%—23%.

"Informasi yang kami peroleh, besaran BMTP akan turun dari sebelumnya. BMTP tahun pertama 17%, tahun kedua 15%, dan tahun ketiga 13%," katanya saat dihubungi, Rabu (6/10/2021).

Edy berharap perpanjangan BMTP produk keramik segera diteken oleh Kementerian Keuangan karena aturan yang lama akan berakhir pada 11 Oktober 2021.

Pemberlakuan kebijakan tersebut sebelumnya diatur selama tiga tahun mulai 2018 hingga Oktober 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.119/2018 tentang Pengenaan BMTP terhadap Impor Produk Ubin Keramik.

Kemenkeu kemudian merevisi beleid tersebut menjadi PMK No.111/2020 yang mengeluarkan India dan Vietnam dari daftar negara yang dikecualikan terhadap pengenaan BMTP sesuai aturan sebelumnya.  

"Kekhawatiran Asaki [adalah] terjadi gangguan serius yang akan terjadi jika perpanjangan BMTP keramik tidak dilakukan tepat waktu," ujar Edy.

Dia menerangkan angka impor keramik pada periode Januari—Agustus 2021 meningkat hingga di atas 60%. Impor asal China mendominasi dengan peningkatan 105% dan India sebesar 20%.

Peningkatan impor tersebut disebabkan penurunan BMTP pada tahun ketiga pemberlakuannya sebesar 19%.

Edy juga mengatakan, tertundanya perpanjangan BMTP, selain merugikan industri juga akan menggerus pendapatan negara dengan hilangnya pos pungutan impor.

Asaki memperkirakan dengan besaran impor bulanan rata-rata Rp500 miliar, negara akan kehilangan Rp90 miliar hingga Rp100 miliar jika BMTP tak kunjung diperpanjang.

"Peningkatan angka impor yang demikian tinggi jika tidak diantisipasi melalui perpanjangan BMTP, maka kelangsungan berusaha dari industri keramik nasional yang mempekerjakan 150.000 orang, menjadi makin tidak pasti," ujarnya. 

KEMUDAHAN ALOKASI

Menyusul potensi penurunan BMTP keramik pada periode selanjutnya, Edy mengatakan pelaku industri keramik kini berharap pada kemudahan perluasan alokasi harga gas industri sebesar US$6/MMbtu untuk menaikkan daya saing industri.

"Diharapkan kami diberikan kemudahan untuk mendapatkan tambahan alokasi volume gas US$6/MMbtu untuk setiap rencana ekspansi kapasitas produksi dari industri keramik yang eksisting maupun investasi baru," tuturnya.

Sementara itu, utilisasi industri keramik tengah berada di atas angin, sebesar 75% atau tertinggi sejak 2015. Pelonggaran program Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi motor utama produktivitas industri.

Edy meyakini dengan insentif harga gas industri, utilisasi mampu terkerek hingga 90% sampai akhir tahun ini. Angka tersebut akan mengulang utilisasi industri keramik pada 2011—2014. Adapun kapasitas menganggur atau idle capacity saat ini diperkirakan sebesar 125 juta m2.

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian juga mendorong agar perpanjangan BMTP keramik segera diteken otoritas fiskal.

Aturan lama pemberlakuan safeguard keramik akan berakhir 11 Oktober 2021, sedangkan kepastian terkait perpanjangannya masih berada di Kementerian Keuangan.

Adapun, pembahasan di Kemenperin dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) telah rampung sejak bulan lalu.

Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam Kemenperin Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan penundaan perpanjangan safeguard berpeluang menurunkan pendapatan negara.

"Ini yang kami takutkan, tertundanya SK [surat keputusan] baru akan membuat lolosnya bea masuk dan lolosnya pendapatan negara," ujarnya saat dihubungi, Rabu (6/10/2021).

Berbeda pandangan, peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menilai BMTP keramik yang diterapkan sejak 2018 dinilai belum efektif membendung serbuan produk impor.

Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan impor keramik di atas 60% pada Januari—Agustus 2021, dengan pembelian dari China naik 105% dan India 20%.

Dia pun menyebut kebijakan BMTP semata tak cukup untuk membangun ketahanan industri dalam negeri.

Kenyataannya, meski dikenakan BMTP, keramik dari negara pesaing seperti China, India, dan Vietnam masih mampu mempertahankan daya saing berkat dukungan struktur biaya produksi yang kuat.

India, misalnya, mampu menekan ongkos produksi dengan harga gas industri sebesar US$2,5/MMbtu. Bandingkan dengan industri keramik dalam negeri yang mengeluarkan US$6/MMbtu untuk ongkos gas.

Sementara itu, China menerapkan pemotongan pajak ekspor atau tax rebate sebesar 13%.

"Biaya-biaya yang lebih mahal itu menyebabkan kita relatif tidak berdaya saing dibandingkan degan negara lain," kata Heri, Rabu (6/10/2021).

Heri melanjutkan, BMTP hanyalah satu dari sekian banyak instrumen untuk mendongkrak daya saing industri.

Selain harga gas industri yang lebih terjangkau, dukungan lain seperti insentif pajak dan efisiensi ongkos logistik akan menjadi katalis yang nyata pengaruhnya pada industri keramik.

"Dengan safeguard saat ini di angka 19%, impornya meningkat. Bagaimana nanti jika 17%? Makin bisa meningkat. Artinya, ini bukan merupakan satu-satunya alat untuk ketahanan industri," jelasnya.

Berdasarkan data dari Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki), total ongkos produksi keramik domestik mencapai Rp83.535/m2.

Ditambah dengan ongkos logistik, angka tersebut dapat membengkak hingga Rp86.135/m2 hingga Rp94.558/m2, tergantung lokasi pengapalan di dalam negeri.

Sementara itu, harga jual keramik impor dari China dan India sesudah dikenakan safeguard sebesar Rp80.027/m2.

Dengan harga gas industri US$2,5/MMbtu bahkan India mampu menekan harga jualnya menjadi Rp71.548/m2. Adapun harga jual keramik Vietnam setelah pengenaan safeguard yakni Rp80.837/m2

Pabrik keramik Arwana Citra Mulia Tbk/Bisnis.com

LANJUTKAN EKSPANSI

Dari sisi korporasi, PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. (CAKK) melanjutkan penambahan kapasitas produksi yang tertunda pada tahun lalu karena pandemi.

Direktur Keuangan CAKK Juli Berliana mengatakan penambahan kapasitas produksi dari 9,18 juta m2/tahun pada 2020 menjadi 12,5 juta m2/tahun pada 2021, sejauh ini telah berjalan 60%.

Artinya, saat ini perseroan telah mengerek kapasitas terpasang pabrikan menjadi 11,17 juta m2/tahun. Mesin produksi mulai dibangun pada Desember 2020 dan mulai beroperasi pada tahun ini.

"[Penambahan] kapasitas terpasang sudah mulai dijalankan, sudah mencapai 60%," katanya kepada Bisnis, Rabu (6/10/2021).

Sebelumnya, penambahan kapasitas produksi ini awalanya direncanakan dimulai pada semester II/2020. Namun, pandemi membuat kedatangan mesin produksi menjadi terlambat, sehingga perseroan menunda dimulainya ekspansi hingga kuartal I/2021.

Meski demikian, Juli mengatakan upaya tersebut belum bisa maksimal karena terganjal izin masuk untuk teknisi dari luar negeri.

Sementara itu, PPKM masih dirasakan menekan utilisasi pabrik perseroan yang saat ini berada di angka 70%.

Meski tak menyebutkan angkanya, Juli mengatakan ada penurunan target penjualan tahun ini karena permintaan di pasar yang belum juga pulih.

"Target penjualan tahun ini ada mengalami koreksi sehubungan dengan kondisi PPKM yang berkepanjangan yang memengaruhi permintaan di pasar," ujarnya.

Di sisi lain, kapasitas terpasang pabrikan PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) terkerek menjadi 73 juta m2/tahun berkat pembangunan pabrik baru di Mojokerto, Jawa Timur, yang mulai beroperasi awal tahun ini.

Direktur ARNA Edy Suyanto mengatakan ada rencana ekspansi lanjutan di lokasi yang sama dengan tambahan kapasitas produksi mencapai 4 juta m2/tahun.

"Ditargetkan mulai beroperasi awal 2023," ujar Edy.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.